Browsed by
Category: Parenting

Mengontrol Rasa Takut dalam Hidup

Mengontrol Rasa Takut dalam Hidup

Pernah gak kalian merasa bahwa hidup itu kadang menakutkan?

Bahwa ketidaktahuan kita akan masa depan kadang membuat ekspektasi menjadi sedikit berkurang atau bahkan hilang begitu saja.

Belum lagi ketika kita dibayang-bayangi oleh kesuksesan orang lain, kita kadang merasa kelelahan yang kita jalani seakan jalan ditempat saja tanpa hasil apa-apa. 

Keadaan demikianlah yang membuat kita takut dalam melangkah. Karena sudah sekian banyak ‘gagal’ yang dilalui. Karena sudah begitu banyak kewaspadaan yang muncul dari mana-mana.

Sehingga rasanya sulit sekali untuk melangkah.. Karena takut, proses yang kita lalui tak menghasilkan apa-apa.

Mengontrol Takut dimulai dari Konsisten Berproses tanpa Peduli Hasil pada Target

Kalau diingat lagi, tentang siapakah aku dahulu. Mungkin, orang-orang akan mengenalku sebagai Aswinda yang penakut. Takut tampil, takut mencoba bahkan takut mengadu jika ada yang melakukan hal salah padaku. Karena rasa takut, aku jadi sering dimanfaatkan oleh teman-teman masa kecilku. Dijadikan bahan bully dan dimanfaatkan untuk hal yang tak semestinya. Yah, setidaknya itu berlangsung selama 6 tahun.

Beda cerita ketika aku menginjakkan kaki di sekolah baru. Mengenal teman-teman baru yang ternyata memiliki sekian banyak kemiripan denganku. Rasa takut itu memudar perlahan. Digantikan oleh rasa nyaman dan merasa senasib sepenanggungan. Aku tak akan melupakan hari-hari dimana aku merasa nyaman dalam berbagi. Aku tak akan melupakan teman-teman terbaikku yang selalu membersamaiku dalam berproses.

***

Dan sejak menjadi Ibu, teman terbaikku digantikan oleh sosok mungil itu. Pica, anak pertamaku. Orang berkata aku begitu beruntung. Karena langsung hamil dan memiliki anak begitu menikah. Namun, jika boleh jujur.. Saat itu aku merasa…

Tertinggal..

Teman terbaikku Pica, anak pertamaku adalah sosok yang membuatku sempat merasa ‘tertinggal’… (Maaf ya nak.. Inilah yang Mama rasakan dahulu..)

Segala target di depan mata lenyap seketika. Segala pencapaian yang ada dahulu tak terasa berharga lagi. Belum lagi sekian banyak saran dari orang lain yang mengatakan seorang Ibu harus mandiri finansial. Rasanya, lembaran hidup baru itu rusak seketika.

***

Singkat cerita, siapa sangka Pica telah membuatku menjadi diriku yang lebih baik. Dari Pica, aku belajar banyak hal. Bahwa dalam kehidupan, target hanyalah gambaran impian yang ditulis di secarik kertas. Selebihnya, proses dan persistenlah yang membentuk ‘Positif Habbit’.

“Target hanyalah gambaran impian yang ditulis di secarik kertas. Selebihnya, proses dan persistenlah yang membentuk ‘Positif Habbit”

Aswinda Utari

Dari Pica, aku belajar tentang cara menghemat anggaran bulanan. Aku belajar arti syukur dari sedikit yang aku punya. Dari Pica, aku belajar untuk bangun lebih pagi dan bekerja keras mencukupi cinta pada dapur sumur keluargaku. Dari Pica, aku mengenal apa arti ‘berproses’ walau sulit mencapai ‘target’.

Manusia boleh jadi mengukir targetnya dalam hidup. Namun tahukah? Rencana dan hasil dari Allah selalu lebih ‘indah’.

Menghadapi Ketakutan dengan Belajar tentang Hal yang Kita takuti

Singkat cerita, petualangan ‘prosesku’ telah membawaku pada posisi Direktur dalam perusahaan IT kami. Yup, perusahaan IT keluarga kami yang sudah berjalan 8 tahun. Pica adalah awal dari semangat itu.

Jika kalian bertanya padaku.. Apa hal yang paling aku takuti dalam hidup maka jawabannya adalah ‘Aku takut sekali miskin mendadak’. Karena itu aku dan suami merintis bisnis. Dan karena itu pula keluarga kami selalu memiliki tabungan dan dana darurat. Aku pernah merasakan betapa tidak nyamannya tak punya uang. Jadi, aku tak mau anakku merasakan hal yang sama. 

Dalam perusahaan ini, aku bukanlah orang yang paham mengenai dunia IT. Tapi, aku punya ilmu akuntansi dan manajemen. Sejak dulu, aku selalu tertarik dengan dunia investasi. Namun, tak pernah berani berinvestasi pada instrument highrisk. Aku hanya mengenal obligasi syariah (sukuk), emas, dan RDPU. Sesuatu yang aman dan pasti. Profilku sendiri adalah investor yang ‘konservatif’. Tapi, sejak dipercayakan untuk memanagemen keuangan.. Aku mulai belajar hal yang aku takuti, yaitu saham.

Dalam 3 bulan ini aku belajar dan mulai paham tentang selak beluk saham. Mulai memberanikan diri investasi pada reksadana saham. Memahami rotasi sektoral. Sudah berhadapan dengan ‘kerugian’. Segala pembelajaran dan pengalaman ini membuat rasa takutku terpacu untuk terus belajar lebih baik lagi. 

“Positif Habbit memunculkan keberanian, dan langkah bijak dari buah keberanian adalah belajar menghadapi ketakutan.”

Aswinda Utari

Meminimalisir Ketakutan dengan Memberikan Reward dan Rasa Aman

Setiap belajar investasi, belajar mengembangkan bisnis..  berproses pada setiap langkah.. Ada satu hal yang rutin kami (aku dan suami) lakukan setiap bulan. Yaitu membeli ‘something spark joy’s

Sebagai pasangan, kami meyakini setiap langkah dan usaha yang kami lakukan patut dihargai baik itu berupa material maupun non material. Dulu, kami hanya memberikan reward berupa nonton netfilx bersama hingga memasak bersama. Sekarang, kami mulai mencoba hal yang sedikit berbeda.

Suami mulai menjelajah dunia parfum, sedangkan aku mulai memanjakan diri dengan skincare dan lingerie. Dulu, skincareku sangat amat basic sekali. Toner dan pelembab pun cukup.. sunscreen pun tak begitu rutin. Sekarang sudah menjelajah ke berbagai serum, essense, dan mencoba ini itu. Mengoleksi skincare dan lingerie adalah wujud hal yang aku lakukan untuk memberikan reward pada diri sendiri.

Entah kenapa, setiap memberikan reward pada diri sendiri rasanya senang lantas kemudian berani melakukan hal yang tak biasa dilakukan: menghadapi ketakutan level berikutnya.

Bagiku rasa senang bagaikan sebuah senjata, belajar adalah pelurunya. Dan ada satu hal yang aku butuhkan lagi untuk menghadapi ketakutan. Kalian tau apa itu? Namanya adalah perisai pelindung agar hatiku selalu merasa aman setiap berhadapan dengan ketakutan

Aswinda Utari

Aku sudah bercerita bahwa ketakutanku adalah pada saham bukan? Investasi yang begitu high-risk dimataku. Maka, untuk memberikan rasa aman aku tak mau memasukkan semua uangku disana. Aku lebih memilih memasukkan 50% dana daruratku pada tabungan dan 50% sisanya pada RDPU. Selebihnya, untuk tujuan jangka menengah aku memilih instrumen RDPT atau sukuk. Bagiku, untuk belajar sesuatu yang high-risk sangat diperlukan management rasa aman. 

Well, cerita tentang mengontrol rasa takut ini awalnya ingin aku tunjukkan tentang pengalamanku bersama Pica. Pada akhirnya dalam penulisannya aku malah banyak bercerita tentang diriku sendiri dan management keuangan..dasar.. wkwk

Mengontrol Rasa Takut pada Anak Sejak Dini

Aku sedikit menyesal kenapa rasa takutku dulu tidak terkontrol dengan baik sehingga aku berakhir menjadi sosok yang pemalu dan takut mencoba hingga besar. Satu hal yang pasti, aku tak mau Pica dan Humaira menjadi sepertiku. Dari pengalamanku diatas setidaknya ada 3 hal yang bisa aku praktikkan dalam parentingku bersama anak.

Pertama, dengan mengontrol takut dimulai dari berproses tanpa peduli hasil pada target. Aku percaya bahwa mengontrol takut tak melulu dimulai dari ambisi pada Terget. Tapi dimulai dari membangun proses pada habit positif. Misal, aku tau saat Pica mulai tak nyaman dengan pelajaran matematika bahkan mulai gugup dengan ulangannya. Maka, aku belajar untuk ‘legowo’ jika hasil ulangannya tidak setinggi target yang diharapkan. Yang penting adalah Pica belajar tekun matematika dan paham dengan logikanya tanpa perlu merasa takut.

