Browsed by
Category: Renungan Hidup

Tulisan-tulisan yang berisi pengingat tentang kebaikan terinspirasi dari berbagai hal

Sebuah Pembelajaran dari Ramainya Isu Childfree

Sebuah Pembelajaran dari Ramainya Isu Childfree

Pagi itu, aku membuka instagramku. Sekedar kepo ada kabar baru apa yang mungkin terjadi. Dan aku memutuskan untuk membuka DM yang masuk. 

Betapa terkejutnya aku. Aku mendapat sebuah kritik tentang konten yang aku publish di instagram. 

“Jangan ikut-ikutan mendukung childfree dong mba. Mba winda tuh brandingnya Ibu dengan 2 anak.”

Aku termangu sebentar. Kubuka ulang cuitan twitter yang aku publish di instagram tersebut. Kemudian, aku bertanya-tanya pada diri sendiri. 

https://www.instagram.com/p/CS0h51RprRk/?utm_source=ig_web_copy_link

“Memangnya, di cuitan aku ini terasa seperti mendukung childfree?”

Lalu, aku bertanya lagi di dalam hati..

“Adakah batasan nyata antara rasa toleransi, menghargai hingga mendukung?”

Kenapa kita tidak boleh terkesan menghargai? Kenapa menghargai kental dengan rasa mendukung? Bukankah keduanya hal yang berbeda? 

Padahal, di cuitan tersebut jelas-jelas aku mengarahkan ending soal pilihan dan takdir. 

Ah netizen, ada aja kelakuannya.. 😅

Childfree memang sebuah pilihan tapi tetap memiliki batasan

Ramai isue childfree karena statement Gitasav akhir-akhir ini. Jujur, aku bukanlah follower gitasav. Bisa dibilang tidak tau apa-apa tentang hidupnya. Aku hanya mengenalnya baru-baru saja dalam kontennya di youtube. So far, aku berkesimpulan bahwa Gitasav adalah sosok perempuan yang open minded, pintar dan berbeda dengan kebanyakan. Apalagi jika dibandingkan denganku saat seumur dengannya. Ah, benar-benar tidak ada apa-apanya. 

Oke itu tentang Gitasav dimataku. 

Sekarang, kenapa aku ikut-ikutan terbawa dengan keramaian opini tentang childfree? 

FYI, aku bukan jenis makhluk yang suka berkicau dengan hal yang sedang trending. Hanya saja, hatiku tergerak untuk ikut ‘join curcol’ ketika sosmedku mulai dipenuhi dengan ‘war’. Ada yang pro childfree, ada yang kontra. Lalu saling sindir. Hatiku seperti mengganjal. Kok orang sebegininya? 

Iya, kok sebegitunya. Dan aku menonton ulang statement Gitasav. Entah kenapa, di mataku.. Dia biasa aja tuh. Gak ada mengajak begini begitu. Gak juga menjelek-jelekkan yang lain. Kenapa di sosmed begitu ramai berkelahi? 

Aku jadi merasa ‘gimana’. Karena aku pun pernah share di sosmed aku konten dear aline yang berjudul ‘I don’t want kids’. Aku share konten tersebut hanya sebagai pengingatku bahwa setiap wanita punya pilihan. Dan video Aline tersebut bagus menurutku. Bukan tentang childfree yang digemborkan. Takut juga sih gegara share video begitu dikira penganut childfree. Atau yang buruk lagi, dikira termasuk kaum yang menyesal karena punya anak. 😅

Lalu, aku membaca tulisan AFI. Tau kan ya? Gak perlu aku share sepertinya. 

Wah, semakin ramailah sosmed penuh dengan kemarahan demi kemarahan. Padahal, menurutku sendiri pernyataan Afi ada sisi benarnya. Walau iya, memang ada sisi nganu. Tapi ya.. Aduh, dia kan umurnya masih segitu. Wajar sangat lah menurutku dia mengemukakan pendapat dengan bahasa sedemikian. 

Kenapa sih, pernyataan Afi perlu dibela? 

Gak, aku gak ngebela. Cuma aku bilang sedikit banyak memang benar. 

Kenapa? 

Kalian pernah nonton film Mind Hunter? Film yang diangkat dari kisah ini punya banyak pembelajaran loh. Bahwa para psikopat-psikopat yang lahir di dunia ini.. Muncul dari keluarga yang tidak beres. Dari seorang Ibu yang depresi, Ayah yang punya kelainan. Lingkungan yang toxic dll dsb. Film berbau hal yang sama pun banyak yang terinspirasi dari kisah nyata demikian. Sebutlah mungkin Joker, walau fiksi.

Dunia itu, gak sebulat yang kalian kira. Gak selurus dan senyaman yang dipahami. Dunia itu, ruwet. Kayak benang kusut. 

Sepemahamanku, sebagian dunia ini dihuni oleh orang-orang yang mentalnya bermasalah. Dari masalah kecil, hingga besar atau besar banget. 

Orang-orang yang sadar akan ‘ketidakberesan’ ini. Memutuskan untuk memutus rantai masalah dari hal yang menurut mereka basic. Yaitu childfree. Nah, dalam perkembangannya childfree ini sendiri menjadi sebuah lifestyle. Gak hanya orang-orang yang memiliki masalah mental yang menganutnya. Banyak yang ikut-ikutan childfree karena merasa tak mapan secara ekonomi. Banyak pula yang menjadikannya sebagai upaya untuk mengenal diri sendiri hingga mewujudkan kebahagiaan pasangan yang ideal. 

Bagiku, memilih childfree itu boleh. Tapi, tetap HARUS memiliki batasan. 

