Squid Game Plus Fenomena Liat Orang Susah yang Bikin Bahagia
“Kamu suka banget sih nonton film kek gini? Apa gak serem gitu? Banyak darahnya kan? Liat thriller nya aja aku dah auto kabur ah..”
“Ah kamu gak tau, film begini tuh bikin hormon adrenalin yang awalnya terkubur jadi bangkit tau..”
“Hormon adrenalin apa hormon kebahagiaan sih? Kok kesannya semua yang nonton pada happy?”
Nonton Film Life and Death, Bikin Bahagia atau Menantang Hidup?
Film life and death apa yang kamu tonton pertama kali?
Well, beruntunglah kalau kalian baru berkenalan dengan film seperti Hunger Games. Kalian tau film hidup-mati apa yang aku tonton pertama kali?
Judulnya SAW. Kalian bisa mencari detail film ini di google. Pertama kali aku menontonnya saat masih duduk di bangku SMA. SAW 1 yang alur ceritanya terbilang simple tapi moral story dan plot twisnya sukses bikin kepala berkata, “Wow, keren.”
Awalnya, tentu melihat film demikian membuat hati bergidik ngeri. Menggergaji kaki demi memutus borgol? Itu mengerikan. Tapi, kok ya banyak sekali yang penasaran dengan lanjutan film ini? Pun banyak sekali pendukungnya. Sehingga berlanjut hingga SAW 2,3,4,5 dan 6. Semakin lanjut serinya, semakin seram pula adegannya.
Aku? Ya.. Aku menonton semuanya. Dari yang awalnya merasa ngilu, lalu lanjut dan merasa eh kok seru. Lama-lama, adegan darah-darah demikian terasa biasa saja. Bahkan setiap permainan life and deathnya benar-benar membuat penasaran. Apalagi, psikopat dibalik film SAW itu memang bukan psikopat biasa. Ia hanya menyiksa orang-orang ‘pilihan’.
Saat SMA aku berteman dengan anak yang pendiam. Walau terlihat pendiam, dia suka sekali jenis film yang ‘berdarah-darah’. Film SAW hanyalah secuil film yang ia perlihatkan padaku. Masih banyak film yang lebih wow. Hmm.. Aku lupa sebagian judulnya. Seperti Kannibal, Wrong Turn, dll. Entah kenapa, saat menonton film dengannya aku jadi ikut terbawa seru. Padahal, aslinya aku takut sekali melihat adegan seram demikian. Aku pun akhirnya jadi suka film demikian sampai sekarang.
***
Time flies, film-film bergendre mirip SAW pun bermunculan. Aku ingat film Only Invitation yang pernah sekilas kutonton di laptop kakakku. Film psikopat yang dikumpulkan untuk menonton para pemain game yang saling membunuh hingga dicari dan disiksa. Seram sekali.
Kemudian, film lain pun bermunculan. Hunger games misalnya. Sebuah Insight yang mungkin akan menjadi ramalan masa depan tentang berubahnya sifat manusia dan jenjang diferensiasi sosial. Film-film menantang lainnya pun bermunculan. Ada yang berwujud serial dan lain-lain. Ada yang membawa monster dalam cerita layaknya film Kingdom dan Sweet Home. Ada pula yang membawa unsur game untuk pertaruhan hidup dan mati seperti anime yang berjudul BTOOM.
Tentu aku juga sudah menonton film Alice in the Border Line dan Squid Game yang sedang ramai dibicarakan itu. Disini, aku tidak akan menulis antara kedua film itu lebih bagus mana? Disini, aku hanya akan bertanya kepada pembaca..
Apa yang kalian rasakan saat menonton film-film itu?
Apakah kalian merasakan hal sama dengan yang aku rasakan? Awalnya yang merasa ngeri, lalu perlahan memicu rasa penasaran dan hmm.. Adegan yang awalnya terasa tidak pantas, menjadi hal yang biasa saja. Bahkan, kok rasanya seru ya melihat hal-hal demikian?
Aku sering loh bertanya-tanya pada hatiku sendiri. Apakah menonton film demikian membuat aku merasa tertantang, penasaran, atau mirisnya.. Apakah aku bahagia menonton film demikian?