Kedua, dengan memberikan reward plus rasa aman dalam berproses menghadapi ketakutan. Jujur, aku termasuk orang tua yang memberikan reward pada anak kalau ia punya pencapaian. Sekecil apapun. Tentunya dengan reward yang juga ‘sepadan’. Misalnya ketika dia dapat nilai bagus pada ulangan, aku memberinya hadiah es krim atau yogurt kesukaannya. 

Adapun rasa aman yang coba aku berikan pada anak saat dia menghadapi ketakutan adalah dengan berkata bahwa tak semua hal harus sempurna. Dalam belajar misal, aku tau Pica lemah pada pelajaran Matematika. Maka aku menyuruh dia untuk meningkatkan hobi yang dia benar-benar suka. Menceritakan padanya fakta kehidupan. Bahwa hobi yang ditekuni dengan telaten bisa menjadi mata pencaharian kelak. Sedini mungkin, konsep belajar survive harus mulai diajarkan pada anak. Itulah keyaninanku dalam manajemen risiko atau rasa takut.

Nah, kalau parent lain gimana? Punya ide lain dalam mengontrol rasa takut? Baik pada diri sendiri maupun pada anak? Sharing denganku yuk!

Bekas Luka Yang Tak Bisa Hilang

Bekas Luka Yang Tak Bisa Hilang

Sebenarnya, aku ingin sekali membuang bekas-bekas luka yang ada.

Mengobatinya, mengolesnya dengan setumpuk krim.

Bahkan menutupinya dengan concealer dan foundation sebanyak mungkin.

Tapi ternyata, hal itu tak dapat mengubah apapun.

Yang luka tetaplah berbekas,

Aku benci dengan bekas, karena itu mengingatkanku pada masa lalu.

Aku benci dengan masa lalu yang buruk. 

Penyebab Bekas Luka yang Selalu Ada

Ada orang-orang yang membuatku selalu merasa iri. Bukan mereka yang punya segala. Punya kekuasaan hingga punya kepintaran setinggi langit. 

Mereka yang selalu membuatku iri adalah mereka yang dapat tertawa dan move on begitu saja ketika luka demi luka datang. Bahkan, mereka tak pernah mencerna dua kali tentang maksud perkataan seseorang yang mungkin menyakitkan. Mereka fokus ke depan. Fokus pada tujuan hidupnya sendiri. Fokus untuk berusaha lebih baik dalam menjalani hidup.

Sungguh, aku iri sekali dengan orang-orang tahan banting sedemikian. Kalau boleh bertukar, aku ingin sekali menukar hatiku yang seperti kaca ini dengan hati yang sedemikian. 

Namun, semakin aku kenal dengan karakter orang-orang yang ‘kuat’ aku semakin sadar bahwa dibalik kekuatan itu ada luka yang mereka sembunyikan dengan baik. Hingga aku sendiri pun tak sadar bahwa mereka punya luka. Luka-luka demikianlah yang membuat mereka tumbuh dengan baik. Salutnya diriku, bagaimana bisa orang-orang ini tak memiliki ‘bekas’ pada lukanya sendiri.

Namun kemudian, aku teringat kata-kata ini..

“Jikapun kamu sudah berusaha menghilangkan bekas luka dengan sebaik mungkin.. Maka mungkin bukan usahamu yang kurang. Namun, kemampuan regenerasi kita memang berbeda. Seperti halnya kulit. Kamu lihat kan seminggu yang lalu wajahku berjerawat besar. Seminggu kemudian jerawat itu mengecil. Minggu berikutnya, bekasnya hilang total. Tapi ketika si Anu berjerawat, beda cerita. Mungkin akan bertahun-tahun baru bisa hilang. Begitupun kamu. Kamu punya kemampuan dan latar belakang yang berbeda. Dan itu tak apa.” – Someone

Bekas Luka adalah Sebuah Ruang Untuk Belajar

Sebelum menonton Harry Potter, anak yang terkenal dengan bekas lukanya.. Aku memiliki tanda serupa di lengan kananku. Persis sama bentuknya seperti Harry Potter. Mama menyebutnya sebagai tanda lahir. Sedangkan imajinasi liarku berkata, bahwa itu adalah bekas luka dari kehidupanku sebelum dilahirkan.

Well, FYI aku tidak percaya dengan reinkarnasi. Haha..  Tapi, aku mempercayai bahwa ruh itu mengalami beberapa urutan fase di dunia atas sana sebelum ia ada pada tubuh yang sekarang. Imajinasi liarku berkata bahwa setiap manusia yang lahir memiliki tanda mungkin mengalami untold story di alam ruh yang tidak pernah bisa ia ingat.

Oke abaikan kehaluanku. 

Tapi sebenarnya hal yang ingin kuceritakan adalah.. Mungkin, dalam kehidupan ini ada beberapa kejadian menyakitkan yang begitu membekas dalam diri kita. Baik ingatan menyakitkan, mengharukan, menyenangkan dan membahagiakan. Ingatan itulah yang membentuk karakter emosi kita. Senang, sedih, takut, marah, excited. Setiap emosi mengandung memorinya masing-masing. Emosi senang kadarnya akan banyak ketika diisi dengan kenangan menyenangkan. Excited akan sering terjadi ketika kadarnya diisi oleh memori tentang betapa serunya mencoba dan mencoba. Sedih pun demikian, kadarnya akan banyak ketika begitu penuh kenangan menyakitkan yang pernah terjadi. Begitupun marah dan takut. Kadar dan kontrol akan emosi kita berada pada apa dan bagaimana pengalaman yang terjadi pada kehidupan kita. Apakah kebanyakan emosi itu kita pendam, kita keluarkan dengan baik, atau kita biarkan saja ia keluar tanpa terkontrol.

Pemendaman emosi inilah yang mungkin menyebabkan luka yang membekas. Bisa jadi, masa lalu kita begitu kelam dan tak pernah memiliki keberdayaan untuk sekedar mengeluarkannya dengan baik. Kita sadar hal yang kita alami itu ‘tidak nyaman’ namun kita membiarkannya demi relasi yang baik-baik saja. 

Time flies dan akhirnya kita menyadari luka itu membuat orang sekitar kita merasakan ketidaknyamanan atas emosi yang meledak. Maka, kita pun berusaha menyembuhkannya. Lama dan sangat lama prosesnya. Akhirnya luka itu sembuh dan membekas. 

Dulu, aku bersikeras menghilangkan bekas luka itu karena sangat menyebalkan.

Lambat laun, aku mulai bersahabat melihatnya. 

Bekas luka adalah ruang untuk belajar. Bahwa apa yang terjadi di masa lalu memang ‘harus’ selalu diingat namun tidak dilepaskan dengan membalas. Bekas luka adalah pengingat bahwa diri kita adalah pemutus rantai ketidaknyamanan dengan tidak melakukan hal yang sama.

Manusia Selalu Punya Pilihan

Emosi mungkin bisa lepas tak terkendali, tapi sejatinya manusia selalu punya pilihan atas keputusan hidupnya. Ingin membiarkan bekas luka itu memimpin dan mengontrol hidup atau menutupi dan membiarkannya begitu saja.

Tapi mungkin ada pilihan yang lebih baik dibanding itu. Yaitu membiarkan bekasnya. Memahami bahwa tak semua bekas luka bisa tertutup sempurna. Tapi setidaknya kita memiliki pilihan untuk tetap tersenyum. Pemahaman bahwa emosi berlebihan mungkin melegakan, tapi itu tak bisa mengubah apapun.

Aku belajar banyak dari anakku Humaira. Saat melihat gigi ompongnya yang terbilang cukup ‘dini’ aku paham bahwa kadang kita tak pernah punya kontrol akan luka kita sendiri. Luka menganga dan membekas. Tapi kita selalu punya pilihan untuk tertawa dan tersenyum apapun yang telah terjadi. Semua akan baik-baik saja. Ditahan ataupun dilepaskan. Tak akan mengubah apapun yang ingin berpikir buruk tentang kita.

Filosofi Topeng Pada Pola Parenting 

Hingga sekarang rasanya sering menyesal jika mengingat kadang.. sering sekali lepas kendali dalam memarahi anak-anakku. Bekas luka yang tak hilang sering kali menjadi pemicunya. Padahal kalau diingat, sering kali berucap pada diri sendiri bahwa parenting adalah ‘seni berpura-pura menjadi baik’. Tapi kadang, ah.. hanya sekedar teori 

Padahal kalau dipahami lagi, anak sekecil Pica dan Humaira paham apa tentang luka? Mereka hanya paham dunia mereka yang masih putih. Untuk apa aku sering memunculkan versi asli emosiku pada mereka? 

Jika pun ingin validasi tentang perasaan. Maka, suami adalah tempat sebaik-baiknya. Dialah pasangan hidup yang menyatakan siap menemani kita dan mendengarkan kita. Bukankah begitu?

Maka aku pun memutuskan untuk terus memasang topeng kebaikan pada anak-anakku. Mereka belum pantas mendapat luka di umur yang masih kecil. Mereka hanya pantas mendapatkan cinta dan kasih sayang. Topeng pun berlaku pada mereka yang tak perlu memahami diriku lebih dalam. Karena aku sudah paham apa akibat dari mengeluarkan emosi berlebihan tidak pada tempatnya. Itu membuat efek Boomerang pada diriku sendiri.