Karena childfree itu pilihan manusia. Bukanlah takdir mutlak. 

Aku dulu adalah orang yang sepemahaman dengan Gitasav. Bahwa, memiliki anak harus didahului oleh kesiapan mental dan fisik. Anak bukan investasi. Anak adalah buah cinta. Tempat kita mewariskan hal-hal baik. Bukan tong sampah emosi. Bukan pula aksesoris hidup. Memiliki anak harus didahului oleh hati yang bahagia, didahului oleh ekonomi yang menunjang. Anak.. Bukanlah barang undian yang bisa membawa rejeki ketika kita dalam kesusahan. 

Aku menikah. Bertemu dengan cinta hidupku. Sekaligus menemui titik balik hidupku. Tinggal di tempat mertua, sumber ekonomi terbatas. Mental sedang diuji. Lantas langsung hamil. 

Shock. 

Akupun berpikir. Jika aku bersikeras dengan pilihan childfree, maka sungguh berdosalah aku. 

Oke, katakanlah aku anak liberal karena memang memiliki pemikiran menunda anak adalah yang terbaik. Memahami penganut childfree dll. Tapi, aku tetaplah orang yang memiliki setitik Iman di hati. 

Jika Allah berkata ‘Jadilah’.. Maka Jadilah.. 

Itulah yang kami pahami sebagai pasangan muda yang tak siap dengan status Ibu atau Ayah. Kami boleh jadi berencana untuk menunda anak hingga tak punya anak. Tapi, Allah berkata hal yang berbeda. 

9 bulan kemudian anak itu lahir.

Seperti para penganut childfree yakini, bahwa ibu yang belum selesai dengan dirinya sendiri akan mengidap depresi saat memiliki anak. Ya, aku mengalaminya. Aku terkena babyblues. Lantas tak ditanggulangi dengan baik. Lalu berlanjut hingga PPD. 

Tapi mau bagaimana? Allah berkata itulah misi hidup yang harus dijalani pertama kali. Bukan mimpiku, bukan pula membangun citraku. 

Setahun dilalui dengan susah payah. Tumbuh bersama anak dalam mental yang tidak baik. Tapi anak itu sungguh ajaib. Ia benar-benar membuka pintu rejeki. Ia juga menyembuhkanku. Membersamai proses hidupku untuk bertumbuh. 

Aku tak mau menganggapnya tong sampah emosi, ataupun undian hidup pembawa rejeki. Tapi ia menyembuhkanku dan membawa rejeki. Mungkin, karena kami memutuskan hal yang benar. Percaya pada takdir. 

Tanpa Anak, mungkin aku tak bisa menjadi Winda yang sekarang. 

Ya, childfree itu pilihan yang harus dihargai. Karena hidup kita tak sama. Tapi, manusia hanya bisa memilih. Takdirlah yang membawa hidupnya. Pemahamanku tentang pandangan ‘kebolehan’ childfree hanya sampai disitu. Berbatas pada takdir dan menjauhi hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh agama. 

Antara Feminisme dan Kodrat Perempuan

Isu childfree berbuntut panjang. Dari women war lantas berujung pada kentalnya bau paham feminis. Lalu, apakah childfree telah melakukan penolakan terhadap kodrat perempuan? 

Ya, menurutku sendiri.. jika sudah mencapai ranah ideologi hingga kodrat. Sungguh pembahasannya mulai berat dan sensitif. 

Aku sendiri, mengaku bukanlah wanita yang menjunjung paham feminisme. Hanya saja, aku memiliki batasan antara hal yang bisa diterima dan hal yang ditolak. Jika, pada headline awal aku bercerita bahwa wanita memiliki pilihan tapi tak bisa denial dengan takdir. Maka, mungkin kali ini aku akan bercerita tentang pandanganku tentang feminisme. 

Jadi, apa itu feminisme

Feminisme adalah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial. Feminisme menggabungkan posisi bahwa masyarakat memprioritaskan sudut pandang laki-laki, dan bahwa perempuan diperlakukan secara tidak adil di dalam masyarakat tersebut. Upaya untuk mengubahnya termasuk dalam memerangi stereotip gender serta berusaha membangun peluang pendidikan dan profesional yang setara dengan laki-laki.

-Wikipedia

Well, secara sadar aku membenarkan bahwa derajat laki-laki memang lebih tinggi dibanding wanita. Aku lahir pada lingkungan yang ‘menghormati’ laki-laki. Sadar bahwa dalam keluarga, sosial hingga organisasi.. Laki-laki selalu memimpin. Dan aku menghormati hal demikian. Karena memang secara genetik hingga psikis, laki-laki lebih pantas untuk itu. 

Kebetulan, lingkunganku dipenuhi oleh laki-laki yang berkomitmen dan memiliki tanggung jawab. Sehingga, secara sadar aku membenarkan paham patriarki menjalar dalam pola pikirku. Dan aku tidak apa-apa oleh hal itu. Karena aku dikelilingi oleh laki-laki yang hebat. Laki-laki yang bisa memberikan kasih sayang hingga apresiasi pada wanita yang melayaninya. Demikianlah. 

Time flies.. Aku mulai berkenalan dengan berbagai sudut pandang kehidupan yang berbeda. Aku berteman dengan berbagai perempuan dengan latar belakang berbeda. 

Perempuan yang keluarganya broken home. Perempuan yang tak bisa melanjutkan cita-citanya. Hingga perempuan-perempuan yang depresi karena kehidupannya yang carut marut. 

