Browsed by
Category: Ekonomi

Social E-commerce bersama PT Komunitas Cerdas Indonesia

Social E-commerce bersama PT Komunitas Cerdas Indonesia

“Pakeeet”

Teriakan kurir siang itu membuatku bersemangat menuju ke depan rumah. Sembari mempersiapkan uang, suamiku yang sedang duduk santai di ruang tamu ber’ehm’ sambil berkata..

“Belanja apa lagi Ma?”

Akupun cengengesan sambil berkata, “Belanja Masker Pah..”

“Beli masker pun onlen? Kan di depan komplek rumah banyak yang jualan..”

“Anu.. Mumpung lagi promo dan gratis ongkir Pah.. Hehe..”

Bisnis Zaman Now tanpa Internet? Gimana Nasibnya? 

“Ish, sesekali belilah jualan para tetangga sekitar. Jangan beli onlen terus..” Obrolan kembali berlanjut ketika aku dengan sumringah membuka paket. 

“Kalo keluar rumah pastilah dibisa-bisain mampir Pah. Tapi kan kadang susah keluar rumah. Dua buntut ini pasti pada ikut.”

Suamipun bergeleng-geleng kepala sambil melihat hasil belanjaku.. 

“Berapa harganya ini?” Ucapnya sambil memegang sekotak masker anak. 

“Cuma 30ribu pah. Gratis ongkir pula..”

“Wah, murah amat.. Nanti beliin buat aku juga ya kalo diskon lagi..”

Akupun melongo sambil tertawa.. 

Hmm.. Berbicara tentang perkembangan ekonomi di masa pandemi memang ada up dan down. Disatu sisi, ada beberapa pedagang yang bisa survive. Tapi disisi lain, ada yang gulung tikar hingga bangkrut. 

Sebutlah Pak Min, pedagang kantin sekolah yang banting setir menjadi penjual masker. Pak Min lahir di era generasi baby boomer, sehingga tidak mengenal internet. Hanya baru-baru saja beliau kenal dengan apa itu Whats App. Itupun karena terdesak dengan kondisi anak yang harus sekolah online. Boro-boro kenal dengan zoom dsb, Pak Min lebih memilih anaknya ikut belajar dengan tetangga dibanding harus repot dengan menginstall aplikasi dan bingung harus apa lagi. 

Tak jauh dari sana, ada seorang tetangga yang tak berbeda jauh umurnya bernama Pak Usup. Pak usup yang sudah 3 bulan di PHK, kini harus banting setir dengan berjualan abon ikan. Berbagai pemasaran dilakukan tapi hasilnya tidak maksimal. Sampai akhirnya anaknya yang sekolah SMA mengenalkannya pada e commerce dan berbagai aplikasi market place. Pak Usup akhirnya mencoba berdagang online. Bekerja sama dengan anaknya sebagai pengelola toko onlinenya. 

Bisakah ditebak yang mana yang lebih sukses? 

Pak Usup tentu. 

Mungkin benar kiranya bahwa di zaman sekarang, orang yang tidak mengenal internet dan tidak memiliki kemauan untuk belajar maka akan mengalami ketertinggalan. Baik itu secara sosial maupun ekonomi. 

Jujur, sebelum pandemi aku tipe emak-emak yang lebih mengandalkan belanja secara langsung dibanding belanja online. Alasannya, karena aku suka jalan-jalan dan bertemu orang. Haha. Tapi, setelah pandemi melanda, perlahan berbagai e commerce mulai aku kepoin. Sudah 3 aplikasi market place yang aku install. Dan aku sangat menikmati belanja online. Pola konsumsiku berubah. Dari yang dulu offline menjadi serba online. Inilah yang dinamakan era digitalisasi. Era ini mengubah pola produksi, distribusi maupun konsumsi. 

Membangun Pertumbuhan Digital Indonesia bersama PT Komunitas Cerdas Indonesia dengan Konsep Social E-Commerce

Sadar tidak sadar, pertumbuhan digital di indonesia berkembang sangat pesat. Terlihat dari tingginya jumlah belanja E-Commerce Indonesia yang melampaui berkali-kali lipat dibandingkan pengeluaran iklan berbasis selulernya. 

Aku sangat menyadari nyamannya bersahabat dengan proses produksi, distribusi dan konsumsi di era digital. Untuk usaha IT keluarga kami misalnya. Kami sudah tidak memakai sistem pemasaran melalui pengajuan proposal ke lembaga-lembaga pemerintah lagi. Melainkan sudah merambah melalui iklan di google ads dan facebook ads. Sungguh ini membuat sebuah perubahan besar. Dari yang awalnya kami berpikir keras untuk berkembang di era pandemi menjadi merasa nyaman dengan datangnya klien di berbagai belahan dunia. Mungkin, inilah yang dinamakan the power of kepepet. 

Nah, tahukah kalian bahwa ada konsep baru untuk industri periklanan dan e-commerce ini? 

Adalah PT Komunitas Cerdas Indonesia, perusahaan yang menawarkan konsep baru yaitu social e-commerce sebagai pilihan investasi dan bisnis di masa mendatang. Akarnya berasal dari social concept yang merupakan konsep baru dengan menggabungkan kekuatan sosial masyarakat dengan industri digital big data. 

Dengan Social E-commerce, kekuatan masyarakat dapat digunakan untuk meningkatkan percepatan distribusi produk secara digital. 

Lalu, dengan adanya Social Advertising, kekuatan masyarakat digunakan untuk melakukan percepatan dalam meningkatkan traffic digital advertising. 

Wuah, sound familiar ya. Para pegiat sosial media dan pedagang E-commerce pasti sudah sedikit mengerti kemana larinya konsep ini. Contoh kecilnya saja, jika kita sedang melihat para influencer favorit sedang merekomendasikan produk favoritnya maka kita akan melakukan ‘action’ dengan kepo ke market place yang menjual barang tersebut. Social E-commerce adalah sebuah konsep yang diharapkan dapat meningkatkan percepatan distribusi produk secara digital dengan cara penggabungan kekuatan masyarakat dan industri digital. Jadi, social E-commerce ini berbeda ya dengan social commerce. 🙂

Lantas, bagaimana berjalannya konsep social E-commerse ini? 

Konsep baru ini akan terlaksana di dalam mobile apps bernama Viplus, yang nantinya disana akan ada produk suplemen kesehatan di e-commerce nya. 

Aku pribadi sangat menantikan mobile apps Viplus ini. Semoga dengan adanya aplikasi ini pilihan bisnis dan investasi hingga langkah para penggiat ekonomi semakin nyaman. 

Jadi, siapkah mengubah pola konsumtif menjadi produktif? 

Bedakan antara Suami Pelit dan Suami Hemat

Bedakan antara Suami Pelit dan Suami Hemat

“Sayang, kayaknya bulan ini keperluannya bakal lebih deh. Buku anak mesti dibeli karena tahun ajaran baru. Pengeluaran yang lain juga ada nih..”

“Ya dicukup-cukupkan dulu bisa gak Ma. Soalnya uang kita juga ngepas kan..”

“Tapi bukannya Papa kemarin dapet uang sampingan dari kerjaan?”

“Ya tapi kan buat Mama. Kan kasian loh adek aku juga masih sekolah.”

Sang Istri pun menunduk lantas tak sengaja meneteskan air mata. Sudah berkali-kali rasanya suaminya seperti itu. Sering sekali. Seakan ia hanyalah orang kedua yang membutuhkan nafkah darinya. Seakan hanya dia-lah yang harus berputar-putar mencari cara agar keuangan rumah tangga kami mencapai kata ‘cukup’. 