Pada akhirnya, sebagai manusia tak apa kok memiliki banyak topeng. Bukan tak punya karakter. Tak punya pendirian. Tapi kita sedang menjalani proses adaptasi. Adaptasi pada hati anak yang masih kecil dan polos. Adaptasi pada lingkungan sosial. 

Karena jika ingin memilih terbuka, pasanganmu adalah tempat sebaik-baiknya memeluk luka. Dan teruslah ingat.. Ada Allah. 

Saat Marah Kepada Suami

Saat Marah Kepada Suami

“Kalau lagi marah dengan suami it, bicara aja langsung di hadapannya.. Jangan malah kesana kemari..” Someone

Terdengar familiar banget ya, atau apakah kita termasuk dari salah seorang yang pernah mengucapkannya?

Jika pernah mendengar maupun mengucapkannya kepada sesama wanita. Ada baiknya, kalian membaca tulisanku ini.. Karena mengontrol kemarahan merupakan bagian dari mengontrol emosi. Emosi yang terkontrol akan membuat kesehatan jiwa seorang istri sekaligus ibu menjadi lebih baik dalam mengasuh keluarga

Well, semoga kedepannya aku bisa menulis lebih lanjut tentang cara mengontrol emosi saat menikah, baik itu mengontrol perasaan sedih, takut, kecewa, dan over bahagia. Tapi tulisanku kali ini khusus membahas tentang bagaimana mengontrol kemarahan kepada pasangan. 🙂

Marah versi Lajang dan versi Menikah

Tergelitik menuliskan hal ini karena sangat merasa tersentil dengan konten instagram @risalahamar

https://www.instagram.com/p/ChrsDPRrfwI/?utm_source=ig_web_copy_link

Sungguh itu amat sangat benar sekali. Marah  di masa lajang dan menikah. Tak bisa disamakan. Marah saat dengan teman misalnya. Saat remaja mungkin kita akan dengan berani melawan atau bahkan membully balik saat merasa memiliki kekuatan. Adapun saat tidak memiliki kekuatan kita akan diam dan pasrah. Keadaan demikian akan berpengaruh ke masa pernikahan kita. Bisa jadi, kita langsung blak blakan marah dengan suami. Tapi bisa jadi lagi, kita malah memendam dan menumpuk semua masalah itu. Karena takut dengan apa yang akan terjadi saat kita ‘melawan’

Bisa jadi kan suami langsung berkata kasar. Bisa jadi pula kita akan dibentak disalahkan. Atau bahkan, ada yang emosinya sangat mengerikan sekali. Langsung tak segan berkata ‘talak’. Padahal mungkin permasalahannya sepele.

Kemarahan yang tidak dikontrol dengan baik akan berakibat fatal dikemudian hari. Baik itu bagi suami maupun istri.

Maka, benar adanya bawa cara marah semasa lajang sangat berbeda dengan semasa menikah. Ada sesuatu yang harus kita kontrol disitu. Menyadari emosi, membuat kontrol kemarahan mereda dan penonjolan empati lebih dominan. Berhenti saling menyalahkan. Tapi fokus pada, “Bagaimana sebaiknya solusinya? Bagaimana agar ini tidak terjadi lagi?” 

Menyadari bahwasanya pada suatu permasalahan. Tidak ada yang mutlak bahwa, “Kamulah yang salah.”

Akan tetapi.. “Kita berdua sama-sama salah. Yuk kita perbaiki bersama-sama”

Jadi, aku tak bisa membenarkan pernyataan dari salah seorang temanku. Bahwa kalau marah langsung kemukakan. Ah, tak bisa begitu. Mungkin bisa bagi wanita yang memiliki suami ‘super sabar’ tapi bagaimana jika suami kita bahkan tidak sesabar itu? Menganggap kita sensitif saat curhat, tak bisa memvalidasi perasaan kita, alih alih saling koreksi diri. Kita malah harus selalu mengobati hati kita sendiri tanpa pernah ‘tercurahkan’ bagaimana perasaan yang sebenarnya ada.

Tentang Bagaimana Islam Mengatur Batasan Saat Marah

Hati yang sakit lalu kemudian merasa marah kadang akan melontarkan pernyataan yang menyakitkan pula. Pertanyaan selanjutnya adalah..

Dari mana kata-kata yang muncul itu? Apakah dari hati kita? Atau dari setan yang memanfaatkan emosi kita?

Berbicara dengan suami, dengan niataan curhat atau sekedar ingin didengarkan tidak akan sukses ketika suami kita sendiri sedang dalam keadaan ‘tidak menerima’. Alih-alih didengarkan dan dipeluk, kita malah akan kembali disalahkan lagi dan lagi. Perdebatan demikianlah yang akan berujung debat kemarahan. Berlanjut saling membuka kelemahan masing-masing hingga masalah yang telah lalu kembali dijadikan ‘bahan bakar’ dan disirami bensin, diledakkan dengan gas, memicu bom waktu masing-masing yang sudah diset sedemikian rupa agar ‘nanti-nanti saja ya meledaknya’

Rasullullah sendiri bahkan mencontohkan agar dalam marah kita tak terlalu banyak bicara. Karena saat marah, bicara menjadi menyakitkan. Biasakan untuk mengambil jeda dalam kemarahan. Berwudhu. Atau sudahi dengan bilang, “Aku sedang marah, nanti saja kita bicara ketika suasana lebih baik” 

Alih-alih mempertahankan pendapat masing-masing yang justru akan meracuni pikiran.

Curhat Pada Pasangan Itu Boleh, Meminta Pada Pasangan Itu Boleh Karena Kalau Tidak dengan Pasangan ya dengan Siapa lagi?

Tahapan mengambil jeda saat marah seringkali menjadi jalan bagi setan untuk masuk.

Saat marah, wajarnya kita menyudahi dan takes time untuk sendirian lantas mengatur strategi untuk bisa berbicara pada pasangan agar masalah kita ‘tersampaikan dengan baik’. Tapi ada kalanya, rasa sakit itu dimanfaatkan oleh setan.

Bagaimana? Mungkin setan berbicara demikian, “Tuh kan, kamu tadi ngomong baik-baik. Dia malah menyalahkan. Malah bilang kamu selama ini cuma begini begitu.”

Lantas rasa demikian akan divalidasi ketika penumpukan-penumpukan emosi kita memuncak.. Seperti..

“Oh iya ya.. Si anu kemarin juga bilang bahwa aku gak bisa menghasilkan apa-apa..”

“Oh iya ya.. Aku gak layak meminta. Karena harusnya aku yang bisa mencari duit sendiri..”

“Kenapa tenagaku tidak dihargai padahal aku sudah berusaha keras dan jarang sekali meminta?”

Kalau direnungkan kembali.. Sebenarnya kenapa pikiran demikian bisa terlintas?

Karena kita memendam perasaan kecewa tanpa pernah tersalur dengan baik. Lantas setan dengan mudah mengolah perasaan kecewa itu menjadi api yang berkobar. Efeknya, jeda pada kemarahan yang harusnya diisi dengan mindfullness. Malah diisi dengan curhat pada orang lain demi meredakan emosi. Curhat pada teman, ipar untuk bisa menengahi, bahkan pada orang tua. Hingga terakhir jika tak juga mendapat solusi curhat pada sosial media. Karena pasangan kita tak mengerti dengan emosi yang kita rasakan. Tak mengerti kenapa air mata kita keluar dan wajah kita sedih dalam waktu yang lama

Padahal, sejatinya emosi dan curhat kita sebagai seorang istri adalah hal yang seharusnya diolah dengan baik oleh pasangan kita. Didiskusikan. Dia lah yang menjadi teman curhat kita, teman kita meminta jika kekurangan, teman kita meminta dukungan. Tapi bagaimana jika ‘teman seumur hidup’ kita justru menghakimi dan tak bisa memahami perasaan kita? 

Menjadi Pasangan yang Dicintai: Pasangan yang Bisa Berempati dan Mengontrol Emosi

Tahukah? Hati perempuan itu luass sekali. Di dalamnya ia menyimpan cinta untuk anaknya, untuk suaminya, untuk ibunya, mertuanya, iparnya, saudaranya. Tuntutan pada diri seorang perempuan itu banyak sekali. Disadari atau tidak, lingkungan kadang memaksanya untuk demikian. Ia dituntut terlalu banyak mencintai dan melayani tapi untuknya sendiri tak pernah ada satupun yang bertanya apakah cinta untuk dirinya sendiri sudah cukup? Bahkan sekedar mengemis cinta agar dirinya merasa ‘terisi kembali’ pun sulit dilakukan pasangannya. Yang demikian bukan terjadi pada kehidupanku, tapi banyak terjadi pada perempuan lainnya diluar sana.

