Serumah Orang Tua atau Mertua Untuk ‘Berbakti’, Yay or Nay?
“Dulu mama capek banget membesarkan 5 orang anak, pas mama udah tua.. Satu pun anak gak ada yang bisa bener-bener berbakti”
Aku mendengarkan sayup-sayup suara demikian di jalan. Terlihat ibu yang sudah mulai tua berbincang dengan ibu-ibu sebayanya. Lantas keduanya mengutuki anak-anak zaman sekarang dengan label ‘durhaka’.
Flashback, 10 tahun yang lalu aku pro sekali dengan mindset ibu-ibu tua begini. Masa sih, dari sekian banyak anak gak ada satupun yang bisa memelihara ibunya dengan baik, pikirku dengan jengkel.
Seiring waktu. Mindsetku mulai berubah dalam mengklaim kata ‘durhaka’.
Karena sebenarnya, ada waktunya anak harus memilih. Ingin dibanggakan atau ingin menjadi anak ‘berbakti’ sepenuhnya.
Antara menjadi Anak yang Dibanggakan atau Anak yang ‘Berbakti’
Sebelum menikah, aku meyakini bahwa menjadi anak yang berbakti adalah kunci untuk mendapatkan kesuksesan dunia dan akhirat. Aku yakin dengan menuruti apa saja perintah orang tua, menjadi versi terbaik ala mereka maka hidupku akan penuh dengan keberkahan. Itulah kenapa aku penurut sekali. Disuruh ini itu enggih. Bahkan disuruh menikah muda pun enggih aja. Aku yakin, pada fase itu aku termasuk dalam kategori ‘anak yang berbakti’.
Sampai suatu ketika, aku sadar bahwa sesudah menikah maka prioritasku berbeda. Yang dulu harus menuruti orang tua, sekarang berpindah menjadi harus menurut pada suami. Dulu, aku yakin bisa mendayung keduanya. Bekerja dan memberikan uang pada orang tua sebagai balas budi. Menjenguk mereka setiap sore. Tapi aku sadar, keadaanku sekarang pun adalah konsekuensi dari terlalu berbakti pada orang tua. Karena terlalu berbakti aku melepaskan prioritas bakti. *apa pula ngomong berputar-putar..
Tapi serius, kebanyakan orang tua begitu berharap pada anak-anaknya bahwa kelak anaknya akan memperhatikan mereka ketika mereka sudah tua. Tapi, mereka pula yang menyuruh anak-anaknya untuk lekas menikah, lekas punya anak, lekas punya anak lagi, lekas punya anak lagi dan lagi lekas berkarir tinggi, lekas ini, lekas itu. Mereka berharap, anaknya selalu menuruti perintah mereka. Tanpa sadar bahwa saran-saran itu telah membuat anaknya memiliki dunia sibuknya sendiri dan akhirnya enggan bertemu dan berbicara dengan orang tua.
Orang tua kadang menyakitkan. Thats fact. Sudah menikah, memiliki anak. Tapi tak tau ambang batas cukup untuk klaim berhasil. Kepada seorang anak perempuan yang tidak bekerja misalnya. Jika dalam perkumpulan keluarga atau ada masalah apapun. Kata-kata menyakitkan itu akan keluar begitu saja.
“Kalo kamu kan enak gak kerja”
“Makanya, gak kerja sih. Susah kan jadinya kalau pengen ini itu. Kalo anu sih bla bla”
Itu masih level 1. Tahukah dimana sisi sulitnya? Ketika anak sudah berhasil mencapai puncak. Sudah bekerja, memiliki anak, sukses sebagai diri sendiri, istri dan ibu serta juga dalam lingkup sosial. Tapi juga suatu waktu harus memenuhi standar ego para tetua. Mertua dan Orang tua.
Bisa dibayangkan betapa sulitnya memilih. Menjadi anak atau menantu yang dibanggakan tapi tak bisa sempurna ‘berbakti’. Atau menjadi anak berbakti tapi kemudian terinjak harga dirinya karena tak bisa dibanggakan dalam status sosial?
Sungguh, aku akhirnya paham. Tak semua kata durhaka bisa diklaim begitu saja. Karena jika ingin anak berbakti sepenuhnya pada orang tua.. Mungkin pilihan yang benar adalah tak usah menikahkannya. Tak usah motivasi mereka untuk mengejar impian. Apalagi menyuruh mereka untuk memiliki anak. Didik saja mereka untuk bisa bertahan hidup dalam cara tradisional. Dan miliki mereka dengan fokus pada satu tujuan. “Aku ingin punya anak agar kelak masa tuaku bisa ada yang melayani dan berbakti disampingku”
Jadi, anak bisa fokus pada tujuan itu. Belajar membersihkan dan merapikan versi orang tua. Belajar memasak versi orang tua. Dan belajar tunduk dan patuh versi orang tua.