Dan kadang, Sang Istri sering bertanya pada diri sendiri.. 

“Apakah suamiku ini pelit? Atau terlalu hemat?”

Suami Terkesan Pelit, Salahkah? 

Abaikan cerita diatas. Berhentilah berimajinasi seolah-olah itu adalah cerita curhat dariku. Jujur, enggak juga sih mirip, tapi aku yakin pasti diantara pembaca disini pernah mengalami posisi yang sama. Terutama di ujian awal pernikahan. Iyakan? Nafkah lahir memang ujian sensitif.

Huft. Yup ujian pernikahan terberat memang pada tiang ekonomi. Masa ketika punya ambisi memiliki rumah sendiri, berdiri sendiri, ditambah sudah memiliki anak dengan gajih yang pas-pasan. Belum lagi soal cobaan menjadi sandwich generation. Digeronggoti sana dan sini. Lalu kemudian keadaan menjadi serba salah. Ingin bekerja, tetapi anak harus bagaimana? Tak bekerja namun keuangan tak memadai. 

Merajuk, tapi kenyataannya tidak bisa. Karena begitulah keadaannya. Lalu kemudian setan-setan mulai berbisik ramai ditelinga.. 

“Dia pelit sekali”

“Bahkan anaknya sendiri tidak penting baginya.”

“Dia lebih memilih Ibunya dibanding dirimu.”

“Harusnya dia menikah dengan Ibunya saja.”

Setan-setan itu, membuat istri yang keadaannya serba salah menjadi bertanya-tanya pula. Lalu kemudian berakhir dengan tetesan air mata. Ingin berkomunikasi takut ditekan lantas dianggap tak bisa mengatur keuangan rumah tangga. Tapi jika terus dipendam maka kapan ada jalan keluar? 

Pernahkah kalian berada diposisi demikian ketika ingin berkomunikasi tentang keadaan ekonomi? Aku? Pernah banget! 

Lalu apa yang aku lakukan? Apakah aku langsung menangis bombay dan berteriak parau dihadapan suami? Tidak. Aku mencari ‘jeda’. 

Jeda itu aku gunakan untuk mengoreksi diri. Mengekspresikan kemarahan melalui jempol-jempolku. Mengukir prasasti pada WA story yang aku atur privasinya. Berharap ada 10 dari teman dekatku yang memiliki nasib yang sama lalu memelukku. Kadang, harapanku tak muluk-muluk. Hanya ingin didengar. Itu saja. Itulah kenapa, diantara 10 kontak itu. Suamiku adalah salah satunya. Aku berharap dia bisa membaca luapan amarah itu. Aku ingin dia tau bahwa aku marah tapi aku takut marah dihadapannya. 

Saat itu setan sedang ramai sekali menari di jemariku. Mungkin mereka tertawa. Aku tidak tau apa yang ada dibenak teman-teman yang membaca status privasiku. Tapi satu hal yang jelas. Aku lega. Dan jeda itu aku ulang lagi dan lagi. Seperti menjadi candu. 

Saat waras menghinggapiku. Dan setan itu sudah lelah dan tertidur. Aku menatap nanar ke arah suamiku yang kelelahan dalam tidur malamnya. Berkata dalam hati, “Mungkin, sebenarnya dia memiliki beban yang tak kalah besar dariku.. Apakah aku yang selama ini menutup mata akan bebannya? Apakah selama ini kami saling memendam rasa karena ‘malu pada beban masing-masing’?”

Bagaimana kalau.. Memang dia tidak punya pilihan? Atau dia takut berkomunikasi? 

Dan hal yang paling aku takutkan saat itu adalah, “Bagaimana kalau ternyata aku tidak dipercayai..?”

Lalu, aku terlempar pada masa lalu. Masa saat kami masih berkenalan dulu. Aku ingat dia pernah berkata padaku.. 

“Dalam kehidupan. Kita harus punya mimpi yang tinggi. Prinsipku adalah aku harus punya mimpi setinggi bintang. Walau senjataku hanyalah tangga. Setidaknya aku punya pijakan untuk melangkah. Walau ujungnya hanyalah atap rumah atau bahkan buah mangga sekalipun. Setidaknya aku sudah menaiki tangga itu.”

Kadang aku melamun dan berpikir. Bagaimana kalau ia sedang membuat anak tangga sendiri? Namun tidak melibatkanku karena ia takut jika aku terlibat maka aku akan memberikan opsi yang tidak maksimal untuk kualitas anak tangganya? 

Jangan-jangan selama ini kami memasang senjata yang salah. 

Ia pelit dan sukar berkomunikasi untuk senjata dan tamengnya. Sedangkan aku diam dan marah untuk senjata dan tamengku sendiri. 

Hidup kami pun pernah mengalami masa-masa itu. Masa dimana kami tidak terbuka, saling curiga. Dia menganggapku tidak bisa mengatur uang karena aku tak pernah melibatkannya. Dan aku menganggapnya pelit karena dia tak pernah mengikutsertakan diriku dalam membangun anak tangganya. 

Akhirnya aku mengerti. Ini bukan perkara pelit. Ini soal saling mengerti. 

Jika Suami Pelit, Mungkin… 

Mungkin sebenarnya.. Dia sedang membangun mimpi. Maka, berusahalah masuk kedalam mimpinya itu. Libatkan dirimu. 

Rasakan bebannya, kemudian ringankan beban itu. Berusahalah memahami. Tekan ego itu, walau butuh sekalipun berusahalah untuk tetap membangun anak tangga itu. Karena pernikahan harus memiliki mimpi. Semua mimpi dilalui dari rasa susah. Ini berat. Banget. Tapi, sebisa mungkin. Berkomunikasilah. 

Jika rasa pelit itu sudah sangat berlebihan tak ada salahnya untuk mencoba jurus-jurus yang pernah aku tulis ini

Baca juga: Jurus-jurus jitu ketika budget keuangan pas pasan

Memiliki suami yang tak paham dengan pengeluaran rumah tangga itu adalah cobaan sejuta wanita. Banyak sekali wanita diluar sana yang memiliki cobaan yang sama apalagi diawal-awal pernikahan. Sesungguhnya, pelit itu tidak bisa disalahkan selama banyak unsur mimpi didalamnya. Seperti yang pernah terjadi padaku. Tapi jika karena faktor lain, mungkin jurusnya pun berbeda pula. Suami pelit itu salah. Tapi tak sepenuhnya salah. Yang bisa kita lakukan adalah meyakinkan diri dan pasangan. 

“Kita harus hemat, bukan pelit..”

Suami Hemat dan Pelit? Apa Bedanya? 

Ya beda dong marimar. 

Suami Pelit itu egois, mengesampingkan kepercayaan dan menganggap goalsnya paling benar. Sedangkan Suami Hemat itu memiliki visi dan misi di masa depan dan melakukannya disertai dengan sifat keterbukaan bersama istri sehingga jikapun ‘susah’ maka susahnya terkesan bersama. Bukan dipikul sendirian. Berjalan masing-masing. Heh, pernikahan macam apa itu. 

See? Dalam menikah itu komunikasi adalah koentji. Termasuk itu dalam hal mengkategorikan suami pelit atau hemat. Mau si Suami punya Duit segudang kek, kalau ‘enggak terbuka’ sama pemasukan dan pengeluarannya.. Maka tetep aja namanya SUAMI PELIT. Catet tuh! 