Perempuan-perempuan diatas. Tak bisa berkembang dengan baik. Ada yang stuck di tempat. Ada pula yang berkembang namun memiliki ego yang tinggi dan labil. Dan ada pula yang bolak balik ke psikolog karena masalah dengan masa lalunya. Juga ada pula yang dijajah ekonominya, dituntut serba bisa. Tak pernah menjadi perempuan utuh. Yang bisa berjalan dengan bahagia. Bahagia dengan pilihan yang ia pilih sendiri. 

Banyaknya problematika demikian. Menyebabkan gerakan feminisme bangkit. Perempuan harus berdaya. Begitulah semboyan mereka. Cobalah pikirkan, kenapa perempuan-perempuan begini bisa muncul ‘taring’nya? 

Ya, karena dalam circle hidupnya.. Mereka dikelilingi oleh orang-orang toxic. Tidak dilengkapi dengan restocknya tangki cinta. Karena laki-laki dalam hidupnya sama-sama toxic. 

Sesungguhnya, aku sangat yakin bahwa perempuan ‘mungkin’ kebanyakan terlahir dengan hati yang lembut dan penurut. Ia memang makhluk yang diciptakan untuk mendampingi laki-laki. Tapi, jika laki-lakinya tidak baik. Maka, perempuan akan mulai kehilangan daya yang benar. Aku sangat yakin, awal gerakan feminis dipicu oleh hal demikian. 

So, kembali ke persoalan mengenai childfree.. 

Bisakah kita ‘menyalahkan’ perempuan yang memilih tidak punya anak. Ketika mentalnya tidak baik-baik saja. Ketika laki-laki dalam hidupnya tak bisa diandalkan untuk support. Hingga adanya trauma masa lalu yang merupakan buah dari nenek moyangnya. Trauma ketika anak dijadikan beban untuk masa tua. Sumpah serapah anak durhaka yang tak pada tempatnya. 

Child free adalah buah pemikiran solusi instan atas kesalahan yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya. 

Pemikiran instan seperti, “Aku gak mau hal demikian terulang. Stop di aku. Cukup!”

Awalnya, mungkin itulah akar dari childfree. Lantas kemudian dijadikan gaya hidup oleh beberapa negara. Dibenarkan opininya oleh beberapa orang. Dan diadopsi pemikirannya. Menjadi hal wajar dan biasa saja. 

Hal wajar yang biasa saja. 

Ketika hal sedemikian dijadikan wajar dan biasa saja maka kemungkinan bisa saja hal buruk terjadi di masa depan. 

Pembenaran tindakan aborsi, hingga peningkatan gaya feminis yang mulai melenceng. 

Hari ini kita memandang aneh penganut childfree. Dan besok besok, bisa saja.. Kita punya anak satu saja. Repot satu kampung membully. Dunia mungkin bisa saja seterbalik itu. 

Bukan tidak mungkin kan hal itu bisa terjadi? Apalagi ketika kita tak punya batasan dalam mengadopsi suatu pemahaman. 

So, menghargai childfree boleh. Tapi, turut mendukung hingga mengkampanyekan. Itu Nay dilakukan… menurutku. 

Dibanding ramai saling judge, yuk.. Ambil pembelajarannya saja

Well, pembahasannya jadi sedemikian panjang ya. 

Semoga sudah mengerti dengan inti cerita yang ingin aku sampaikan. 

Bahwa mungkin beberapa penganut childfree punya alasan yang bisa diterima. Maka, kenapa sih kita sebagai emak-emak yang sudah beranak tak melihat sisi positifnya saja? Alih-alih sibuk war di sosmed? 

Apa sisi positif yang bisa kita pelajari? 

Kalau kita tak ingin paham childfree ini meluas dan menyebabkan depolulasi hingga terputusnya generasi baik maka.. 

Buatlah kenangan baik antara orang tua dan anak

Dan jika anak sudah ‘terlanjur’ terpapar dengan rasa depresi dari ibu.. Maka perbaiki hubungan kita.

Jangan sampai dalam kehidupan anak merasa masa lalunya suram. Lalu merasa bahwa dirinya hanyalah alat investasi yang dimanfaatkan di masa depan. Hal demikian, bukan tidak mungkin menyebabkan anak kita takut memiliki anak di masa depan. 

Yuk, jadikan anak-anak kita #anakbaik mulai sekarang. Ciptakan kenangan indah yang membuatnya selalu terkenang. Membuatnya semangat dalam menjalani hari-harinya. Penuhi cinta di hatinya. 

Agar suatu hari ia bisa bertemu pasangan yang baik tanpa terburu-buru karena kekurangan rasa cinta. 

Agar suatu hari ia bisa menyayangi anaknya. Memberikan nilai-nilai kehidupan yang baik dalam merawat dan membesarkannya. 

Ya, hidup bahagia itu.. Tangki cintanya harus selalu ada. Maka, jika dalam hidup selalu memendam benci karena beda opini.. Alangkah meruginya bukan? 

Dear Diriku: “Apakah Tidak Apa-Apa Hidup Begini Saja?”

Dear Diriku: “Apakah Tidak Apa-Apa Hidup Begini Saja?”

Belakangan ini, aku sengaja tidak begitu aktif dalam sosial media. Penyebabnya satu hal. Konon namanya adalah.. 

Insecure. 

Seharusnya, perasaan yang tumbuh ketika kita melihat orang lain senang atau memiliki pencapaian lebih adalah perasaan senang pula. Senyum ketika melihat pencapaian orang lain. Ikut senang melihat kebahagiaan mereka. Tapi, entah kenapa tiba-tiba ada rasa ingin bersembunyi ketika melihat semuanya. 