Misalnya, Aku memiliki teman curhat yang bahkan ketika ia meminta uang untuk spp anak tak bisa, jikapun tak ada uangnya tentu istri bisa memahami. Keadaan yang terjadi adalah: Uangnya ada, banyak dan itu tak bisa. Sementara kita dituntut harus jadi Ibu yang baik. Bagaimana bisa menjadi Ibu yang baik dalam keadaan suami yang bahkan tak paham dengan kebutuhan rumah tangganya? Misalnya lagi, Aku memiliki teman curhat yang bahkan ia tak tau harus curhat kemana tentang dirinya yang sedang ‘tidak baik-baik saja psikisnya’ tapi bahkan suaminya mengklaim bahwa ia kurang iman. Ia yang bahkan selalu mengerjakan kewajiban dan sunnah, tak pernah membeli hal yang tak berguna, tak pernah makan diluar bahkan tak pernah menjenguk orang tuanya yang jauh. Bagaimana bisa dikatakan kurang iman dan kurang bersyukur? Padahal, andai ditolong ‘sedikit saja’ mungkin akan berbeda ceritanya.

Hati perempuan tercipta bagai kaca untuk bisa mencintai. Mungkin, sudah demikianlah hatinya diciptakan oleh Allah agar bisa memahami refleksi hati yang lain dan berkasih sayang. Tak dijaga, dia akan keras, kuat dan mandiri serta tentunya.. Ia jadi merasa tak butuh seorang laki-laki lagi dalam hidupnya. Disadari atau tidak, itulah yang terjadi pada ‘kebanyakan perempuan zaman sekarang’.

Maka, untukmu yang ingin memiliki seorang istri dengan hati yang lembut solusinya hanya satu jadilah pasangan yang dicintainya, yang bisa berempati pada perasaannya, kebutuhan anak-anaknya. Bukan ia yang menjadikanmu sosok pemimpin semata. Karena apa gunanya punya seseorang yang selalu patuh padamu tanpa mencintaimu? Apa gunanya punya seseorang yang serba bisa serba sempurna tapi tak punya perasaan. Perasaannya mati karena lelah ingin selalu sempurna. Apa boleh buat, seorang istri memiliki emosi. Bukan robot AI yang tak pernah berbicara dengan perasaan.

Aswinda Utari

Kasus seperti apa yang dialami teman curhatku adalah sekian dari banyak kasus yang bisa menyebabkan ‘gelas kaca yang pecah’. Perempuan, bisa saja menata gelasnya yang pecah sendiri. Mengambil lem dan menempel satu demi satu kepingan itu. Menjadikannya utuh kembali. Tapi, itu tak akan pernah sama lagi. Maka, jika ia mengeluh.. “Tolong jagalah gelasku yang pecah..” jangan disakiti kembali dengan mengatakan hal yang menyakitkan. Karena itu akan membuat pecahan itu kembali terurai berantakan. Tahukah? Sulit sekali menempel kembali kepingan kaca yang warnanya sama. Bahkan tangan sendiri akan terluka dalam prosesnya.

Semakin lembut perasaan perempuan, semakin besar kasih sayangnya maka ia semakin sempurna bagi keluarganya. Dan tentunya, semakin mudah pecah. Kalau menginginkan perempuan yang tangguh dan ‘anti pecah’ maka mungkin perempuan plastik akan menjadi jawabannya. Mandiri, tak perlu dijaga, tak punya kasih sayang. Tapi bukan itu yang laki-laki inginkan bukan? 

Mencegah Fenomena Over Sharing Istri dengan Gelas yang Pecah

Aku pernah mengikuti kelas me time bersama para ibu-ibu di banjarmasin. Kelas yang diharapkan menjadi wadah bagi ibu-ibu untuk ‘sharing’ itu telah membuatku belajar satu hal. Bahwa, eh.. Ternyata.. Semua perempuan itu kalau sedang curhat yang dibicarakan ya ‘tentang rumah tangganya’. Kenapa? Karena ia butuh perasaan validasi dari yang lain. Dan tentunya, butuh solusi nyata dari ahlinya. Kebetulan, dalam kelas saat itu memang diisi oleh psikolog.

Satu per satu curhat aku dengarkan. Ada yang curhat verbal panjang sekali. Ada pula yang sampai ingin menangis. Siapa yang dibicarakan? Suaminya. Komunikasinya yang selalu tidak sinkron. Kebingungannya dalam jalan yang buntu.

Pertanyaan selanjutnya, bisakah hal demikian dianggap sebagai membuka aib suami? 🙂

Dalam persepsiku sendiri, berbicara dan curhat tentang rumah tangga itu sebenarnya dibolehkan. Asalkan dalam lingkup yang privasi. Curhat dengan teman dekat yang sudah lama tau dengan kita, membuat status yang hanya bisa dilihat 1-3 orang teman dekat saja. Sebenarnya itu boleh. Asalkan, orang yang kita percayai bisa menjaga privasi kita. Dan itu tentunya dilindungi oleh kebijakan kita sendiri dalam melakukan sharing.

Lantas bagaimana jika tulisan curhat sudah menyimpang? Again, ending konten @risalahamar ini benar-benar menyentuh hatiku.

Berteriak, histeris, meracau, mengungkit kesalahan lama. Yang demikian, dilakukan secara verbal maupun tertulis ‘sama buruknya’. Dilakukan secara verbal berarti kita telah menyakiti orang yang mendengarnya. Dilakukan secara tertulis kita telah menyakiti hati kita sendiri dan membuat berbagai persepsi dari hati orang yang membacanya. 

Aku tipikal yang pernah melakukan yang kedua. Mengutuki secara tertulis. Karena aku berpikir, “kalau aku keluarkan secara verbal kok sakit banget ya rasanya mungkin bagi dia”. Aku tak mau orang yang aku kutuk merasakan rasa sakit itu, maka aku menyalurkannya dengan cara yang lain. Berharap aku bisa meredakannya dan kembali bisa berkomunikasi verbal dengan merendahkan suara plus mengatur kata-kata. Nyatanya, tulisan itu menjadi bumerang efek pada diriku sendiri. 🙂

Bijaknya, kemarahan pada pasangan adalah tanggung jawab kita dengan pasangan kita sendiri. Itu rahasia. Itu aib. Kurasa semua orang setuju dan paham akan hal itu. Tapi, kembali lagi.. Bacalah tulisan ini perlahan kembali. Berkacalah.. Bertanyalah pada diri sendiri…

“Sudahkah kita berempati pada kemarahan pasangan kita?”
“Sudahkah kita berempati pada kesedihan pasangan kita?”

“Sudahkah kita sadar bahwa.. Ini bukan mutlak kesalahan pasangan kita.. Tapi kita berdua sama-sama perlu mengoreksi diri sendiri.”

Jadilah perisai untuk kemarahan pasangan. Seorang istri mungkin bisa membuka aib mendadak saat marah. Tapi seorang Suami pun juga punya tanggung jawab untuk bisa mencegah hal itu.

Seorang suami mungkin bisa mencaci dengan kata menyakitkan saat marah. Tapi seorang istri, masih punya pilihan diam dan sabar. Ingat, kemarahan yang dipublikasi secara luas mungkin akan menjatuhkan harga diri suami.

Semoga kita dan pasangan kita, selalu diberikan kesabaran dalam proses kehidupan ini.

Mengontrol Marah Bukan Menyumbat Kesehatan Jiwa tapi Latihan Tak Berujung untuk Dapat Maksimal Mengasuh Keluarga

Sabar? Ha? Sabar? Tiap baca tulisan tentang konflik suami istri ujung-ujungnya pasti disuruh SABAR!! BASI!!

“Kenapa ya kalau baca tulisan tentang mengontrol emosi itu, seakan-akan kita disuruh diem aja dan ujung-ujungnya jengkel sendiri. Ah itu menyumbat kesehatan jiwa gak sih? Padahal perlu banget loh release semuanya agar bisa plong.”

Ada gak yang berpikir demikian? Tentu, itu adalah diriku yang dulu. Hihi.

Jujur, rasanya mengontrol kemarahan itu sulit sekali dilakukan. Apalagi aku lahir di lingkup dimana orang tua aku selalu blak blakan kalau marah. Tak peduli ini itu. Tak peduli anak mendengar. Efek positifnya aku jadi tau segala masalah keluarga. Dari masalah ekonomi, hubungan sosial dll. Makanya, lingkungan demikian telah membentuk diriku yang super irit hemat, plus sangat hati-hati dalam bergaul di lingkungan sosial secara nyata. Tapi efek negatifnya adalah, aku kadang menjadi anak peniru ulung kelakukan orang tuaku. 

See? Terlihat receh sebenarnya. Tapi aku yang tak bisa mengontrol kemarahan. Akan berakibat hal yang sama pada pertumbuhan anak-anakku. Seperti mama yang setiap pagi sering kali memarahiku, padahal mama sedang melampiaskan kemarahan pada Abah. Refleks, aku sering melakukan hal yang sama. Padahal, itu bisa dikontrol. Diam dulu, berhenti bicara, atur ulang strategi, curhat pada teman dekat, curhat pada Allah, ulangi lagi berkomunikasi pada suami. Mungkin, karakter suami keras dan kuat. Tapi, bahkan batupun bisa retak jika secara konsisten terpedaya perubahan iklim dari sekitarnya. Kita mungkin tak bisa merubah perilaku orang lain. Tapi, kita bisa mengontrol diri sendiri. Selebihnya, biarkanlah Allah menjawab doa yang selalu kita panjatkan

Jadilah orang baik, dimulai dari mengontrol kemarahan… ya.. Diri sendiri…

Tulisan ini adalah tulisan self reminder untuk selalu bisa kubaca kembali jika mengalami kemarahan. Sangat berterima kasih untuk Risalah Amar yang telah sharing tulisan yang begitu menyentuh tentang rumah tangga. 