So, kembali ke pembuka artikel ini. Tentang percakapan diatas, apakah menurut kalian suami tersebut adalah suami yang pelit atau terlalu hemat? 

Suami sudah berkata pada istri bahwa uang sampingannya ia berikan pada keluarganya karena mereka juga membutuhkan. Akan tetapi, ia memberikannya begitu saja tanpa berkomunikasi terlebih dahulu pada istri. Mungkin, suami takut si istri tidak memperbolehkan tindakannya. Apakah itu salah? 

Perlu koreksi diri, apakah selama ini sebagai istri kita sering ‘mendikte’ suami ketika ia memberikan uangnya pada yang lain sehingga menyebabkan adanya ketidak-terbukaan. 

Sebaliknya, reframing diposisi istri. Ketika istri sudah ‘meminta’ itu artinya ia sedang membutuhkan. Maka, tentu saja ia berharap bisa diberi. Kalimat balasan suami sedemikian akan menyebabkan istri merasa dinomor-duakan. Kembali lagi, dalam pernikahan.. Sungguh komunikasi adalah kunci. 

Karena andai saja suami tidak gengsi berkata, “Maaf..” Karena sudah tidak jujur soal uang sampingan dsb. Lalu kemudian berusaha agar ia menunaikan kewajibannya. Maka tentu tidak akan ada konflik dan berburuk sangka dalam diam. 

Jika masalah dibiarkan dan istri selalu ‘diam’ maka suami tidak akan merasa bersalah. Maka harus dikomunikasikan. 

Ketahuilah, permasalahan ekonomi ini adalah tiang dalam kesejahteraan rumah tangga. Maka, keterbukaan adalah penawarnya. Ini bukan soal suami pelit atau hemat aja. Bukan soal ‘mengatur uang’ saja. 

Percayalah, bahkan suami boros sekalipun mungkin masih lebih baik dibanding suami hemat tapi tidak terbuka. Dalam catatan suami boros tersebut terbuka tentang keuangannya. 

So.. Suami Misua Hubby Honey diluar sana.. 

Percayailah Istrimu. Itu saja. 

Drama Start Up dan Warna-Warni Perasaan di Dalamnya

Drama Start Up dan Warna-Warni Perasaan di Dalamnya

Minggu 6 Desember sudah berlalu.. Minggu yang benar-benar spesial karenaaaaa… 

Episode Terakhir Start Up udah kelarrr… 

Jadi, siapa pemenangnya? 

Kamu Tim #NamDosan atau #HanJiPyong? 

Begitu kan yang sedang trend akhir-akhir ini di dunia perdrakoran? Sampai ada war-nya segala.. 🤣

Well, gak salah sih ya kelakuan Writer Nim emang juara banget dalam ngaduk-ngaduk perasaan netizen. Sudahlah diaduk, ditambahin micin sama gula pula. Padahal sudah emak bilang loh, micin ya micin.. Gula ya gula. Jangan barengan. Nanti terlalu sedap! 

*ini ngomong apaan sih? 

Pokoknya, nonton ini itu perasaan nano-nano. Manis, asem, asin, kegeeran. Ya begitulah kalau yang nonton sok-sokan reframing jadi Seo Dal Mi segala. Wkwk.. Bener-bener deh nih pandemi, bikin emak keracunan nonton drakor aja dari kemarin.

Nah, berikut ini adalah Warna-Warni perasaan emak ketika menonton drama Start Up:

Mengalami 2nd Lead Syndrome

Jujur ya, emak tuh sudah sering nonton drakor. Tapi, baru kali ini yang bener-bener terpana dengan 2nd lead. Bahkan selalu protes saat netizen bilang kalau Ji Pyong adalah 2nd lead. Karena bagi emak sih ya kok gak pantas gitu. Peran karakternya lumayan dominan loh. Dan yang utama adalah dia yang membangun drama ini jadi up n down. 

Dari pertemuannya dengan si nenek, surat dengan Dal Mi, caranya membangun dan memotivasi Samsan Tech dari belakang. Wow, super sekali sih. Sudah pantas banget jadi 1st lead gitu. 

Tapi kenyataannya, menurutku writer nim agak kebablasan dalam memasukkan karakter Ji Pyong ini. Terlalu dominan ngebaperinnya jika dibandingkan dengan Nam Do San. Padahal, kelihatan sekali kalau Nam Do San lah sebenarnya 1st leadnya. Biasanya loh namanya karakter 2nd lead gak sebaper ini. 

Sejak awal aku jujur saja sudah simpatisan berat sama karakter Han Ji Pyong. Caranya berekspresi itu menggemaskan. Aura denialnya saat menolak menjadi anak baik itu menggemuruhkan dada (halahh). Apalagi kalau melihatnya mendadak jadi pahlawan, luluh seketika. Gak heran, tim Han Ji Pyong ini banyak banget. 

Tapi, apakah aku juga Tim Han Ji Pyong seperti ‘mereka’? Jujur, enggak segitunya sih. Hihi. 

Story di instagram ini aku buat tanggal 22 November. Aku #TimJiPyong tapi aku mendukungnya untuk selalu menjadi anak baik. Bukan mendukungnya untuk memenangkan hati Dal Mi. Karena aku benar-benar terinspirasi dengan karakternya. Suka sekali. Menurutku ya, karakter Ji Pyong ini adalah karakter terbaik yang pernah Writer Nim ciptakan. 

Meski jujur, aku sempat kecewa dengan perubahan mendadak karakternya di episode 13 dan 14. Seakan sedikit dipaksakan. Sempat malas sekali nonton episode terakhirnya. Karena takut karakternya diubah demi kemenangan Do San. Tapi ternyata, endingnya mengagumkan. Salut dengan penulisnya. 

Merasa Senasib dan Satu Sifat dengan Do San

Aku mendukung Do San mendapatkan Dal Mi. Tapi, karakternya masih tidak bisa mengalahkan ke-baperanku pada karakter Ji Pyong. Maka, aku bukan tim Do San. 

Aku mendukungnya untuk mendukung diriku sendiri. Karena aku merasa mirip dengannya. *Tapi katanya bukan tim Do San. GIMANA SIH? 

Well, Aku tumbuh di lingkungan keluarga yang sangat mirip dengan Do San. Walau jujur aku tidak sepintar Do San. Scene yang membuatku merasa sangat mirip dengannya adalah tentang meraba-raba tujuan hidupku. Aku sungguh sangat baper ketika menonton scene dimana Do San hidup untuk membahagiakan dan membanggakan orang tuanya. Sungguh sama.. 😭

Aku juga sangat baper ketika melihat Do San bingung meraba mimpinya ketika ditanya, “Apa cita-citamu?”

Aku juga merasakan hal yang sama ketika orang tuanya berbisik tentang cita-cita seharusnya. Aku merasakan kebingungan dihati Do San. 

Pokoknya, Karakter Do San sangat mewakili generasi Milenial sepertiku. Sangat. Up and Down Do San dalam Quarter life crisis itu sangat related dengan kehidupan remaja seumurannya dan juga seumuranku dahulu.

I’m so happy ketika Do San sudah paham dengan mimpinya sendiri. Yes, Just Follow Your Dream!

Kadang juga Merasa Mirip Dengan Dal Mi

Apaan sih? Tadi merasa mirip Do San. Sekarang Sok kegeeran mirip Dal Mi? Mirip dimana? Nasibnya? Direbutin dua cowok super legit juga? 

Enggak lah.. Mirip mukanya maksudku.. (Auto ditoyor berjamaah para fans Suzy..🤣) 

Becanda denk. 