Rasanya seakan-akan kamu merasa lelah. Mengejar sesuatu akan tetapi realita yang terjadi adalah kamu kelelahan hanya karena lari ditempat. Tidak berpindah, tidak kemana-mana. Tidak mencapai sesuatu. Seperti halnya mereka, mereka, dan mereka. 

Kayaknya aku capek kok hasilnya enggak ada? 

Apa karena potensiku memang begitu receh? 

Hidupku kok stuck di tempat? 

Lalu, Mau Hidup yang Bagaimana? 

Aku terdiam di depan kaca, bertanya pertanyaan yang sama. “Apa gak papa ya hidup begini begini saja? Kok sepertinya pencapaianku receh sekali?”

Belakangan aku memang agak shock ketika melihat PV blog yang turun hingga 50% sebulan ini. Entahlah dimana kesalahannya. Hal itu juga sudah aku komunikasikan dengan suami. Pun juga kejadian tak terduga di perusahaan kami bulan ini. Salah seorang klien marah besar ketika jurnalnya tampil tidak karuan. Ternyata, 2 pagawai di kantor melakukan kesalahan. Dan masih banyak kejadian yang membuat aku merasa seakan hidup akhir-akhir ini tidak ada pencapaian. Kontras dengan sosial media. Ya padahal harusnya aku tahu diri bahwa sosial media hanyalah citra. Layaknya aku yang kadang bekerja receh disana. Tapi, namanya perasaan sedang insecure. Haha. Sudah hampir 3 tahun aku aktif di instagram. Tapi sepertinya baru kali ini merasa ingin bersembunyi saja. 

Lalu, aku berjalan ke halaman depan pada kantor kami yang dalam proses pembangunan. Sekitar tempat itu masih tergolong asri. Meski diatas sungai penuh dengan rumah penduduk. Tapi diseberangnya terhampar sebidang sawah hijau. Dan tak jauh dari sana, bangunan kampus universitas kami berdiri kokoh. Seakan melambai-lambai minta jenguk kembali. 

Humaira merengek kesal karena aku melamun saja. Aku jadi ikut kesal melihatnya yang sepertinya tak paham bahwa kadang ibunya butuh melamun sejenak. Sekitar situ memang tidak ada apa-apa. Tidak ada kucing berkeliaran, apalagi sapi. Hewan yang akhir-akhir ini menjadi favorit Humaira sejak idul adha. Akupun melirik setangkai bunga liar di pinggiran sawah. Tumbuh tidak karuan di lahan gambut bersama dengan tumbuhan lain yang tak kalah semrawutnya. Kupetik bunga tersebut. Lalu, aku berikan pada Humaira. Humaira seakan melongo menatapnya. Kupikir, pasti anak ini akan menangis lagi. 

Bunga liar. Apa bagusnya. 

Tapi Humaira melamun dan berpikir sejenak sambil melihat bunga itu. Dicium, dipotek, dilepeh hingga hampir diinjak. Anak itu memang sedang tantrum. Lantas kurebut bunganya. Kurentangkan tanganku menuju sawah. 

“Lihat Hum.. Bunganya Cantik..”

Humaira tertegun. Aku langsung mengeluarkan hp dan memotonya. 

“Bunga ini akan cantik ketika latarnya berubah..”

Aku menatap foto itu berkali-kali. Diperjalanan, aku melamun panjang. Bahwa, mungkin selama ini aku hanya bisa melihat dalam sudut pandang sempit. 

Mungkin selama ini bukan hidupku yang biasa-biasa saja yang bersalah. 

Tapi, sudut pandangku. 

Antara Impian, Pengakuan, Ambisi hingga Penerimaan

Pada tulisan sebelumnya, aku telah bercerita tentang perbedaan antara impian, pengakuan dan ambisi untuk ambang kebahagiaan. 

Namun, dalam proses meraih impian. Kadang kala, ada jeda panjang yang membuat proses tak lagi menjadi fokus. Kadang, kita terpaksa mengambil langkah jalan ditempat hingga lari ditempat. Tak berpindah. Untuk melakukan hal lainnya. Hal demikian sering terjadi sejak fase pernikahan hingga memiliki anak.

Karena merasa stuck dan tak berpindah latar maka pikiran menjadi begitu sempit. Seakan hidup tidak memiliki pencapaian. Padahal jika di runut kebelakang. Begitu banyak hal-hal receh yang kadang terlupakan untuk disyukuri. 

Aku kadang lupa mengapresiasi diri ketika memenangkan sesuatu, pun kadang lupa bahwa suami juga kerap kali memujiku. Lupa bahwa anak-anakku baik-baik saja ditengah krisis ini. Aku tak kehilangan sesuatu hal yang berharga. Betapa kemudian karunia ini kadang terlihat receh lalu tak diresapi ‘rasa’nya. 

Hidup memang perlu tantangan dan level baru. Namun, ketika merasa biasa-biasa saja bukan berarti tantangannya tidak ada. Ketika merasa biasa saja, bukan berarti kerja keras yang sudah dilakukan menjadi tak berharga. Ia hanya berubah wujud dan sudut pandang. 

Proses receh itulah kenikmatan yang kadang terlupakan. 

Penerimaan dan syukur. Hal yang kadang kala terlupakan oleh Ibu Rumah Tangga yang aktivitasnya seakan berputar disitu-situ saja. Namun, hal yang terpenting adalah tak pernah menghilangkan diri sendiri. Itulah yang aku pelajari ketika pernah kena PPD dulu. 

Aku sadar hidupku begitu berharga. Walau terlihat begini-begini saja. 

Selalu ada anak yang bertanya, “Mama, besok kita makan apa?”