Well, mungkin terdengar lebay. Seperti, “eh win, jangan dianggap serius kali. Ini kan hanya film.. Bla bla.. “
Ya aku pun merasa demikian sih. Kan namanya juga film.
Just for fun laah.
Tapi, seketika inspirasiku meledak setelah menonton ending dari film Squid Game.
Lucunya, ending tersebut seperti berhubungan dengan tulisan yang baru minggu kemarin aku tulis. Tentang kenapa sih semakin kita dewasa semakin sulit untuk bahagia?
Sulit Bahagia? Lihat Orang Lain yang Lagi Susah Aja
“Kamu tidak tau rasanya. Kau pikir hanya orang miskin sepertimu yang merasa tidak bahagia? Kami, para orang yang sudah memiliki segalanya juga sering merasa tidak bahagia. Merasa hampa karena tidak ada hal yang menyenangkan lagi. Karena itulah game ini dibuat.. Aku ingin merasakan kesenangan lagi.”
Kakek 001
Yaa.. Itulah kata-kata terakhir seorang kakek-kakek yang sakit-sakitan dan peserta Squid Game nomor 001 yang ternyata juga Sang founder Squid Game. Sumpah, kalau aku menjadi Gi-Hun pastinya sih menyesal sekali karena berempati pada orang yang salah.
Lalu, hati polos ini seketika ingin mencela. Ya ampun udah tua kenapa juga sii musti macem-macem? Simple loh padahal kalau ingin menciptakan kesenangan itu.. Kita cukup.. Hmmm.. Apa ya.. Kok ruwet.. Konon bahagia itu sederhana.. *hei kakek, apakah kamu tidak punya cucu nan menggemaskan? 😂
Yaa, kata siapa bahagia sederhana?
Semakin dewasa.. Semakin susah bukan mencari makna bahagia? Karena itu memang sudah rumusnya dari Tuhan. Kalau ketika dewasa, kita tidak bisa memakai jurus yang sama ketika masih kecil dulu.
Memangnya, apa sih jurus bahagia ketika masih kecil? Kenapa ketika dewasa jurusnya harus berbeda? Kenapa ketika dewasa susah sekali bersyukur?
Well, sadar gak sih kadang kita itu sering salah dalam mendefinisikan syukur?
Misalnya saja, ketika seorang anak tidak menghabiskan makanannya. Sang Ibu sering kali berkata begini, “Kamu itu harusnya bersyukur masih bisa makan, diluar sana.. Banyak sekali yang tidak bisa makan sampai busung lapar. Coba lihat Foto-foto anak afrika ini..”
Pertanyaanku, apakah sebenarnya yang dirasakan oleh anak tersebut ketika melihat foto-foto menggenaskan tersebut? Apakah muncul rasa empati? Atau malah begini..
“Iya ya, syukurlah masih banyak yang hidupnya lebih susah dari pada aku. Syukurlah hidupku masih enak dibanding orang dibawahku..Syukurlah aku masih LEBIH. “
Pada akhirnya, anak suka sekali melihat kebawah untuk bisa merasakan syukur. Merasa hidupnya nyaman dsb. Kalian mengerti maksudku? Bagaimana kira-kira ending dari perasaan demikian?
Tanpa ada rasa untuk ikut membantu orang yang susah, kadang rasa empati sering kali meleset sasaran.
Dari yang seharusnya empati, menjadi senang melihat orang lain susah.
“Orang yang lebih susah dari aku banyak, maka aku harus bersyukur..” (Sambil melihat orang mengais sampah dan anak terlantar di jalan)
“Kok hidupku flat? Bentar, lihat orang yang di bawahku aja.” (Sambil melihat orang yang hidupnya stuck, pekerjaannya sulit, punya banyak hutang)
“Kok hidupku gak menyenangkan lagi sih? Kok permainan yang dulu aku mainkan di masa kecil gak seru lagi sih? Gimana kalau orang yang susah ini, aku bikin hidupnya jadi kayak game. Pasti bakal seru..”
Dan, terciptalah skema film seperti Squid Game, Only Invitation hingga Hunger Game.