Jadi, aku tuh merasa sangat terinspirasi dengan sosok Dal Mi ini. Ada dibeberapa scene hidupnya yang mewakili perasaanku banget dimana aku ngerasa. “Ih iya. Aku juga pernah gini..”

Masalah-masalah yang ada dalam perjuangan hidup Dal Mi ini sebenarnya sangat mirip dengan kehidupan kita, bukan kehidupanku saja loh. Tau gak miripnya dimana? 

Yaitu, kalau kita sudah memutuskan memilih. Maka itu berarti kita sudah siap dengan risikonya. Dan harus menghadapinya. TANPA PENYESALAN. *eh, apa lu capslock main dimari.. 

Ketika Dal Mi memilih ikut dengan Ayahnya maka ia juga harus menanggung risiko dengan beratnya beban hidup. Begitupun ketika ia memutuskan menandatangani kontrak akuisisi bakat dengan Alex tanpa teliti, maka ia harus terlepas dengan Samsan Tech. 

Aku pernah merasakan hal yang sama dengan Dal Mi. Ketika ia berkata, “Nenek, apakah aku bunga kenikir yang terlambat?” *kalau tidak salah begitu ya? 

So related dengan hidupku sekarang walau beda latar ceritanya. 

Tapi, begitulah hidup. Hidup penuh kejutan bahagia. Juga kejutan rasa sedih. 

Dari Dal Mi aku belajar untuk tidak pernah menyesali keputusanku. Juga tidak pernah menyesali kecerobohanku. Keputusan benar maupun salah memiliki risikonya masing-masing. Kuncinya ada pada diri kita, mau terus berjalan atau stuck? 

Dari Dal Mi aku ikut termotivasi untuk bisa ‘naik kembali’ dan menemukan tempat yang tepat untukku.

Paham dengan Berbagai Selak Seluk Bisnis

Drama start up ini sungguh banyak mengajariku insight baru tentang bisnis. Aku akhirnya paham dengan maksud suami untuk ‘membangun ekosistem’ pada bisnis kami. Well, sungguh aku banyak belajar dari sini. 

Yup sebagai pebisnis pemula sungguh niat awalku nonton start up adalah kegugupan diri sendiri karena bulan ini aku sudah memiliki npwp untuk ikut serta berperan dalam bisnis suami. Walau jujur, suami mungkin hanya butuh namaku untuk jadi CEO perusahaan kecil kami tapi dalam sudut hatiku.. Aku ingin menjadi CEO yang layak. Bukan sekedar nama saja. 🙂

Maka, boleh dong aku juga memposisikan diri sebagai Dal Mi dan menganggap suamiku adalah Do San. Huahaha. Dan lucunya, di kantor kami juga punya Yo San dan Chul San sama seperti Samsan Tech. Sungguh aku bersemangat sekali mengkhayal bisnis kami akan sukses layaknya Chong Myong Company. *eh, kok jadi curhat gini? 

Oke, back to ekosistem bisnis. Aku akhirnya jadi paham dengan model profitnya PayPal dan Flip. Berbekal dengan nonton start up aku mengerti pentingnya sebuah tim yang solid, tata cara pembagian saham hingga membangun bisnis agar berkembang. 

Well, ternyata tim yang solid itu bukan hanya diisi oleh orang yang satu passion loh. Ini benar adanya. Selama 3 tahun suamiku memiliki posisi sama dengan Do San dalam bisnisnya. Ia memiliki teman yang satu passion, akan tetapi rasanya hanya berputar disitu-situ saja. 

Drama start up benar-benar mengispirasi dalam menjalankan bisnis. Tapi jujur kami belum bisa meniru itu semua. Suami bilang, lebih baik mengumpulkan laba untuk menjadikannya modal usaha. Rasanya kami tidak bisa menghubungkan investor untuk bisnis kami. Karena kami belum punya relasi yang trust soal ini. Hmm.. Anggap lah posisi kami sekarang layaknya Itaewon Class dimasa awal. Kurasa aku harus banyak menonton drama seperti ini untuk dijadikan inspirasi.

Merasa Nostalgia Melihat Kelakuan Sa-Ha dan Chul San

Jika bertanya bagaimana cerita kehidupan cintaku dengan suami dahulu maka mungkin bisa dikatakan mirip dengan kekonyolan cinta  Sa-Ha dan Chul San. Walau jujur sih karakter suami tegas, gak seperti Chul San juga. Tapi untuk beberapa scene, 60% bisa dikatakan mirip. Huahaha. Karena itulah aku selalu senyum-senyum gemas kalau sudah melihat kelakuan mereka berdua. 

Wah, kaget ya. Nulisnya norak gini tapi aslinya jaim kayak Sa-Ha? Percayalah, aslinya dulu ‘topeng’ aku begitu. Karakter topengku waktu kuliah mirip dengan Sa-Ha ini, suamipun mengiyakan. Judes dan jaimnya sangat mirip padahal itu hanya topeng. ((Aslinya, ya begini.. 🤣)) 

Apalagi kalau ingat dulu aku dan suami juga diam-diam pacaran. Tidak ada yang tau. Saat adegan Yong San ingin memecahkan script dengan Sa-Ha, I can related it dengan adegan suami yang tiba-tiba menyuruh teman diskusiku untuk maju ke depan kelas. Sementara aku bengong dibuatnya. Ah sungguh kangen masa-masa itu. 

Bercita-cita ingin Menjadi Halmoni di Hari Tua

Diantara Ji Pyong, Do San, Dal Mi hingga In Jae.. Siapa sih karakter favoritku? 

Jawabanku adalah Nenek Dal Mi. Sungguh sosok yang luar biasa luas hatinya. 

Melihatnya aku jadi teringat mertuaku. I mean, dalam banyak sisi mirip loh sebenarnya. 

Beliau yang masih setia bersama Ayah Dal Mi ketika down, lalu membesarkan Dal Mi seorang diri ketika Ayahnya Dal Mi meninggal, tidak hanya itu.. Beliau juga membesarkan Ji Pyong ditengah keterbatasan ekonominya. Merangkul Ji Pyong hingga selalu memanggilnya ‘Anak Baik’. Membelikannya sepatu, memeluknya. Hiks. Kok baper pen nangis dulu bentar. 

Tidak hanya itu, beliau masih menerima mantan menantunya yang telah membuang anaknya sendiri. Luas sekali hatinya. 

Mirip sekali dengan mama mertua yang membesarkan anak yang ditelantarkan ibunya dari kecil hingga sudah kuliah kemudian membesarkan 2 anak yang lahir bukan dari rahimnya melainkan dari istri kedua suaminya. Jika dihitung, maka sebenarnya Mertua sudah membesarkan 9 anak ditengah keterbatasan ekonomi keluarganya. Luar biasa. Tidak hanya itu, masih saja mau direpotkan dengan membesarkan 4 cucunya. Emejing bukan? 

Saking emejingnya dulu aku sampai meniru kebiasaan mertua dalam mengatur ekonomi. Tapi aku tidak sanggup.. 

Akupun bercita-cita ingin menjadi seperti Nenek Dal Mi suatu saat nanti. Walau pemikiranku masih sesempit ini, kadang masih labil dan bla bla. Bahkan mungkin hampir mustahil bisa seperti itu. Tapi aku ingin bisa sebaik itu suatu hari. Entahlah bagaimana caranya

Belajar Rasa Ikhlas Dari Ji Pyong

Sejak episode 4 aku sudah sangat yakin bahwa Ji Pyong pasti tidak akan mendapatkan Dal Mi. Ji Pyong menolak perasaan cintanya, sementara Do San langsung mengakuinya. 