Mungkin tulisanku terkesan aduh. Tapi.. ayolah.. Para orang tua.. Sadarilah hidup itu harus memilih. Dan mengetahui batasan bakti sejak dini. Jangan sampai ketika tua kita menyesal membuat anak mengejar mimpinya. Karena antara mimpi, ambisi dan kebanggaan hidup.. Ada hal yang harus dibatasi sebagai korban. Tahukah apa itu? Yaitu waktu untuk benar-benar menjadikan anakmu anak yang berbakti.
Batasan dan Cara Berbakti
Melihat dan mengalami sendiri fenomena demikian, aku jadi paham sekali kenapa anak-anak zaman sekarang ada yang memilih untuk childfree. Karena nyatanya, memiliki anak itu tidak sebercanda itu. Dulu, orang tua kita menganggap anak adalah investasi. Dibesarkan agar di masa depan anak bisa memberikan hal yang lebih besar dari pada apa yang mereka berikan.
Sebenarnya, memandang anak sebagai investasi itu benar. Tak salah. Namun, harus dipahami bahwa dalam investasi juga berlaku rumus highrisk – highreturn. Senada dengan apa yang aku tulis pada awal artikel ini. Ingin memiliki anak yang super membanggakan maka pahamilah bahwa mereka tidak bisa sepenuhnya berbakti. Sebaliknya, ingin memiliki anak yang sangat berbakti, sadarilah mereka mungkin tidak membanggakan.
Bukankah ada pilhan untuk membanggakan dan berbakti? Ada. Tapi langka. Bahkan dalam investasi sendiri kita kenal bukan.. bahwa hanya saham bigcaps saja yang memiliki kemampuan sedemikian. Apa kabar saham 2nd liner 3rd liner?
Aku lebih menyukai orang tua yang memandang anak bukan sebagai investasi. Tapi sebagai kewajiban. Amanah dari Allah. Allah anugerahkan anak pada orang tua untuk dibesarkan dan diajarkan nilai-nilai kebaikan. Agar sang anak tumbuh dengan baik. Beketurunan baik-baik. Menjaga Bumi Allah dengan baik.
Lalu apa yang diperoleh orang tua saat sudah membesarkan anaknya dengan baik?
Rasa sayang dan terima kasih dari sang anak.. Yang mungkin tak bisa dilukiskan secara material maupun tindakan dalam keterbatasan kondisinya. Seuntai doa yang anak lanturkan seusai sholat.. Tebaran kebaikan yang mereka lakukan di dunia.. Ikut orang tua dapatkan meski dalam keadaan tak berdaya bahkan sudah mati sekalipun. Yup, Amal Jariyah namanya.
Saat menjadi anak dengan usia orang tua dan mertua yang sudah tua.. Aku menyadari.. Tak ada anak yang sempurna. Pun sebaliknya, saat aku menjadi orang tua.. Aku menyadari.. Tak ada orang tua yang sempurna.
Aku, mungkin bukanlah anak yang berbakti penuh. Bukan Ibu yang lemah lembut. Aku baperan. Gampang menangis. Tapi percayalah, dalam batasan kemampuanku.. Aku berusaha berbakti dengan caraku sendiri.
Mungkin bukan selalu ada untuk orang tua atau mertua, mungkin tak bisa melayani sungguh-sungguh, mungkin dicaci sedikit saja aku sudah menangis baper. Tapi pahamilah, aku berusaha sayang dan tetap mendoakan dengan ikhlas.
Karena kadang, dengan menjauh.. Mungkin aku bisa lebih sayang.
Serumah dengan Orang Tua atau Mertua untuk Berbakti, Yay or Nay?
Dari ceritaku diatas, mungkin sudah jelas jawabanku bukan?
Hmm.. Kalian pasti menerka bahwa jawaban ‘Nay’ adalah jawaban terbaik.
Yang perlu dipahami adalah, terbaik untukku.. Mungkin bukan yang terbaik untuk kalian.
Jujur, keluarga impian dalam imajinasiku adalah keluarga chibi maruko chan. Ada dua anak perempuan, ayah, dan nenek kakek di dalamnya. It looks perfect for me.