Menurutku, film-film ini adalah sebuah ramalan tentang psikologis manusia di masa depan. Bukan hal mustahil manusia bisa begitu di masa depan kan? Karena saking ‘kosong’nya rasa, mereka yang berada diatas mencari sensasi berbeda dalam mendefinisikan apa itu tantangan dan apa itu bahagia.
Film Life and Death, dari awal kemunculan SAW yang sifatnya membenarkan rasa dendam berubah menjadi adanya perasaan senang ketika melihat penderitaan orang lain
Ternyata, senang ya melihat orang kesusahan itu.
Belajar Senang Melihat Kesenangan Orang Lain
Dari 2 minggu tak membuka sosmed, aku sering merenung dan melamun sendiri. Sebenarnya, aku ini kenapa ya? Kenapa kadang, melihat kesenangan orang lain di sosial media bisa mengikis rasa bahagiaku? Bukankah sosial media itu memang diciptakan untuk eksistensi diri? Bukan seperti Dementor yang memang diciptakan untuk menghisap kebahagiaan?
Lalu sebenarnya, siapa Dementor yang telah mengikis kebahagiaan antara aku dan sosial media? Apakah orang yang aku follow atau hatiku sendiri?
Aku akhirnya sadar bahwa, sosial media adalah salah satu tempat untuk belajar menata hati. Tentang belajar senang melihat kesenangan orang lain.
Belakangan, ada simpul senyum yang muncul di wajahku ketika melihat salah satu akun. Akun yang selalu sharing tentang berbagi kepada orang-orang yang dibawah. Bagi sebagian orang, hal seperti ini mungkin tidak pantas dipertontonkan. Karena aduh, kok suka sekali riya? Begitu bukan? Atau wah, orang miskin sakit hati kalau kesusahan mereka difoto-foto.
Tapi disisi lain, bagi orang yang telah kehilangan rasa empati sepertiku.. Melihat orang yang awalnya susah menjadi tersenyum itu kebahagiaan tersendiri. Aku sulit merasakan bahagianya orang-orang yang memang dari lahir punya semacam privilege besar. Tapi ketika orang susah menjadi bahagia, ada rasa yang berbeda disana. Semacam perasaan yang senang karena telah membantu orang lain. Padahal, toh bukan aku yang membantu saat itu. Tapi, akun tersebut menginspirasiku untuk melakukan hal serupa.
Level mencoba mengerti arti kebahagiaan milikku masih sampai disitu. Sedikit sekali. Tapi, aku bertekad supaya menjauhi sifat layaknya kakek-kakek pada film Squid Game. Aku tidak mau ketika sudah tua menjadi sepertinya atau para anggota VIP. Mencari kebahagiaan dari kesenangan melihat kesusahan orang. Atau yang sering terlihat belakangan pada level rendahnya adalah.. Senang ketika ada buah bibir yang layak digosipkan untuk direndahkan. Ah, sedih sekali kalau ketika menjadi tua dan kehilangan gairah hidup.. Pikiran jadi seperti itu. Hiks.
Aku pun belajar mengenal batasan dalam level bahagia. Untuk makhluk sepertiku yang masih ‘belajar’ tak sepatutnya memang aku menengadah ke atas untuk menemukan syukur. Kepo pada instagram para artis misalnya. Itu belum menolongku untuk merasakan kebahagiaan mereka. Justru, aku menjadi cenderung ingin meniru. Dan aku sadar itu tidak bagus untukku.
Ada batas bahagia antara memutuskan menengadah keatas atau menunduk kebawah. Ketika menengadah, janganlah terbawa serakah. Ketika menunduk, janganlah merasa tinggi dan bisa berbuat sesukanya.
Hal-hal demikian tentu sudah sering bukan kita dengarkan pada ceramah agama? Tapi, kita akan mendapatkan ‘rasa’nya ketika benar-benar mengalaminya atau simplenya.. Menonton film yang berhubungan dengan itu.
So, big thanks buat kakek 001 yang benar-benar mengingatkanku akan pentingnya gairah hidup yang benar. Yaitu dengan mencoba mencari makna dan merenung dengan kebalikan dari pandangannya.
Kadang, film itu menginspirasi bukan? So nonton film life and death? Kenapa Enggak? 🙃