So related dengan kisah cinta emak zaman SMA yang kandas. Makanya emak sangat yakin pasti gak bakal bersama Dal Mi. Biar berasa senasib dan bisa berpelukan. Huahaha 

Selain itu tokoh utama dalam drama Start Up ini mengusung tokoh andalan yang sifatnya from zero to hero. Tentunya Do San yang lebih cocok untuk itu bukan Ji Pyong. Karena Ji Pyong sudah dalam keadaan sukses menjadi investor ketika bertemu dengan Dal Mi. 

Banyak yang menganalogikan Do San dan Ji Pyong bagaikan tokoh Naruto dan Sasuke. Dan berharap Sasuke (Ji Pyong) akan bersama Sakura (Dal Mi) di endingnya nanti. Akupun jujur juga pernah berharap demikian meski tidak ekstrem sekali. 

Saat episode 12, aku sudah yakin seyakin yakinnya bahwa Ji Pyong gak akan mendapatkan Dal Mi. Meski begitu, aku tetap melanjutkan menonton drama ini untuk semata-mata melihat Ji Pyong sampai akhir. Apakah dia akan bahagia? Apakah dia bisa ikhlas? Itulah yang aku pikirkan. 

Karena seperti kata-kataku diawal tadi, aku adalah #TimJiPyong tapi aku mendukungnya untuk selalu menjadi anak baik. Bukan memenangkan hati Dal Mi. 

Dan ternyata endingnya sesuai dengan harapanku. Ji Pyong sukses mencuri hatiku untuk menjadi anak yang benar-benar baik. Ditengah kesedihannya karena tidak bisa mendapatkan hati Dal Mi. Ditengah kesepiannya itu ia melepaskan semuanya dengan menjadi Investor yang sesungguhnya. 

Surat 15 tahun yang lalu, usaha menunggu hati Dal Mi yang terbuka untuknya, berakhir dengan ‘oh gitu ya’

Tapi Ji Pyong melepaskan semuanya dengan bertemu dengan Yeong sil versi asli dan menjadi ‘Sand Box’ yang sebenarnya. 

Tanpa Ji Pyong, drama ini tidak berarti. Banyak belajar dari Ji Pyong tentang hati yang dimulai dengan keras bisa menjadi selunak dan sebaik itu. 

Mungkin karena si nenek selalu menyebutnya ‘Anak Baik’. Karena setiap ucapan itu adalah doa. Bukankah begitu?

Belajar Pentingnya Kesetiaan dari Pasangan

Drama start up ini dimulai dari cerita tentang Ayah Dal Mi yang memutuskan untuk berhenti bekerja di perusahaan dan memulai merajut impiannya. Akan tetapi, keadaan finansial tidak mendukungnya. Ia memiliki keluarga yang perutnya harus diisi. Karena itulah, istrinya langsung mengancam untuk menceraikan Ayah Dal Mi jika berhenti bekerja. I know that feeling. Saat semua orang mengutuki kelakuan Ibu Dal Mi tapi entah kenapa aku bisa paham posisinya. Sungguh jadi Ibu itu posisinya serba salah ya. Coba deh saat kejadian ini bisa ada keajaiban layaknya film go back couple juga. Eh, tapi kan gak mungkin.

Seseorang pernah bilang padaku.. 

“Ujian seorang istri adalah ketika suami dalam keadaan terpuruk, sementara ujian seorang suami adalah ketika ia sudah menemui kesuksesan.”

Unknown

Maka sesungguhnya, seterpuruk apapun kondisinya.. Tugas istri adalah mendukung suami dalam menggapai impiannya. Ini menjadi catatan untukku dikemudian hari juga. Bahwa apapun cita-cita suami, aku harus terus berada disampingnya untuk mendukungnya. 

***

Well, itu dia perasaan-perasaan nano-nano yang sudah aku tuangkan setelah menonton drama start up. Sedikit banyak curhat didalamnya tapi aku senang menulisnya. Karena drama ini sunguh banyak memberikan pembelajaran dan insight baru untuk kehidupanku. 

Kalau kalian bagaimana? Sudah nonton drama hits ini juga? Curcol denganku yuk! 

Mengatasi Suami yang Lemah Tentang Nafkah Lahir

Mengatasi Suami yang Lemah Tentang Nafkah Lahir

“Gimana ya cara ngomong sama suami, masa aku dikasih segini aja tiap bulan? Padahal udah tau anak nambah. Udah tau biaya sekolah segini, biaya bulanan segini.. Kok masih gak ngerti aja ya.. “

Sebuah diskusi awal dari grup WAG emak-emak yang tentu saja ada aku didalamnya. Sebagai silent reader, aku hanya bisa manggut-manggut membaca chat demi chat yang mengompori maupun menyemangati Ibu tersebut. Ingin sekali rasanya ikut nimbrung. 

Writing.. Tapi delete lagi.. Writing.. Tapi delete lagi.. 

Ya ampun, aku memang gak pede sih kalau ikutan nimbrung di tengah-tengah banyak kepala begini. Akhirnya, kuputuskan untuk menyimak hingga akhir. Dan, selang seminggu berlalu.. Kuberanikan diri untuk menulis blogpost ini.. 

Bagaimana Mengatasi Suami yang Lemah Tentang Nafkah Lahir? 

Jujur, selama 8 tahun umur pernikahan.. Aku sangat pernah mengalami hal yang sama dengan Ibu tersebut. Dari awal nikah yang hanya dikasih nafkah 300rb, lalu 1 juta, 2 juta, hingga 3 juta. Aku sendiri? Bukanlah seorang Ibu pekerja. Aku hanya perempuan biasa yang memilih nikah muda kemudian menjadi IRT saja. Tanpa uang sampingan_ Apalagi statement mandiri secara finansial. Ya setidaknya sebelum ngeblog dsb. 

Aku juga pernah menangis di kamar. Memikirkan bagaimana menambal uang sekolah anak. Apalagi ketika sudah ‘meminta’, bukannya uang yang aku dapatkan tapi sebuah keluhan. Seakan aku bukanlah manager keuangan yang pantas dalam rumah tangga untuk diberikan kepercayaan. 

Aku juga pernah memandang iri kepada teman-temanku. Apalagi kepada mereka yang disayang oleh suaminya, padahal mereka tidak sehemat aku dalam mengelola uang. 

Jadi, seandainya bisa.. Aku ingin memeluk Ibu yang mengeluh tersebut. Mengatakan kepadanya.. “I feel you..”

Yah, bagiku.. Tidak cukup berkata sabar kepadanya sebagai semangat. Tidak cukup pula berkata ceramah dsb. Apalagi untuk menguatkan dengan menyuruhnya memulai usaha untuk bisa mandiri secara finansial. Itu bukanlah hak yang bijak ditengah-tengah keluhan itu. 

Tapi, pengalaman 8 tahun menikah membuatku banyak belajar. Bahwa mengatasi suami yang lemah soal nafkah lahir bukanlah hal yang instan. Perlu proses panjang. 

Bahkan jujur saja, aku baru-baru ini saja mendapatkan kepercayaan untuk mengelola keuangan rumah tangga. Bayangkan apa yang terjadi padaku sebelum ini? Aku bahkan pernah menulis tulisan konyol sebagai kode lucu untuk suami. But, no respon. Hahaha

Baca juga: “10 Jurus yang Perlu Istri Ketahui Ketika Jatah Bulanan Kurang

Ah lupakan. Pada akhirnya, jurus-jurus dibawah inilah yang efektif untuk menaikkan jatah bulanan. 