Pentingnya Moment Bonding Bermakna bersama si Kecil

Pentingnya Moment Bonding Bermakna bersama si Kecil

Menjadi orang tua dengan seribu akses pengetahuan dan lingkup sosial. Itulah fakta yang dihadapkan pada orang tua zaman sekarang. Ya, menjadi orang tua zaman sekarang memang memiliki banyak kelebihan tersendiri karena sangat gampang mengakses ilmu. Bergaul dengan sesama pun tak melulu bisa dilakukan di luar rumah. Hanya berbekal gadget, orang tua zaman sekarang bisa mengakses berbagai informasi dan bersosialisasi.

Bisa dibilang, itulah sisi positifnya. Dunia yang begitu luas. Namun, sebagian lagi kadang mengandung pengaruh yang negatif pada pola parenting kita sendiri. Kita jadi banyak tau tentang apa pendapat orang lain pada kita. Awalnya, diri kita ingin terus menjadi ibu yang baik dan terus belajar.. Namun kemudian terperangkap pada circle mom shaming tak berkesudahan. Seolah-olah, kita sebagai perempuan dituntut untuk bisa serba sempurna. Seolah-olah kita harus bisa beradaptasi pada standar kesempurnaan orang lain.

Tapi, sejatinya kita adalah diri kita sendiri. Yang memiliki kemampuan terbatas. Memiliki banyak kekurangan. 

Manusia, dengan kecerdasan emosional dan kognitifnya nyatanya tak bisa menjadi sempurna. Manusia..khususnya seorang Ibu hanyalah butuh menjadi pribadi yang penuh dengan cinta. 

Cinta, untuk menciptakan moment bonding yang bermakna.

Tentang Bonding Yang Bermakna

Apakah definisi Ibu yang baik? Apakah ia yang selalu bisa membersamai anaknya 24 jam sehari? Ibu yang selalu memasak, tak pernah membiarkan rumah kotor, tak pernah membiarkan anaknya terpapar gadget hingga mandiri finansial?

Bagaimana seorang ibu yang sempurna menjadi istri yang sempurna pula? Selalu tampil cantik, pandai merawat diri, patuh dan selalu taat. Belum lagi, seorang ibu juga dituntut menjadi menantu dan ipar yang baik hati dengan menciptakan citra yang sesuai dengan standar mereka.

Adakah manusia yang bisa sempurna demikian? Kurasa tak ada. Seandainya ada pun, maka seberapa banyak topeng yang harus dipasang demi menciptakan citra yang sempurna?

Selagi kecil, manusia memang dituntut serba sempurna oleh lingkungan. Sampai kemudian kita menjadi lelah dan lupa tentang apa itu ikatan emosional yang bermakna. Apa itu bonding yang bisa membuat diri kita bermakna di mata orang-orang yang kita sayangi. Nyatanya, bonding yang bermakna tidak dibangun dalam standar kesempurnaan tapi dibangun dengan cinta.

Bagaimana membuat bonding yang bermakna? Apakah diri kita sendri bukanlah manusia yang sukses dengan bonding bersama orang tua kita? Hmm.. Kurasa tidak.

Pernahkah kalian begitu marah dan kecewa dengan orang tua kalian? Tapi kemudian, kalian sadar dan meminta maaf. Kalian berbaikan kembali, sayang kembali hanya dalam waktu singkat. Itu artinya, ikatan emosional kalian dengan orang tua begitu dalam dan bermakna. Ikatan dalam itu telah membangkitkan empati pada satu sama lain. Ikatan emosional demikian dibangun dengan bonding yang bermakna.

Di dalam bonding, hal yang terpenting adalah tentang kualitas. Tak melulu tentang kuantitas. Jadi, kita tak harus kok menemani anak 24 jam untuk menciptakan bonding bermakna. Bahkan sebenarnya 30 menit yang sangat bermakna pun sudah merupakan hal yang cukup. 

Jadi, tak ada alasan sang ibu bekerja tak bisa menciptakan bonding bermakna. Tak ada keluhan bahwa seorang ayah tak wajib kok punya bonding dengan anak karena sudah lelah bekerja. Memeluk, mengajaknya makan bersama, membacakan buku cerita hingga menemani anak tidur pun adalah moment bonding bermakna terbaik jika dilakukan dengan cinta di dalamnya.

Petualanganku Menciptakan #MomentBondingBermakna

Aku adalah seorang ibu yang memiliki 2 anak. Anak pertama sudah berusia 9 tahun. Sementara anak kedua sudah berusia 3 tahun. Sebagai ibu dari dua orang anak, aku menyadari hingga sekarang bahwa aku bukanlah ibu yang sempurna. Dan aku memutuskan tak pernah mau menjadi sempurna.

Aku hanya ingin menjadi ibu yang baik dan penuh cinta.

Dan tahukah kalian, ternyata untuk menjadi seorang ibu yang demikian itu tidak mudah. Aku memiliki pengalaman pahit setelah melahirkan anak pertama. Aku terkena babyblues. Aku pernah menghadapi fase dimana aku merasa tidak bahagia menyandang status sebagai seorang ibu. Penyebabnya mungkin karena aku tak siap dengan kehamilan diusia muda, aku memiliki ambisi yang kemudian harus hilang, rutinitasku berubah 180 derajat dan lingkunganku terlalu banyak mendektiku untuk terus menjadi ibu yang sempurna ditengah keadaan ekonomi yang belum stabil tanpa paham bagaimana caranya membuatku bahagia terlebih dahulu. Outputnya, aku pernah merasa begitu benci dengan kehadiran anakku.

Butuh waktu lama untukku mulai bangkit, membuang beban kesempurnaan dari standar orang lain. Menemukan kembali diriku yang dahulu. Mulai berani berkomunikasi dengan suami. Pada akhirnya aku bisa mencintai anakku dengan penuh makna ketika aku sudah mencintai diriku sendiri.

Self love yang telah membuatku bisa bersemangat kembali membacakan buku untuk anakku. Self love, yang membuatku memotivasinya untuk mengikuti berbagai lomba. Anakku yang pertama sampai sekarang masih begitu sayang padaku meski aku sempat down memilikinya. Ia tau bahwa aku menyayanginya.

Hingga kemudian aku siap memiliki anak kedua, Alhamdulillah keadaan ekonomi kami membaik dan aku memutuskan menabung sejak hamil demi bisa memiliki ART selama 3 bulan pasca melahirkan. Aku menyadari pada fase krusial sangat penting untuk memiliki support sistem. Tak peduli kata-kata orang seperti, “Padahal gak kerja diluar, tapi punya ART.”

“Padahal kan ini itu.. Tapi kok gak sempat begini”

“Kalau anak bobo itu, ibunya jangan ikutan bobo. Nanti kerjaan rumah gak beres”

Perkataan demikian sangat gampang terhapus begitu saja jika seorang Ibu punya ART dan suami yang menyemangatinya tanpa membebaninya setumpuk masalah. Jadi, kesabaran seorang ibu itu butuh dukungan dari orang sekitarnya. Kesabaran seorang ibu itu butuh diri yang maksimal berdaya dan positif. Itulah faktanya.

Sejak Humaira kecil, aku sudah memiliki ‘escape plan’ untuk bisa perlahan lepas dari tuntutan ibu rumah tangga. Oleh karena itu, sejak umurnya 2 tahun dan tak menyusu lagi aku memutuskan menitipkannya pada Day Care. 

Keputusan yang aneh mungkin bagi sebagian orang karena melihat diriku yang ‘tidak bekerja’. Namun, orang bahkan tak paham betul dengan keadaan dan mimpi kita bukan? Orang lain bahkan tak paham dengan keadaan ekonomi kita yang mungkin telah jauh lebih baik dibanding sebelumnya. Jadi, kenapa harus peduli.

Fokus pada hal yang bisa dikendalikan. Itulah yang aku pelajari dari Mindfullness.

Diri kita yang bahagia dan dipenuhi rasa cintalah yang dibutuhkan oleh anak-anak kita. Bukan diri kita dengan versi yang sempurna.

Menjemput Humaira dari Day Care, dengan versi diriku yang telah sepenuhnya berdaya dan bahagia. Memeluknya di rumah sambil membacakan buku. Memandikannya sambil memijitnya dengan manja. Bahkan mengajak bermain pun seru rasanya. Bagiku, fase demikianlah yang bisa disebut sebagai #MomentBondingBermakna. Saat kami bersama dengan sepenuh hati kami. 

Moment Bonding Bermakna dengan Skin to Skin

Pola parenting pada anak kedua adalah bentuk penyempurnaan dari pola parenting anak pertama, itulah kata orang-orang. Bagiku, itu memang kenyataan. Waktu memiliki anak pertama dahulu, sangat banyak yang bilang padaku bahwa anak itu jangan terlalu sering digendong. Jangan menyentuh anak terlalu banyak, nanti dia tidak bisa ditinggal. Demikianlah orang-orang memberikan ‘nasehat’ padaku. Nasehat-nasehat demikian membuatku tak ingin terlalu banyak menyentuh bayi. Takut, kalau-kalau dia tak bisa ditinggal saat aku sedang sibuk. 