Selalu ada tangisan disela-sela aktivitasku. Seakan itulah tantangan untukku bertumbuh. 

Dan selalu ada impian di depan sana. Bukan hanya impianku, tapi impian bersama. 

Mendirikan perusahaan yang mandiri. Bangkit dan menggandeng support lalu kembali belajar hal yang baru. 

Untuk sekarang, nikmatilah hidup yang begini-begini saja. Karena masa kecil Hum itu tidaklah lama. 

Hidup jadi Ibu, ya memang ‘harus begini-begini saja’ dulu. Gitu win! *aku sedang berbicara di depan cermin

Untukmu yang sedang merasa biasa-biasa saja. Percayalah hal biasalah yang mungkin dapat membuatmu bertumbuh. ❤

“Mari tumbuh bersama lagi mulai besok Hum.. “

Pesan Tentang Hidup Bahagia Ala Mama Mertua

Pesan Tentang Hidup Bahagia Ala Mama Mertua

“Kalau menuruti nafsu manusia.. Gak akan ada habisnya hidup ini. Selalu ada yang dikejar.”

Suamiku tersenyum mendengarnya. 

“Tapi kita itu berusaha bukan buat menuruti nafsu Ma. Kita tuh berusaha supaya bisa membantu orang. Coba kalau anak mama ini pasrah jadi PNS aja. Gak bakalan bisa membuka lapangan kerja. Dan gak bakalan bisa membantu keluarga dengan banyak..”

“Kalau prinsip kamu sudah benar nak. Yang mama maksud bukan itu. Coba lihat sekeliling kita. Banyak sekali orang-orang yang sebenarnya tidak tergolong mampu. Tapi suka sekali ganti-ganti mobil. Ya memang itu urusan mereka. Tapi apa iya kita harus hidup untuk mendapat penilaian dari orang lain dengan menyakiti diri sendiri. Itulah yang dimaksud hidup tidak ada habisnya.. Terlalu mengejar mata dunia..”

“Ya biarin aja ma.. Selama mereka bahagia. Nanti juga bakal sadar dan menyesal sendiri” Sahut Iparku di kamar sebelah.. 

Aku cengengesan mendengarnya. 

“Selama mereka bahagia, itu selalu jadi pembelaan. Manusia itu, tidak bisa membuat batas dalam mengukur kebahagiaan.” Pikirku 

Pesan Bermakna Untuk Mengukur Batas Kebahagiaan

Salah seorang dosen ekonomi islam di kampusku selalu saja mengulangi statement yang sama setiap kali pertemuan. 

Kebutuhan manusia itu terbatas, keinginannya yang tidak terbatas

Tapi dalam menjalani kehidupan, aku menyadari bahwa hasrat ‘ingin’ merupakan sebuah power dalam kehidupan. Manusia memang didesign sedemikian unik. Ia punya akal, juga punya nafsu. Nafsu membuatnya bersemangat, tapi akal membatasinya. Begitulah pola yang terjadi. 

Belakangan, pola itu sering mengalami kebablasan. Atas nama kebahagiaan, segala ‘ingin’ diciptakan. Sebuah saran dianggap parasit. Sementara ‘atas nama bahagia’ maka keinginan yang sebenarnya hanya butuh pengakuan selalu dijadikan alasan. 

Banyak terjadi. Karena kurang merasa bahagia, maka manusia sering menyakiti dirinya sendiri. Menguras finansialnya untuk mengemis perhatian dari orang lain. Sekedar mendapatkan pengakuan. Lalu jika sudah dapat, pola itu tak kunjung usai. Ia ingin minta lagi dan lagi. 

Lalu sebenarnya siapa sih yang ingin kita bahagiakan? Mata orang lain atau diri kita sendiri? 

Pernahkah kalian berpikir kenapa kita diberikan nafsu oleh Tuhan? 

Mungkin.. Hal itu karena kita ‘manusia’ harus memiliki impian.. 

Pentingnya Membedakan Impian, Pengakuan Hingga Ambisi untuk Batas Kebahagiaan

“Zaman sekarang, banyak orang salah persepsi tentang definisi bahagia.” 

Pillow talk dengan suami malam itu begitu melekat di kepalaku. 

“Mungkin, karena zaman sekarang mental health juga jadi perhatian khusus sih bah. Mereka melakukan hal-hal demikian karena psikisnya juga bermasalah..”

“Iya.. Tapi manusia perlu paham bahwa untuk memperbaiki diri.. Itu tidak bisa dimulai hanya dengan self reward remeh hingga mengemis pengakuan orang lain yang tiada habisnya. Itu bukan mengobati. Cenderung menganiaya diri sendiri.. “

Lantas, tahukah kalian bagaimana persepsi bahagia bisa tercipta? 

Dimulai dari hal sederhana ternyata. Kita harus bisa membedakan antara impian, pengakuan, hingga ambisi. 

Impian adalah hal yang benar-benar ingin kita lakukan dan bertujuan positif di masa depan. Impian selalu diatur setinggi mungkin. Ada rasa senang didalam menjalaninya. Apalagi jika membuat orang ikut merasa terbantu. Kita cenderung tidak peduli dengan penilaian toxic dari orang lain tentang impian. Selama itu bisa meningkatkan kualitas diri dan tujuan hidup yang lebih baik. Kenapa tidak? 