1. Pahami Pola Pikir Suami, Apakah Ia Memiliki Tanggungan Lain? 

Pernah mendengar istilah sandwich generation

Yaitu ketika generasi penerus harus menanggung kebutuhan hidup generasi sebelumnya?

Itulah yang terjadi pada keuangan rumah tanggaku. 

Nafkah yang dimulai dari uang 300rb, tinggal di rumah mertua, lalu memberanikan diri membeli rumah dengan kredit, dapat jatah bulanan 1 juta dengan anak yang masih bayi.. Itulah rumah tanggaku dahulu. Thats why, dulu aku sampai terkena baby blues. Salah satu faktornya karena ekonomi. 

Tapi mau bagaimana lagi? Jika mengingat kondisi sangat tidak memungkinkan untukku bekerja diluar. Akupun juga pernah berusaha berjualan online. Tapi ya.. Begitulah.. Hiks

Dan diatas semua kondisi itu, aku tidak mungkin menyalahkan suami. Tidak mungkin pula untuk menyuruhnya mengutamakan keluarga kami. Menikah dengan suami yang merupakan anak lelaki dari seorang Ibu yang janda serta memiliki beberapa adik yang masih sekolah maka aku juga harus rela berbagi. Itulah risiko yang harus aku hadapi diawal pernikahan. 

Tanggungan-tanggungan seperti ini merupakan hal yang harus kita perhatikan. Ketika suami memberi nafkah kecil karena memiliki banyak tanggungan, maka kita harus berusaha ikhlas. Itulah ujian dalam pernikahan

“Wanita yang mendampingi lelakinya dari masa sulit akan lebih bermakna dibanding mendampingi lelakinya pada masa senang-senangnya saja.. “

2. Bersabar dan Kuat dengan Pola Hidup Sederhana untuk Memperoleh Kepercayaan

Memiliki tantangan sebagai sandwich generation berarti harus menemukan solusi untuk bisa mengatur keuangan. Pilihannya adalah apakah harus menambah pemasukan? Atau hidup super hemat dengan pemasukan apa adanya? 

Sebagian besar tentu akan menjawab menambah pemasukan. Pertanyaan selanjutnya, siapa yang berperan menambah pemasukan itu? Apakah suami harus memiliki usaha sampingan? Atau Istri bekerja diluar? Atau Istri bekerja di rumah saja? 

Percayalah, kami sudah mencoba berusaha menambah pemasukan pada awal-awal pernikahan. Dan Alhamdulillah, pemasukan itu dapat kami tabung sedikit demi sedikit untuk membeli uang muka rumah. Memiliki rumah sendiri adalah prioritas kami saat itu. Walau sebenarnya, sisa uang yang kami miliki karena kredit rumah ini terbilang ngepas. 

Karena itu, tidak ada pilihan lain selain mencoba bersabar dan kuat dengan pemasukan yang ngepas ini. Mau tidak mau, harus bisa mengatur budget yang ada untuk kebutuhan sebulan. Nasi dengan lauk apa adanya, menahan diri untuk tidak membeli skincare, tutup mata dengan kilauan dunia sosial. Itulah perjuangan awal menikah dengan uang yang tidak sampai 2 juta per bulan dan memiliki bayi. 

Oya, aku punya sedikit tips untuk mengatur keuangan rumah tangga dengan budget kurang dari 2 juta.

Baca juga: Tips Menghemat Pengeluaran Rumah Tangga ala Shezahome

Kadang, suami itu bukannya pelit tentang nafkah lahir. Akan tetapi, memang begitulah keadaannya. 

Kadang, suami itu bukannya tidak mau jujur tentang berapa banyak ia memberi Ibu maupun saudaranya. Tapi ia takut dengan rasa cemburu Istri yang mungkin terbakar karena rasa ikhlas yang turun naik. Hiks

Dan memang sebagai Istri, kita harus sedikit sabar.. Mengikuti pola pikirnya selama beberapa saat kemudian sederhanalah dalam mengatur keuangan agar setidaknya mendapatkan kepercayaan penuh dari suami. 

Tujuan awalku dalam sabar, kuat dan sederhana ini sangat simple sebenarnya. Bukan meminta untuk uang bulanan yang diberikan lebih. 

Aku hanya meminta, “Jujurlah padaku setiap kali kamu memberikan uang pada Ibumu. Aku tidak marah. Aku hanya ingin diberikan sebuah kepercayaan.. “

“Karena aku cukup hemat, aku bisa hidup sederhana.. Akulah manager keuangan terbaik.. Bukan yang lain.”

3. Sesedikit Apapun, Cobalah untuk Berterima kasih Sebisa Mungkin

Terdengar naif ya? 

Kalau diberi uang satu juta untuk sebulan padahal itu sangat kurang.. Apakah masih harus berterima kasih? 

Harus. Itu adalah tanda kita menghargai suami. Karena tenaga suami terisi dari perasaan dihargai oleh Istrinya. 

Tugas kita sebagai istri selanjutnya adalah belajarlah berkomunikasi sedikit demi sedikit tentang perekonomian rumah tangga. Artinya, jangan malu untuk mengeluh pada suami. 

Harga beras naik? Biaya sekolah naik? Keluhkan. 

Tidak ditanggapi? Malah diceramahi karena tidak bisa mengatur uang? Marahlah sesekali. 

Kesal banget? Sampai mau curhat ke teman dan sosial media? 

Itu manusiawi. Semua orang punya masa dimana dia butuh pendengar dan penolong. Aku pun juga sering begitu. 

Tapi sekesal-kesalnya kita dengan suami perihal nafkah yang tidak cukup jangan pernah lupa untuk menghargainya. Bahkan untuk sebijik gorengan saja. Berterima kasihlah. 

“Karena bisa saja dia membelikanmu 10 gorengan. Tapi 9 lainnya ia bagikan. Ia takut memberitahumu karena dirimu tak pernah menghargainya dengan terima kasih. Hati kerasmu telah membuatnya takut dan berprasangka..”

Karena menikah itu adalah tentang saling menghargai. Bagaimana bisa kepercayaan diberikan jika menghargai saja tidak bisa? 

Turunkan ego. Hargai dulu. Kuatlah sebentar dengan rasa itu. Semoga tidak sia-sia. 

4. Milikilah Pilihan Bijak Tentang Meningkatkan Pendapatan

Mari menyambung point nomor 2 tentang opsi lain selain mencukupkan nafkah yang ada yaitu menambah pemasukan. Karena konon sebenarnya inilah jurus pamungkas dibalik ketidakcukupan nafkah. 

Pilihannya adalah, apakah suami harus memiliki usaha sampingan? Atau sebaiknya istri juga membantu secara finansial? 

Semua pilihan baik. Tapi, pilihan terbaik adalah yang sesuai dengan kondisi masing-masing. Karena tidak semua rumah tangga bisa baik-baik saja jika Ibu bekerja. Pun sebaliknya.. Tidak semua rumah tangga bisa baik-baik saja jika suami bekerja terlalu keras hingga LDR dsb. 

Aku sendiri memilih opsi untuk memaksimalkan potensi suami. Suamiku memiliki mimpi besar selain hanya menjadi dosen. Ia memiliki mimpi untuk membangun perusahaan IT dengan bakat programming yang dimilikinya. Mimpi ini sudah lama ia rancang. Tugasku? Mendampingi dan mendukungnya dari awal. Jangan tanya tentang hal yang aku korbankan demi mendukung ini. Aku mengorbankan sebagian mimpiku. But its okay. Mimpiku yang terbaik adalah mendapatkan kepercayaan dari suami. Dan menggali sedikit mimpiku dari keberhasilan suami. 