Padahal, kalau dipikirkan lagi ternyata sebuah mindset yang terpola demikian akan menjadi kenyataan. Karena terlalu takut akan ‘kelengketan’ maka aku dan anakku jadi tidak menikmati hubungan skin to skin. Padahal skin to skin itu sangat baik untuk membangun bonding. 

Anak pertama berbeda dengan anak kedua yang sudah dibekali oleh ilmu. Sejak dalam kandungan, aku sudah mulai sedikit mengerti tentang ilmu babywearing. Aku mulai kepo dengan berbagai gendongan yang bisa dipakai sejak newborn. Belajar bagaimana cara memakainya. Anakku yang kedua, seperti anak kanguru yang senang sekali digendong. Dan akupun menikmati moment demikian karena sudah merasa nyaman.

Apakah dengan sering digendong dan disentuh membuat anak menjadi semakin ‘lengket’ dan tak mau ditinggal?

Awalnya iya, 3 bulan pertama anak memang sangat lengket dengan ibunya. Untunglah aku memiliki ART selama 3 bulan itu. Setelah itu, aku hanya berkomunikasi biasa padanya sambil bilang nanti pintar-pintar ya, terus diulang. Anehnya, ketika umurnya sudah 3 bulan, anakku Humaira kalau sudah digendong dan tertidur ia akan pulas saat ditaruh di tempat tidurnya. Dan biasanya, aku juga ikut tertidur memeluknya. Hehe. Aku suka sekali memandangi wajahnya yang sebentar-sebentar tersenyum dengan rambut landak yang berdiri semua.

Saat memiliki anak kedua, aku mulai menikmati bau minyak telon saat memijatnya. Menyadari bahwa bau bayi itu ‘candu’ sekali. Aku jadi suka sekali mencium dan menyentuh kulitnya.

Moment demikianlah yang seharusnya kita nikmati. Bukan kita campur dengan urusan kewajiban lainnya yang sebenarnya tidak darurat sekali. Memeluk dan menyentuh bayi, akan membuat kita merasa bahagia. Bahkan, psikolog menganjurkan kita untuk memeluk bayi setidaknya 8 kali sehari selama 20 detik. Taukah kalian kenapa sentuhan kasih sayang itu bermakna sekali bagi bayi? Karena sentuhan kasih sayang dapat mengeluarkan hormon oksitoksin. Hormon cinta dalam kehidupan.

Belajar Memaksimalkan Moment Bonding Bermakna Bersama Zwitsal

Pada hari kamis, tanggal 22 Desember 2022 kemarin adalah hari yang spesial bagi kita para Ibu. Hari itu, diperingati sebagai hari Ibu. Meski bagi keluarga kami sendiri hari ibu itu adalah ‘setiap hari’ namun, hari ibu pada tanggal 22 Desember adalah hari dimana mungkin sebagian ibu diluar sana ingin mengapresiasi dirinya sendiri. Hal demikianlah yang membuat Zwitsal turut hadir untuk membersamai para Ibu dengan acara Festival Moment Bonding Bermakna bersama Zwitsal.

Meski hanya bisa mengikuti acara festival tersebut secara online, tetapi kebahagiaan dalam moment itu turut aku rasakan. Bagaimana tidak? Karena acara tersebut mendatangkan psikolog anak dan keluarga Samanta Elsener M.Psi, juga mengundang Nikita Willy brand Ambasador  Zwitsal sekaligus ibu muda yang ingin membagikan pengalamannya sebagai seorang New Mom. Acara ini terasa menarik ketika dibuka dengan bincang-bincang seputar pengasuhan anak yang sebenarnya semua orang tua memiliki style yang berbeda-beda dalam menerapkan parentingnya.

“Karena keadaan kita berbeda, jadi tak mesti semua pendapat orang lain harus kita aplikasikan. Aku sendiri fokus pada apa yang bisa aku kendalikan dan diskusikan dengan suamiku. Kalau ada saran atau pendapat di sosial media, yang baik akan berusaha aku aplikasikan. Tapi kalau tidak baik atau tak cocok dengan kami maka akan kami abaikan” demikianlah Nikita Willy berkata.

Mendengarnya aku merasa ikut senang, karena Niki memilih untuk teguh dan fokus pada keluarganya dibanding memperdulikan omongan orang. Berbeda sekali dengan pengalamanku yang diatas bukan? Hehe

Psikolog Samanta Elsener pun mengapresiasi pada pola pikir Niki dan Suami, menurutnya sangat penting orang tua memiliki kerja sama dalam pengasuhan dan tidak memperdulikan pendapat negatif orang lain. Karena apa? Karena pola parenting kita boleh berbeda tapi yang terpenting adalah kita memiliki moment bonding bermakna yang bisa dibangun dengan si kecil setiap harinya. Sekecil apapun moment itu akan terasa spesial ketika cinta dan kasih hadir di dalamnya.

“Keluarga kami biasanya menciptakan moment bonding bersama itu ketika makan. Baik makan pagi, siang dan malam usahakan selalu ngumpul di meja makan bersama. Baik aku, anakku maupun suami.” tutur Nikki.

Yup, sebenarnya tak memulu kita meluangkan waktu khusus dalam moment bonding bermakna loh. Kita bisa sambil melakukan rutinitas biasa dengan cinta kasih saat membersamai anak. Memeluknya sebelum tidur, menemaninya makan, memandikannya hingga menggendongnya pun sudah termasuk dalam bonding bermakna. Asalkan, Ibunya juga sedang berbahagia dan penuh cinta.

“Kita terbiasa selalu merasa ’kurang‘ dalam menjalankan peran sebagai ibu, hingga terjebak dalam mom shaming, yang ternyata dialami oleh 88% ibu millennials dan Gen-Z di Indonesia, padahal membersamai anak dalam membangun bonding itu tak bisa disamakan antara satu dengan yang lain. Setiap Ibu itu spesial.” ujar Samanta.

“Aku selalu percaya bahwa aku dan suamilah yang paling tau apa yang terbaik untuk Issa, dan yang paling penting adalah bagaimana kami bertiga selalu punya waktu untuk membangun attachment secara fisik ataupun emosional” tutut Niki

Yup, yuk kita perbaiki cara mindset memandang sebuah ‘keluarga yang sempurna’. Semuanya punya pengalamannya sendiri tentang berbagi bonding dengan si kecil. Yang terpenting lagi, kita mulai biasakan untuk membangun bonding efektif dengan skin to skin. Dengan cara sederhana saja. Mulai dari menyusui, memeluk dan menggenggam tangan, hingga memijat si kecil. Apapun yang bisa kita lakukan dengan hati senang.

Mahnessa Siregar (Nessa) Head of Deodorant and Baby Care Unilever Indonesia mengatakan bahwa hal yang dituturkan oleh Samanta dan Niki sejalan dengan brand purpose Zwitsal: menjadikan momen perawatan bayi sehari-hari menjadi momen bonding yang bermakna melalui skin to skin contact antara orang tua dan anak.

Zwitsal menghadirkan formula baru Zwitsal Baby Bath Hair & Body yang mengandung 4x Prebiotic Moisturizer yang melembabkan kulit bayi sehingga tetap lembut dan sehat. Dilengkapi keharuman lembut khas Zwitsal, inovasi ini membuat momen mandi menjadi momen bonding yang bermakna.

Oya, Selain Zwitsal Baby Bath Hair & Body.. Aku juga sering memakai minyak telonnya. Karena wanginya khas banget. Hingga umur Humaira 3 tahun pun aku masih setia memakaikan minyak telon untuknya. Nah, pada event bersama Zwitsal kemarin, aku baru paham bagaimana cara memijat bayi yang benar. Kami para orang tua baik secara online dan offline pun dengan senang ikut mencobanya di rumah sambil melihat baby Issa.

Ternyata, kegiatan Festival Moment Bonding Bermakna bersama Zwitsal ini berhasil memecahkan rekor kelas Baby Spa dengan peserta terbanyak versi the Asian parent – selaku mitra penyelenggara festival loh. Wah, aku jadi turut senang bisa ikut serta mengikuti festival ini secara online.

“Ke depannya, kampanye #MomenBondingBermakna akan terus hadir melalui rangkaian signature activities dari Zwitsal seperti kelas-kelas Baby Spa dan talkshow 1.000 HPK Zwitsal dengan para ahli dan praktisi kesehatan yang diadakan secara berkala,” tutur Nessa. 

Tentu saja, aku sebagai seorang ibu yang ingin terus belajar akan menantikan rangkaian kegiatan seru lainnya seperti ini. Yuk, sebagai ibu mulailah memandang dunia dengan lebih luas. Stop berusaha menjadi sempurna bagi orang lain, yang terpenting adalah menjadi Ibu dengan penuh cinta agar bisa selalu menciptakan Moment Bonding Bermakna.