Contoh, Seseorang memiliki mimpi besar untuk membangun sebuah perusahaan. Ia memiliki uang sebesar 1 M untuk mengembangkannya. Uang tersebut ia peroleh dari pola hidup yang sederhana. Banyak orang disekelilingnya menganggapnya pelit, kikir dsb karena tak pernah menikmati hidup. Tapi, ia tidak peduli. Toh, itu impiannya bukan? Bersakit-sakit dahulu supaya bisa mengembangkan mimpi dan membantu orang kemudian? Kalian tau, jika kita hidup dengan membangun mimpi.. Maka tangki bahagianya selalu terisi berkesinambungan. 

Dan apa itu Pengakuan? Pengakuan adalah hal yang kita lakukan semata-mata untuk mendapat apresiasi dari orang lain. Kita tidak peduli hal itu benar atau salah. Selama itu bisa menyenangkan orang lain. Kenapa tidak? 

Contoh, Seseorang memiliki kemampuan finansial yang pas-pasan. Namun, karena begitu banyak tuntutan dari orang sekeliling. 

“Beli mobil, renovasi rumah, beli ini itu..”

Maka ia lemah, dan melakukan hal yang tidak seharusnya. Ketika sudah mendapat pengakuan ia bahagia. Namun, kebahagiaan yang dibangun atas nama pengakuan tidak akan restok dengan benar. Pengakuan cenderung akan menyakiti diri sendiri. Dan selalu meminta ‘lagi, lagi dan lagi’ tak ada habisnya. 

Seperti layaknya kata-kata diatas.. 

“Hidup jika mengejar dunia.. Tak ada habisnya..”

Kalau dinilai dengan singkat, Impian ini memiliki kebahagiaan jangka panjang sedangkan pengakuan memiliki kebahagiaan jangka pendek. 

Dan diantara keduanya, ada satu hal yang kadang muncul dan mirip dengan gabungan keduanya. Kalian tau apa itu? 

Namanya adalah Ambisi. 🙂

Sudahkah dalam hidup ini kita berkenalan dengan rasa ‘ambisius’? Aku? Sering. 

Ambisi terjadi ketika impian dan pengakuan bersatu. Seringkali dalam kehidupan hal ini terjadi pada sebuah kompetisi. 

Menang-Kalah.. 

Ambisi adalah impian yang ingin diakui dengan kemenangan. Agar orang-orang yang menyayangi kita dapat mengakui kita lebih tinggi. 

Ambisi seringkali terjadi jika impian kita tak kunjung mendapatkan semangat dari orang sekitar. Akhirnya, kita semacam mencari ‘pembuktian’

Pertanyaannya, Apakah rasa ambisius itu salah? 

Bisa jadi salah, bisa jadi pula benar. 

Benar ketika kita memunculkan semangat sendiri dalam mengejar ambisi. Namun, bisa menjadi salah saat kita tidak ‘legowo’ dengan hasilnya. Ambisi bisa menjadi salah ketika rasa ingin diakui lebih tinggi dibandingkan rasa legowo. 

Karena itu, aku menyimpulkan bahwa.. 

Jadilah manusia yang terus membangun mimpi, tapi juga menikmati proses jatuh bangunnya. 

Karena bahagia tak melulu dinilai dari hasil. 

Well, aku pernah menuliskan tulisan yang mirip dengan hal ini. Meski terdengar pesimis tapi sesungguhnya, saat menjadi ibu kadang kala kita harus menurunkan ambisi. 

Baca juga: Haruskah seorang Ibu mengejar mimpinya.

Pesan Mama Mertua, “Jadilah Manusia yang Biasa-Biasa Saja”

Terdengar pesimis bukan? Percayalah arti kata-kata Mama Mertua bukan sesederhana itu. 

Dalam bahasa banjar kepanjangan dari kata-kata itu adalah.. 

“Babila Sugih Jangan Tatawa, Babila Miskin Jangan Manangis..”

Artinya: Jika Kaya jangan tertawa, Jika Miskin jangan menangis. 

Seringkali, kita sebagai manusia begitu over dalam mengeluarkan ekspresi. Begitu pula dalam membendung keinginan. Padahal, sungguh andai saja kita itu bisa ‘biasa-biasa saja’ dalam setiap proses kehidupan, mungkin itu jauh lebih baik. Tapi, ya begitulah manusia bukan? 

Aku mengartikan kalimat itu dalam konteks yang berbeda. Yaitu dalam membangun mimpi. 

Mungkin maksudnya adalah.. Ketika kita membangun mimpi, jika berhasil maka jangan sombong. Sebaliknya, jika tidak berhasil maka jangan sedih. 

Apa maksud menjadi manusia yang biasa-biasa saja? 

Jadilah manusia yang mengenal arti ‘cukup’ dengan baik. Paham dengan hidup harus memiliki impian. Setuju bahwa dalam prosesnya tidak perlu pengakuan serta legowo dalam setiap tantangan hingga level ujian yang ada. 

Ah, semoga saja bisa demikian. Mungkin benar adanya bahwa bahagia itu sederhana. Jika kita mengerti maksudnya. 

Untold Story Dibalik Kisah Anak Durhaka

Untold Story Dibalik Kisah Anak Durhaka

“Dasar Anak Durhaka! Kamu gak tau ya kesakitan Mama ngelahirin kamu! Sudah tua Mama dibeginikan! Menyesal aku melahirkan kamu!”

Masih ingat aku omelan demikian. Saat itu, usiaku masih 17 tahun. Kulihat air matanya, kulihat amarah di wajahnya. Kurasakan getaran pada tangan dan kakinya. Namun, air mata orang yang memelukku.. 

Jauh lebih deras.. 

Ini bukan cerita tentangku. Bukan tentang aku sebagai anak durhaka. Tapi, cerita ini layak untuk kalian baca dan renungkan. 