Aku lebih menyukai anak-anakku rekat pada nenek kakeknya. Agar ia memiliki teman bercerita di rumah. Kadang aku sibuk di kantor setiap hari. Malamnya aku memasak. Seakan waktu untuk menemani anak untuk hal receh tak ada lagi. Tapi jika ada kakek lucu seperti kartun Chibi Maruko Chan.. bukankah itu menghibur sekali.. Jika ada nenek yang bisa menemani cucunya sesekali sambil membantuku menyiapkan makanan.. Bukankah itu menyenangkan?
Jujur, itulah impianku. Aku senang kok jika hidupku seperti di kartun itu. Meski misalnya aku hanya IRT biasa tapi sepertinya di kartun itu IRT tidak dipandang sebelah mata. Dan tidak ditekan untuk ini itu.
Diluar sana, kalian mungkin memiliki Ibu, ayah atau mertua seperti kartun Chibi Maruko Chan. Yang bisa menjadi teman di rumah tanpa menuntut ini dan itu. Yang bisa membuat kalian tertawa. Saat mereka sakit, kalian bisa merawat mereka tanpa dikritik bahwa makanan kalian tak enak, rumah tak bersih, tak bisa melipat baju presisi, ini dan itu. Mereka berterima kasih tanpa menuntut sempurna dan menjadi teman bicara setiap malam. Keluarga demikianlah.. Keluarga yang harmonis.
Aku berharap, kelak bisa menjadi kakek nenek seperti film Chibi Maruko Chan. Yha, jujur cita-citaku selanjutnya adalah bisa menjadi nenek yang baik dan tak cerewet. Makanya, sejak sekarang aku sudah perlahan menghapus file-file dan aplikasi tidak penting dalam otakku yang sudah terinstall oleh kebiasaan orang tua dan mertuaku.
File seperti cara membersihkan sudut ruangan, melipat baju presisi, menyusun segala sesuatu sesuai kaidah dll dsb. Aku juga sudah melakukan uninstall pada aplikasi yang telah diinstall mama mertua dalam otakku. Seperti cara memanggang ikan, menyiangi ikan hidup-hidup agar dimakan tetap manis dan enak, cara memasak ini dan itu. Aku sudah lama membuang itu semua dan mengganti itu dengan file dan aplikasi lain di otakku.
Aku menyadari untuk bisa menua dengan baik dan bijak, aku perlu menjadi diri yang waras. Bukan diri yang sempurna.
Serumah dengan orang tua atau mertua.. Menjadikan file dan aplikasi itu terpaksa diinstall lagi dalam otakku. Its okay sebenarnya. Tapi otakku hanya otak biasa. Jika dipaksa, ia akan membuang file dan aplikasi lain. Maka tak heran jika sewaktu waktu aku bisa hilang dalam sosial media, blog maupun di perusahaan. Berfokus pada hal yang lain.
Lantas, jika tidak serumah… Dimana?
Pertanyaan ini sudah kami diskusikan secara deep talk. Bahkan aku sendiri berkata pada suami.. Jika suatu saat aku tinggal sendirian dan keadaan anak-anak tak memungkinkan untuk merawatku. Mungkin aku lebih memilih mendaftarkan diri di panti jompo. Pun sebaliknya. Jika suami tinggal sendirian, ia akan melakukan hal serupa. Kami menyadari, sebaik-baiknya peran orang tua adalah yang bisa berempati pada keadaan anaknya. Apalagi kedua anak kami perempuan yang mana juga mungkin suatu hari pekerjaan mereka juga setumpuk. Alangkah baiknya jika kami sebagai orang tua bisa memberikan support maksimal untuk membantu mereka dalam menggapai mimpi meski mereka terhambat peran.
Pun seandainya orang tua atau mertua tak punya pilihan dan terpaksa di rumah kami. Better, aku memiliki pembantu untuk membantu di rumah. Setidaknya berjaga andai pekerjaanku tak sempurna, aku setidaknya ‘punya teman’ untuk dianggap tak sempurna. Andai bisa di uninstall aku juga ingin sekali menghapus perasaan baper yang betah dalam diriku setiap kali rentan dikritik boros. Entah kenapa, sepertinya lebih nyaman merawat orang tua yang tak berdaya, dibanding berdaya tapi super cerewet dalam mengatur kehidupan.
Meski terasa sulit kami meyakini bahwa dalam berperan sebagai orang tua maupun anak rumusnya tetaplah sama..
“Hanya memberi, tak harap kembali”