Inner Strength: Pondasi Anak dalam Menggapai Masa Depannya

Inner Strength: Pondasi Anak dalam Menggapai Masa Depannya

Siang itu, aku menunggu Pica keluar sekolah bersama ibu-ibu yang lain. Ramai semua bercerita tentang cara anaknya belajar malam tadi. Maklum, hari itu adalah ulangan harian matematika. Yang mana, bagi sebagian ibu-ibu sepertiku mengajari anak untuk bisa mendapat nilai baik tanpa marah-marah saja rasanya sudah Alhamdulillah. Apalagi kalau lelah itu terbalas dengan senyuman anak sepulang sekolah dan berkata ulangannya berjalan lancar. 

“Bagaimana ulangannya tadi?” Tanyaku pada Pica

“Mmm.. Bisa aja sih Ma..” Jawab Pica

“Soal-soal yang mama bikin malam tadi ada gak keluar?”

“Ada. Tapi ada juga yang gak ada..”

“Yang gak ada gimana? Bisa gak jawabnya..?”

“Agak bingung sih aku Ma.”

Seminggu pun berlalu. Dan aku baru mendapatkan kabar kalau anakku termasuk dalam salah satu yang remedial ulangan harian matematika. Hmm.. Sedih sih pastinya. Karena aku sudah sangat berusaha mengajarinya. Hiks. 

Percaya Makna Inner Strength: Cause Every Child Is Special

Kalau ditanya sebenarnya Pica mirip siapa. Sepertinya Pica lebih mirip aku sih. Diantara ketiga saudaraku sepertinya aku yang paling payah matematika. Aku juga tak punya bakat menghitung-hitung rumus kimia. Makanya, dulu aku masuk jurusan IPS karena lebih suka membaca sejarah dan perilaku manusia lewat belajar sosiologi. Aku lebih suka membaca komik, menulis dan menggambar. Satu hal yang menjadi persamaan antara aku dan saudaraku hanyalah.. Kami sama-sama suka menonton film. 

Jujur, aku sempat kecewa dengan diriku sendiri karena terasa paling payah dalam keluargaku. Saat yang lain mengikuti olimpiade IPA dan Matematika bahkan menang saat itu. Aku bahkan tak bisa menang dalam lomba Bahasa Inggris. Saat yang lain bisa masuk jurusan kedokteran pada SBMPTN, aku hanya bisa lulus pada Kampus Negeri biasa dengan jurusan tak terkenal. 

Kok rasanya sedih sekali anakku jadi mirip denganku. Kenapa tidak mirip Ayahnya saja. Setidaknya, jika mirip ayahnya dia akan lebih diakui dan lebih sukses di masa depan. 

Diakui.. Sukses.. 

Sering aku masuk ke kamar Pica untuk sekedar iseng bertanya apa yang ia kerjakan. Aku juga sering bertanya, apakah di sekolah pernah ada yang membully atau merendahkannya. Alhamdulillah, Pica bilang tidak ada. 

“Teman-teman Pica bilang gambaran Pica bagus.” Pica memulai pembicaraan

“Iya, gambaran Pica memang bagus.” Sahutku

“Ada loh yang minta supaya Pica bikinkan komik.”

“Oh ya? Terus gimana?”

“Gak Pica bikinin. Takut temen Pica kecewa sama hasilnya. Karena Pica tuh kalau menggambar nunggu moodnya dulu membaik.”

Hmm.. Sampai hal demikian pun kita mirip nak.. 🤭

Aku pun mencoba bercerita berdua saja dengan Pica. Bercerita dari hati ke hati. Menceritakan sepotong-sepotong cerita masa laluku dan teman-temanku hingga masa sekarang. Harapannya, Pica menemukan arti inner strength miliknya sendiri. 

“Jadi temen mama yang dulu suka nulis itu malah jadi Pegawai Bank?” Pica bertanya

“Iya. Karena lingkungannya menuntut demikian. Dia jadi tidak percaya diri dengan karya-karyanya. Akhirnya semua karyanya hanya jadi pajangan di kamar. Uang dan status sosial kadang kala menjadi pembunuh nomor satu potensi diri.”

“Jadi, kita harus bagaimana dulu Ma? Memilih uang dulu atau mengasah potensi dulu? 

“Tergantung, ada beberapa orang yang pilihan hidupnya memang sulit. Tak ada yang support secara ekonomi. Maka ia memilih menghasilkan uang dulu diatas segalanya. Ada pula, yang secara ekonomi sudah disupport. Contohnya, adalah anak yang masih sekolah seperti Pica. Pica punya banyak kesempatan untuk bisa mengembangkan inner strength sendiri.”

Inner strength adalah kekuatan positif yang ada dalam diri setiap orang. Apabila diasah dan dilatih dengan baik, inner strength mampu menciptakan generasi yang kuat dan tangguh. 

Aku termasuk yang sangat percaya bahwa setiap anak terlahir dengan beragam potensi dalam dirinya. Belajar dari kehidupanku dan teman-temanku dulu maka aku melihat tak melulu anak yang pintar secara akademik memiliki inner strength yang kuat. Semuanya tergantung dari bagaimana manusia bisa memiliki kekuatan dan pola pikir yang positif pada potensi yang ada pada diri. 

Sebutlah namanya Agam. Dulu, dia selalu langganan remedial matematika sepertiku. Kadang dia membolos. Akan tetapi dia begitu ramah dan murah senyum. Suka menolong anak yang tak bisa berolahraga sepertiku. Berani, percaya diri, serta tangguh. Ia tak terlalu peduli pada pelajaran yang tak bisa ia maksimalkan nilainya. Akan tetapi, ia konsisten setiap hari latihan tinju hingga bisa meraih medali pada Olimpiade. 

Nasib Agam berbeda dengan Celi. Dulu, dia selalu juara kelas. Jika tak juara sekali saja. Raut wajah kecewanya tak kunjung hilang selama seminggu. Kupikir, awalnya ia adalah anak yang begitu ambisius. Terobsesi pada prestasi. Ternyata, ia tertekan oleh orang tua dan lingkungannya yang selalu menuntutnya untuk menjadi nomor 1. Saat tak bisa masuk di jurusan kedokteran, Celi terpukul sekali. Rasa minder menyelimuti dirinya, tak ada lagi keberanian untuk mencoba karena takut akan penilaian orang lain. 

Ada satu perbedaan besar yang menjadi penentu sebuah kesuksesan antara Celi dan Agam. Yaitu, Tingkat pengakuan. Celi sangat membutuhkan pengakuan dari orang sekitarnya. Sementara Agam tak membutuhkan itu. Ia ikhlas menerima apapun. 

Dari kisah demikian aku belajar bahwa masa depan yang cerah tak diukur dari bagaimana nilai akademik anak. Setiap anak itu unik dan memiliki bakatnya masing-masing. Segala bentuk kesuksesan dalam mendidik anak selalu dimulai dari akar yang sama yaitu pembangunan Inner Strength. 

Pentingnya Membangun Karakter Kuat dan Positif 

“Jadi dari situ kita belajar Pica.. Bahwa..”

“Remedial matematika itu gakpapa. Yang penting punya bakat yang selalu diasah. Iya kan Ma?”

“Bukan Pica. Kalau remedial tentu artinya Pica harus belajar lagi. Hidup itu gak sesimple punya satu skill yang diasah saja. Kalau gak pinter di bidang yang lain. Kita rentan dibodohi oleh orang loh”

“Jadi apa dong Ma kesimpulannya?”

“Perbedaan Agam dan Celi itu bukan tentang mereka punya bakat berbeda. Tapi tentang kekuatan Inner Strength yang beda. Agam memiliki karakter kuat dan positif. Sementara Celi, hidupnya bergantung pada penilaian orang lain. Agam dijemur oleh guru karena membolos, ia juga pernah dihukum karena tidak mengerjakan PR. Tapi, ia begitu hormat dengan guru. Ia menyayangi teman-teman. Ia tak perlu pengakuan dari orang lain. keberanian, kebaikan dan ketangguhan hati, hingga percaya diri adalah pembentuk Inner Strength. Dan Agam memiliki itu.”

“Itu mungkin karena dia rajin main tinju Ma. Anak laki-laki itu suka olahraga makanya mereka pada berani.”

“Itu dia Pica salah satunya. Olahraga memang membuat anak jadi punya keberanian. Tapi hal yang juga dominan dalam pembentukan itu adalah pengalaman positif.”

“Makanya Pica tuh jadi lebih suka karate tau gak sih ma dari pada belajar matematika.”

Sebenarnya, Kata-kata Pica ada benarnya. Aku melihat, Anak-anak yang rajin berolahraga dan beraktivitas diluar akan lebih terbentuk keberaniannya. Seperti halnya latihan karate yang sudah 2 bulan ini Pica jalani. Awalnya, gerakan Pica kaku sekali. Dilatih untuk menepis serangan pun ia tak bisa. Takut katanya. Akhirnya, melalui latihan-latihan dasar dan berulang-ulang berteriak.. Pica jadi punya keberanian untuk menepis bahkan berteriak. Kurasa, memasukkan Pica pada karate termasuk pilihan yang baik saat ini. Karena dengan menyeimbangkan aktivitasnya kuharap karakter positifnya akan terbentuk. 