Asal Usul Anak Yang Durhaka

Ini bukan cerita tentang Malin Kundang. Mungkin jauh setelah Malin Kundang lahir, bertahun kemudian di negeri antah berantah. Lahirlah seorang anak perempuan dari dua insan yang tak lagi saling mencintai. 

Sebut saja namanya adalah Meri. Ia lahir satu bulan pasca perceraian kedua orang tuanya. Sang Ibu bersikeras tak mau memeliharanya. Sementara Sang Ayah jatuh miskin. Tak ada satupun harta digenggamannya. 

Meri hidup dari satu tangan ke tangan yang lain. Dari tangan tante pertama, ia pindah ke tangan tante kedua. Lalu saat usianya menginjak 5 tahun ia mencoba untuk menghambakan diri. Belajar pekerjaan rumah tangga hingga belajar berjualan diluar sana. Pada usia sekecil itu, Meri sudah paham akan arti kerasnya hidup. Bahwa untuk makan sebutir nasi, ia harus berusaha. Ia tak kenal akan kasih sayang. Apalagi sentuhan seorang Ibu. Yang ia ketahui hanyalah satu hal. 

“Aku harus berjuang untuk hidup..”

Hingga usianya beranjak 13 tahun, Meri hidup dengan keras. Untuk sekolah saja ia tak pernah memakai sepatu. Hanya sepasang sandal jepit hasil pinjaman sepupu yang ia pakai. Pun soal uang jajan, jika jualannya tidak mencapai batas laku yang seharusnya. Maka ia tidak jajan. Akan tetapi Meri anak yang tangguh. Dijemur guru beberapa kali karena datang terlambat hingga memakai sandal jepit.. Ia tetap sekolah lagi dan lagi. Sehingga ia menjadi anak yang terkenal di sekolah. Semua guru senang mengandalkannya. Menyuruhnya membeli sayur, mencuci piring dll. Meri mengerjakannya dengan ikhlas. Jika diberi Alhamdulillah, jika tidak ya tidak apa-apa. 

Meri tak pernah sekalipun menanyakan kehadiran orang tuanya. Ia cukup tau diri, sepertinya Mamanya bukanlah orang yang menginginkannya. Pun juga Ayahnya. Apa yang bisa ia harapkan dari penjahit yang kala itu tidak sanggup menopang finansial. Tapi, keinginan Meri untuk mengetahui keberadaan orang tuanya selalu ada. Hari itu, ia putuskan untuk mengunjungi Ayahnya. 

Ternyata, Ayah kandungnya telah menikah lagi. Baru saja ketika usia Meri 13 tahun. Meri pun memutuskan tinggal sebentar dengan Ayah dan Ibu Tirinya. Ia berharap keduanya baik. Keesokan paginya, Meri bersekolah dan memakai sandal jepit yang ada di teras rumah. Dan sepulang sekolah Ibu Tirinya langsung meneriakinya, “Dasar Maling Sandal!”

Ia akhirnya tau, bahwa tak ada satupun yang menginginkannya untuk tinggal. Tapi Meri tau satu hal bahwa Ia harus bertahan dan membuktikan bahwa Ia bisa mendapatkan penerimaan itu suatu hari nanti. 

Ia yakin suatu hari akan ada yang berkata padanya.. “Ini adalah Meri, Anakku yang membanggakan..”

Meri terus berjuang untuk hidup. Ia berhasil sekolah di SMP hingga SMA dengan keadaan jatuh payah sedemikian. Beruntung parasnya tergolong cantik sehingga di sekolah ia mendapatkan lingkungan yang nyaman untuk menerimanya. Selama 17 tahun hidupnya, ia tak pernah mengenal apa arti kata ‘Mama’. Yang ia tau, ia harus bisa hidup lebih baik. Keluar dari lingkungan yang membuatnya bekerja siang malam. Sekolah akan membuat hidupnya lebih baik. Itulah yang ia yakini. 

Tapi, keinginan itu muncul juga. 

Kira-kira bagaimana reaksi Ibu kandungku jika melihatku sekarang? Akankah ia menyambutku dan menyebutku cantik? Akankah ia memberikanku uang? Sepatu mungkin? Ah, aku coba saja berkunjung. Kata tante, Ibu kandungku adalah seorang PNS. Bukankah seorang PNS setidaknya memiliki tunjangan anak? Berapa banyak tunjangan anak jika dikali 17 tahun? Ah, satu buah sepatu cukup. Ah tidak, satu pujian mungkin. Imajinasi Meri melayang membayangkannya. 

Saat liburan sekolah, Meri mengumpulkan tabungannya untuk mengunjungi Ibunya. Ia tau, Ibunya telah menikah lagi dan memiliki 2 orang anak. Suami barunya juga seorang PNS. Setidaknya, mungkin ia akan lebih sejahtera liburan disana. 

Meri senang saat sudah sampai di rumah Ibu kandungnya. Ada sebuah harapan. Pelukan dan tangisan tanda rasa rindu. Rumah itu dipenuhi dengan keriangan anak-anak. Sementara Ibunya sedang asik berhitung di warung. Dan tersenyum menyambut Meri. 

Aku tau Ibuku orang baik. 

Sayangnya, senyuman itu hanya sebentar. Meri masuk dan tak disambut oleh siapa-siapa. Ia mencoba mengerjakan pekerjaan rumah untuk mendapatkan apresiasi. Namun, tak ada satupun yang memujinya. Terlalu dini untuk kecewa. Ia memutuskan untuk ke warung dan menemui Ibunya. 

“Ma, bolehkah Meri minta pembalut ini? Meri ternyata Mens. Dan lupa bawa kain mens” 

“Jangan! Ini jualanku. Kalau kamu minta ya aku gak dapat untung. Di dapur banyak kain-kain bekas. Pakai itu aja.”