Karena itu, aku harus full dalam usaha melayani. Tapi sekali lagi.. Itu adalah pilihanku. Bukan berarti juga itu adalah pilihan yang terbaik bagi semua rumah tangga.

Intinya, dalam meningkatkan pendapatan rumah tangga sangat dibutuhkan kerja sama yang seimbang. Jangan sampai suami terlalu lelah bekerja kemudian tidak mendapatkan apresiasi. Jangan pula istri terlalu lelah bekerja kemudian suami lalai dengan kewajibannya. 

5. Jangan Kebablasan dengan Pola Hidup Mandiri Secara Finansial

“Makanya wanita harus punya penghasilan sendiri. Ya buat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Karena kadang suami itu gak paham. Dikira kebutuhan hidup cuma buat beras dan lauk.. “

“Iya, suami juga gak bakal ngerti sama pentingnya punya skincare dan make up.. “

“Ah pokoknya biarlah. Yang penting penghasilan aku cukup buat kehidupan aku dan anak.”

Yah, aku akui.. Wanita yang mandiri secara finansial itu luar biasa hebat. Aku pun juga selalu punya mimpi untuk bisa memiliki penghasilan sendiri. Apalagi, kehidupanku dikelilingi oleh wanita-wanita pekerja. Aku cukup banyak tahu hal positifnya jadi ibu pekerja. 

Tapi, kadang-kadang karena saking hebatnya.. Wanita yang memiliki penghasilan sendiri menjadi ajang ‘aji mumpung’ untuk suami meninggalkan fitrah tanggung jawabnya. Hiks.. 

Ini banyak terjadi, kita sebagai wanita kadang selalu mementingkan orang lain dibandingkan diri sendiri. Terlalu over empati lalu berujung kasihan dengan suami sendiri sampai tanpa disadari kita malah membiarkan suami meninggalkan fitrahnya. Lalu karena saking terbiasanya kemudian berpikir.. ‘Ya sudahlah..’

Padahal, ini bukan pola yang benar. Bagaimanapun juga suamilah yang bertanggung jawab untuk nafkah lahir keluarga. Adapun peran istri adalah mendukung suami. 

Okelah kalau uang istri dipakai untuk mendukung passion suami, menemaninya mulai jatuh hingga bangun. Tapi ingat, ketika suami sudah berhasil dengan usahanya maka tuntutlah hak kita dengan komunikasi yang benar. Jangan dibiarkan saja. Salah-salah nanti uangnya untuk istri kedua.. *etdah kok jadi ke sinetron ikan terbang. 

Intinya, kembalikan sesuatu sesuai fitrahnya. 

Suamilah yang sebenarnya bertanggung jawab untuk nafkah keluarga, jikapun istri membantu maka itu bernilai sedekah. Jangan kebablasan membiarkan demi rasa yang terbiasa. 

Karena ketika istri menjadi serba bisa tanpa bantuan suami, maka hatinya perlahan menjadi keras. Ia tak lagi lembut seperti dahulu. 

6. Berdoa.. berdoa.. berdoa! 

“Tapi sudah dikomunikasikan.. Sudah sampai nangisss rasanya. Okelah buat aku sendiri gak usah dikasih apa-apa. Tapi minimal.. Masa buat anak sendiri aja enggak mau tanggung jawab.. “

“Laki-laki ini selalu minta dihargai, bagaimana bisa dihargai kalau sama tanggung jawabnya sendiri aja lalai. Apa yang mesti dihargai?”

“Sedih rasanya ketika tau suami punya uang lebih tapi gak pernah kasih ke aku. Malah kasih kesini.. Kesitu.. Sudahlah sering denger ceramah dari Ustad dsb. Tapi mantul gitu aja.. “

Jika sudah mengalami titik kritis seperti diatas padahal sudah berusaha maksimal sekali maka… berdoalah. 

Eeeh.. Jawaban putus asa banget win? 

Iya, emang kalau sudah putus asa lari kemana lagi? Sujud kepada-Nya lah yang bisa menjawabnya. Karena… 

“Jangan pernah menganggap remeh kekuatan dari doa.. Kita tidak pernah tau bagaimana cara ajaib yang berhasil dari kekuatan ini.. “

Selama 8 tahun pernikahan, aku sebisa mungkin mengamalkan doa dari Mama. Menyisihkan waktu untuk sholat dhuha agar pintu rejeki terbuka. Dan yang lebih penting lagi, agar pintu hati suami terbuka. Karena apa gunanya banyak rejeki tapi tidak ada keterbukaan? 

Apakah dalam sekali berdoa maka akan dikabulkan? Tentu saja tidak. 

Aku sudah bilang bukan? Bahwa selama 8 tahun pernikahan.. Doaku terjawab di tahun 2020 ini saja. 

Doa-doa simple seperti.. 

“Ya Allah, semoga kalau suami pulang kerja setidaknya sesekali bawa makanan.. “

“Ya Allah, semoga suami kalo curhat ngasih tau tentang penghasilan sebenarnya dan ngasih ke siapa aja..”

Sesimple itu. Dan semuanya dikabulkan perlahan-lahan. Bahkan diberikan bonus oleh Allah berupa dicukupkannya nafkah bulanan bahkan hingga berlebih. Semuanya atas kekuatan sabar dan doa. 

Dan diakhir tulisan ini, bagi siapapun istri yang memiliki nasib yang sama cobalah untuk sedikit saja mengaplikasikan poin-poin diatas.

Teruntuk para suami yang mungkin kebetulan membaca tulisan ini, pesanku hanya satu.. “Percayailah Istrimu untuk mengatur uangmu” 🙂

Perempuan Zaman Sekarang Harus Sadar Pentingnya Ekonomi Digital

Perempuan Zaman Sekarang Harus Sadar Pentingnya Ekonomi Digital

“Jadi Perempuan itu harus bisa mandiri secara finansial. Karena kita enggak tau apa yang akan terjadi dimasa depan nanti. Paling tidak kita punya usaha untuk bisa bertahan hidup tanpa suami..”

Pernah mendengar kata-kata seperti itu? Pastinya pernah ya. Tidak mungkin hanya sekali atau dua kali mendengarnya. Kata-kata seperti itu pastinya sudah sangat sering didengar oleh kita sebagai perempuan. Ya, dunia ekonomi dan perempuan sangat dalam kaitannya. Karena perempuan adalah sang manajer keuangan dalam rumah tangga. Pengelola pemasukan dan pengeluaran agar tetap berjalan seimbang, tidak besar pasak daripada tiang.

Perkembangan dunia perempuan di era generasi milenial mulai mengalami pergeseran. Perempuan bukan lagi tentang sumur, kasur dan dapur. Melainkan dapat bekerja layaknya kaum laki-laki. Tugas domestik di rumah pun dapat dikerjakan dengan adanya kerja sama antara suami istri.

Namun, ada pula perempuan yang memutuskan menjadi ‘kebablasan’ dengan karirnya. Lupa dengan kodrat utamanya sebagai Ibu dan Istri.
Fenomena seperti ini sudah banyak terjadi. Akibatnya, rumah tangga menjadi retak karena peran yang mulai tidak sesuai pada jalurnya. Akhirnya, terdapat pemahaman bahwa menjadi wanita karir pun bukanlah hal yang ideal bagi kehidupan perempuan.