Karena karakter positif adalah akar untuk menumbuhkan skill anak. Jika karakter positifnya saja sudah sulit tumbuh, butuh disirami pengakuan orang lain dan tak punya keberanian bahkan untuk melakukan hal yang benar-benar diinginkan.. Maka kebaikan, ketangguhan hati hingga percaya diri pun akan menipis. Dan ini akan mempengaruhi masa depan dan kebahagiaan anak kita kelak. 

Olah Raga Sepak Bola Untuk Mengembangkan Inner Strength

Saat menunggu Pica karate, aku melamun sambil menonton pertandingan sepak bola tingkat SD keponakanku. Sebenarnya pertandingannya sudah lama, tapi aku baru saja menontonnya karena baru diedit dan dikirimkan di grup whatsapp keluarga. Alhamdulillah saat itu keponakanku menang. Tak heran ia bangga sekali kesana kemari membawa bola. Begitulah anak-anak, ketika ia sudah menyukai sesuatu apalagi sudah mendapatkan kemenangan.. Rasanya dunia ini selalu menyorakinya. 

Aku jadi ingat pengalamanku bermain sepak bola sewaktu kecil dulu. Saking polosnya, aku bahkan menendang bola kegawangku sendiri. Lawan mainku bersorak kegirangan. Hahaha

Tapi, sensasi sewaktu bermain sepak bola di masa kecil itu masih ada. Saling bekerja sama menggiring bola, pentingnya komunikasi bahkan menggunakan bahasa isyarat, keyakinan dan keberanian menendang bola hingga saling menerima kemenangan dan kekalahan. Tak heran, guru olah raga kami sewaktu SD dulu senang sekali mengajari kami sepak bola. Tak peduli muridnya laki-laki atau perempuan. Ya, dulu bahkan ada loh pertandingan sepak bola perempuan saat lomba 17 Agustusan. Sekarang, rasanya aku tak pernah lagi melihatnya.

Sedih rasanya kalau sekarang aku hanya bisa melihat anak-anak ribut bermain game masing-masing lalu mengeluarkan bahasa semacam *njing *njir.. Aduh, entah karakter bagaimana yang akan terbentuk di masa depan. Padahal, bermain sepak bola begini rasanya terlihat nikmat sekali. 

Jadi teringat kata Pica bahwa anak lelaki mungkin memang cenderung kuat karakternya karena rajin berolahraga dan bermain. Itu ada benarnya. Melihat tawa keponakanku, caranya berekspresi saat bertemu dengan keluarga hingga kepercayaan dirinya. Aku jadi yakin bahwa olahraga yang membentuk nilai kerja sama tim seperti sepak bola adalah cara menyenangkan untuk membentuk Inner Strength pada anak. 

Sekolah Bola Online Biskuat Akademi 2022

Ketika asyik berselancar di sosial media, aku baru tau ternyata ada program Biskuat Academy. Pas banget program begini bisa mendukung anak yang punya skill sepak bola seperti keponakanku itu.Tak hanya skill sepak bola yang ditingkatkan tapi juga berbagai pengalaman menarik. Perjalanan Biskuat Academy ini ternyata juga sudah cukup lama. Mulai dari tahun 2019 hingga sekarang. Aduh, aku ketinggalan berita rupanya. Padahal anakku sendiri langganan beli biskuat buat bekal sekolah. 

https://www.instagram.com/p/Cjz_eOesArV/?igshid=YmMyMTA2M2Y=

Oh ya, Biskuat sendiri merupakan salah satu brand unggulan Mondelez International yang memiliki purpose led brand untuk menciptakan #GenerasiTiger yaitu anak-anak yang tidak hanya berprestasi tapi juga memiliki kekuatan baik dari dalam (inner strength).

Biskuat percaya bahwa setiap anak memiliki potensi tak terbatas melebihi apa yang terlihat. Kekuatan sejati dan unik seorang anak terletak di dalam diri mereka.

So, biskuat senantiasa mendorong pencapaian prestasi anak-anak Indonesia di bidang olahraga, seperti di sepak bola melalui program Biskuat Academy. 

Aku speechless ketika tau apa saja keuntungan anak mengikuti Biskuat Academy 2022 ini. Pertama anak bisa belajar keterampilan sepak bola dari pelatih berlisensi UEFA A. Kedua, anak bisa bertemu dan belajar langsung dari pemain profesional Tim Nasional Sepak Bola Indonesia. Ketiga, Anak juga punya kesempatan untuk memenangkan Tur ke Stadion di Eropa dan ratusan hadiah lainnya. Terakhir, semua anak mendapatkan E-Sertifikat dan Sertifikat fisik yang ditandatangani oleh Kemendikbud dan Kemenpora untuk finalis. 

Menurutku, Biskuat Academy ini merupakan sebuah kesempatan bagi para orang tua untuk mendukung potensi anak di bidang non akademis. Karena, seperti ceritaku diawal tadi bahwa Inner Strength pada anak bisa terbentuk melalui berbagai pengalaman positif yang membentuk karakter positifnya. Dan salah satu cara yang menyenangkan adalah dengan sepak bola. Apalagi jika anak memang memiliki kesenangan dan skill dalam sepak bola. Kurasa ini kesempatan yang harus dimanfaatkan sebaik mungkin. 

Yuk ah yuk. Ajak anak-anak kita ikutan Biskuat Academy. Caranya cukup simple. Pertama, beli Biskuat dengan kemasan khusus seperti dibawah ini. 

Kedua, daftar melalui whatsapp 081212225919 dan ikuti instruksi chatboat serta kirimkan foto struk. Dan kita bisa dapat hadiah langsung akses ke sekolah. Dengan sekolah bola online bersama bintang garuda anak bisa ikutan kompetisi video teknik bola di instagram dan berpotensi memenangkan tur ke stadion bola di Eropa. 

Oh iya, Pica juga punya karya untuk mendukung program Biskuat Academy ini loh. Dan ini adalah komik buatan Pica. 

Didalam komik ini, Pica bercerita bahwa ada seorang anak laki-laki yang sedih tak punya bakat apa-apa. Nilai akademiknya rendah sementara teman-temannya memiliki nilai yang tinggi. Hal yang anak itu senangi hanyalah bermain bola karena sering mendapatkan kemenangan. Sayangnya, kadang lingkungan lupa akan pencapaian itu. Olahraga sepak bola bersama teman sering dianggap sebelah mata dan dikatakan ‘hanya bermain saja’. Termasuk Mamanya juga sering memarahinya.

Akan tetapi, walaupun Mama sering marah.. Mama anak tersebut sellau perhatian dan menyayanginya. Mama selalu membuatkan bekal dan tak lupa menyelipkan biskuat kesukaan anak tersebut pada bekalnya. Di sekolah, anak laki-laki itu juga memiliki pendukung yang selalu menyemangatinya latihan. Ia adalah guru olahraga di sekolahnya. Semangat dari guru olahraga serta kasih sayang dari Mama membuat ia merasa berani, tangguh, dan percaya diri. Mamanya pun senang melihat anaknya selalu memiliki inner strange positif. Maka, Mama mendaftarkannya pada program Biskuat Academy.

Dalam komik itu Pica menjelaskan bahwa peranan guru begitu penting dalam semangat anak belajar. Maka, melalui inisiatif terbaru “Workshop Guru Olahraga” Biskuat juga ingin memberi dukungan  kepada  para pahlawan dibalik pengembangan potensi sepak bola anak yaitu guru Pendidikan Jasmani, Olahraga dan Kesehatan (Penjasorkes) di tingkat Sekolah Dasar dan Menengah serta Pelatih Sekolah Sepak Bola. 

Hmmm, coba saja workshop seperti ini ada sejak aku SD dulu. Kurasa guruku pasti akan senang sekali karena beliau rajin mengajari kami sepak bola. Yup, guru olahraga ku dulu mirip seperti Coach Aji pada video inspiratif dari biskuat ini. 

Beliau, sang guru olahraga yang bilang padaku bahwa tak apa-apa punya kaki yang tak cepat berlari, kamu pasti punya kelebihan lain. Dan aku tau meski tak cepat berlari tapi tendanganku cukup baik jika dibandingkan teman-temanku yang berlari cepat. Meski, yah.. Seperti cerita diawal tadi.. Aku menendang ke gawangku sendiri. Hihi. 

Peranan seorang guru itu begitu bermakna bagi murid-muridnya. Satu kalimat positif yang terlontar olehnya akan selalu diingat oleh muridnya. Bayangkan, guru yang hanya bertemu sekian jam saja per minggu begitu dalam peranannya. Apalagi kita sebagai orang tua? 

“Jika satu pelatih saja dapat mengembangkan sekelompok anak, maka dukungan penuh dari berbagai pihak seperti guru, orang tua, dan masyarakat sekitar dapat menghasilkan perubahan maksimal dalam pengembangan olahraga sepak bola dan sekaligus mengembangkan karakter positif anak”

Yuk, peluk anak-anak kita. Bisikkan semangat positif setiap harinya. Bagi mereka mungkin itulah bekal mereka menghadapi masa depannya kelak. 

Happy Parenting. 

Artikel Ini diikutsertakan pada lomba KEB X Biskuat Academy

IBX598B146B8E64A