Lalu, bagaimanakah idealnya kehidupan perempuan itu

Bagaimana agar perempuan tidak terperosok ke dalam kebodohan?

Bagaimana agar wawasan perempuan tetap luas meski hanya di rumah saja?

Dan terakhir, bagaimana agar seorang perempuan yang berstatus sebagai Ibu dan Istri dapat mengelola perekonomian rumah tangga dengan lebih baik bahkan menghasilkan kegiatan produktif hanya dengan di rumah saja?

Saat ini 63 persen dari 5 juta pelaku ekonomi di Indonesia didominasi perempuan. Ini adalah fakta bahwa perempuan di indonesia sudah menjadi pelaku ekonomi yang produktif. Bukan hanya perempuan yang belum menikah, namun Ibu rumah tangga zaman sekarang pun sudah mulai berinovasi dalam melakukan kegiatan ekonomi.

Apa saja inovasi yang telah dilakukan oleh Ibu Rumah Tangga? Banyak tentu, contohnya mereka yang hobi berjualan kini mulai membuka toko online di market place. Mereka yang hobi memasak kini mulai memasarkan produknya melalui sosial media dengan foto-foto yang menarik. Bahkan mereka yang hobi menulis dan memphoto pun memiliki banyak pekerjaan dalam dunia online. Tanpa disadari, Ibu Rumah Tangga zaman sekarang sudah terlibat dalam perkembangan Ekonomi Digital.

Apa itu Ekonomi Digital?

Ekonomi Digital merupakan aktivitas ekonomi seperti proses produksi, distribusi, marketing dengan mengoptimalkan teknologi komunikasi terutama internet dan perangkat dalam platform tersebut seperti sosial media, market place, aplikasi messaging dan lain sebagainya. Para penggiat ekonomi digital bukan hanya kaum pria yang konon dikenal dengan kecintaannya pada teknologi. Ya, kini para kaum perempuan pun mulai giat dalam mengembangkan ekonomi digital. Teknologi digital memungkinkan keterlibatan setiap elemen masyarakat tanpa memandang bias gender, multi profesi dan keterbatasan bahasa.

Semua tentu diawali oleh kesadaran pentingnya teknologi. Para perempuan zaman sekarang tidak lagi menggunakan sosial media sebagai bahan curhat saja. Melainkan untuk branding dan menjual kreatifitasnya. Banyak para perempuan yang kini dapat mencukupi kebutuhan keluarganya dengan melakukan hal ini. Namun hal yang sangat disayangkan adalah mereka kurang optimal dalam memanfaatkan ekonomi digital.

Lalu, bagaimana cara mengoptimalkan potensi ekonomi digital pada perempuan?

Banyak hal yang dapat kita lakukan untuk itu antara lain:

Menyebarkan Pentingnya Melek Digital Pada Perempuan

Sangat disayangkan pada zaman sekarang ini masih banyak sekali orang yang berpandangan negatif terhadap gadget. Bahkan, banyak ilmu parenting yang mengatakan bahwa seorang Ibu tidak boleh menggunakan gadget karena akan ditiru oleh anaknya. Bisa dibayangkan betapa terputusnya dunia ibu tersebut jika pekerjaannya hanyalah Ibu Rumah Tangga? Apalagi jika ia merupakan lulusan dari pendidikan yang tinggi, bagaimana kita bisa menjamin kesejahteraan biologis dan psikologisnya dengan terputusnya ia dengan kehidupan dunia digital?

Kita perlu menyadarkan kepada setiap perempuan, terutama perempuan zaman dahulu bahwa melek teknologi itu penting sekali. Teknologi Digital tidak selalu berefek negatif pada penggunanya. Pada penggunaan sosial media misalnya, tidak semua orang akan terjerumus pada sifat pamer di sosial media dan kecanduan berlebihan hingga melupakan dunia nyatanya. Kenyataannya, sudah berapa banyak kita mengetahui bahwa sosial media merupakan penolong kehidupan ekonomi bagi para Ibu Rumah Tangga?

Mendukung Pentingnya Tersebarnya Internet hingga Ke Pelosok Desa

Berapa banyak daerah di indonesia yang tidak memiliki akses internet yang memadai? Saya rasa cukup banyak, termasuk di desa tempat tinggal saya dulu. Hingga kini, desa tempat saya tinggal tidak memiliki akses internet layaknya di kota besar. Bisa dibayangkan bagaimana pola pikir masyarakat disana? Ya, sempit sekali. Perekonomian yang dibangun pun masih sangat amat tradisional. Pola pikir para perempuan di sana pun masih sama, tentang ruang lingkup yang hanya bertumpu pada dapur, sumur dan kasur.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Karena kurangnya akses informasi dari dunia. Kurangnya pengetahuan yang cukup untuk meng-upgrade ilmu. Padahal jika akses internet memadai maka kreativitas dari penduduk daerah terpencil ini sangat bisa disebarluaskan pada dunia. Oleh karena itu, dukungan pertumbuhan ekonomi digital perlu didukung dengan memperluas persebaran akses internet hingga ke daerah terpencil.

Memberdayakan Perempuan dalam Ekonomi Digital

Saat ini, masih banyak sekali para perempuan yang berusaha produktif namun masih kurang kreatif dalam pemasarannya. Mereka hanya mengandalkan warung, toko, ataupun pasar tradisional untuk memasarkan produk yang mereka jual. Bahkan, banyak perempuan yang terhambat potensinya hanya karena ia tidak bisa berjualan, tidak bisa memasak, dan keterampilan umum lainnya.

Padahal, setiap potensi itu selalu memiliki ruang untuk dipasarkan. Bagaimana? Dengan memahami ekonomi digital tentunya. Perempuan tidak melulu harus bisa memasak untuk dapat berjualan di luar dan membantu ekonomi keluarga. Perempuan tidak melulu harus dapat pekerjaan bergengsi di luar sana untuk mendapatkan gaji dan komunitas sosial yang bergengsi. Sejatinya, Perempuan dapat berkarya walau hanya di rumah. Bagaimana? Dengan memanfaatkan perkembangan ekonomi digital.

Dengan ekonomi digital semua karya memiliki pasarnya. Ibu yang hobi memasak dapat berjualan di sosial media dan membuat branding disana. Ibu yang hobi menulis dapat menjadi seorang freelance writer maupun blogger. Ibu yang hobi dalam dunia fotografi dapat memanfaatkan potensinya di instagram untuk menjadi selebgram maupun buzzer. Ibu yang hobi ber make up pun bisa saja menjadi youtuber dengan membuat video tutorial. Bukan hanya itu, Ibu yang hobi memasak pun dapat mendokumentasikan resep masakan dan tutorial video di youtube. Apakah ini akan menghasilkan uang? Bisa, zaman sekarang penghasilan youtuber yang sudah terkenal bisa mengalahkan penghasilan warung nasi padang dan salon kecantikan.

Untuk memberdayakan perempuan dalam ekonomi digital juga diperlukan peran pemerintah dalam membentuk Program Usaha Kreatif yang mana didalamnya terdapat para perempuan penggiat ekonomi digital yang sudah sukses pada karirnya untuk memotivasi para perempuan lainnya.

Karena Perempuan Zaman Milenial harus bisa berkarya dan memanfaatkan ekonomi digital untuk kesejahteraan keluarga. #Ecodigi

*Tulisan ini diikutsertakan dalam BI Competition dan memasuki 50 besar.

IBX598B146B8E64A