Meri melangkah ke dapur dengan menundukkan kepala. Menahan tangis. 17 tahun tak bertemu dengan Ibu Kandungnya. Namun ia merasa sangat asing. Bahkan merasa tak sedikitpun dipedulikan. Meri bertahan selama 3 hari di rumah itu. Berharap ada sedikit keajaiban. 

Hari ketiga, Meri memutuskan untuk pergi ke barabai. Tempat tinggal julak yang terkenal akan kebaikannya. Kemudian, sekali lagi Meri mencoba memancing-mancing Ibunya.. 

“Ma, Meri mau ke barabai. Bolehkah Meri minta uang untuk naik taksi? 1000 rupiah aja.. “

Sang Ibu memberinya uang 500 rupiah. Dan berbalik begitu saja. Meri mengucapkan terima kasih dengan tertahan.

Inilah uang satu-satunya pemberian ibunya selama 17 tahun. 

Sejak itu, tak pernah sekalipun Meri menjejakkan kaki di rumah itu lagi. Tangisnya membasahi tanah. Hatinya kesal. Tapi ia tau. Konon seorang anak tak boleh durhaka pada Ibunya. Malin Kundang adalah dongeng yang selalu menjadi pembelajaran untuk anak kala itu. Jika ia menangis sekarang lantas Sang Ibu melihat dan mengutuknya. Bukankah masih mungkin ia akan berubah menjadi batu? Karena merasa kesal? 

Meri kemudian bertanya-tanya. Bagaimana masa kecil Malin Kundang? Apakah ketika Ibunya Malin ditinggal oleh Ayahnya berubah menjadi Ibu yang berbeda? Apakah demikian? Sehingga Malin memilih untuk merantau ke negeri seberang? Lantas pulang dan berpura-pura tak kenal dengan Ibunya? 

Entahlah. Hari itu, Meri memutuskan hal yang sama. Merantau lalu menikah. Pergi sejauh-jauhnya.

Jika Saja Malin Kundang Memilih Jalan Yang Berbeda

Meri hidup dengan sejahtera. Ia berprofesi sebagai guru TK dan sudah PNS. Ia juga memiliki suami PNS. Dan ia dianugerahi 2 orang anak. Laki-laki bernama Wanda, juga perempuan bernama Winda. 

Dari kecil, Meri sangat suka bernyanyi dan membaca buku cerita. Karena itu ia merasa cocok bekerja sebagai guru TK. Walau ia memiliki inner child yang kelam, namun ia berusaha untuk tidak membalas semuanya. 

“Apakah Batu Menangis itu benar-benar ada Ma?” Anaknya Winda yang baru berumur 5 tahun bertanya polos. 

“Ia, batunya menangis. Menyesal karena durhaka dengan Ibunya.”

“Nangisnya kedengeran? Atau cuma keluar air mata aja? Batunya sujud gitu? Kok serem banget?”

“Iya.. Winda gak boleh kalau sudah besar durhaka sama Mama ya. Nanti kalau mama kesal bahaya..”

“Mama gak bakal berani ngutuk Winda jadi batu. Kan mama sayang.”

Meri tersenyum melihat Winda. Anak perempuan memang lebih emosional. Sementara Wanda sibuk bertanya-tanya apa itu beda legenda dan dongeng. Mengapa bisa ceritanya ada dll dsb. 

Winda dan Wanda tidak tau bahwa selama ini, ia tidak kenal dengan sosok nenek selain dari pihak ayahnya. Mereka tak pernah sekalipun menanyakannya. Seiring waktu, mereka sering mendengar ibunya terisak saat berbicara dengan ayahnya. Pun beberapa waktu belakangan, sering mereka ditemui oleh wanita tua yang datang kerumah membawa serpihan-serpihan snack murah. Mereka baru saja tau kalau itu adalah nenek. 

Ya, Meri memutuskan hal berbeda dari langkah Malin Kundang. Meski sering kesal, Meri memutuskan untuk menerima Ibunya kembali di masa tuanya. Membiarkannya bercengkrama dengan cucu-cucunya. Ikut senang ketika Wanda dan Winda begitu receh bahagianya. Snack murah dengan harga 100 rupiah sudah membuat mereka berdua senang. Berkata bahwa nenek membelikan oleh-oleh. Untuk sesaat, akhirnya kehidupan normal dengan adanya nenek itu pernah ada. 

Namun, itu tidak lama. 

Wanda dan Winda tumbuh menjadi sosok remaja yang sudah mulai mengerti akan masalah kehidupan. Mereka lambat laun paham akan kehidupan masa lalu Ibunya. Empati itu pun tumbuh. Sehingga jika melihat neneknya ke rumah maka reaksi mereka ‘Beh’ saja. Pun saat mereka tau bahwa neneknya ternyata ingin menghabiskan masa tuanya di rumah Meri. Mereka pura-pura biasa saja padahal ikut geram. 

“Aku mau makan pepuyu sekarang. Gak mau nanti.” Teriak sang Nenek di dapur. 

Meri kerepotan mengurus pagi rutin yang luar biasa. Ditambah dengan request spesial setiap pagi plus ‘ceramah’ dari sosok yang seumur hidup hanya memberinya 500 rupiah. Hati bergemuruh ingin marah. Tapi konon, bukankah seorang anak tidak boleh demikian pada Ibunya? 

Winda melihat air mata menetes di mata Mamanya. Ikut geram saat neneknya duduk santai dan mengobrol dengan pengasuh adik kembarnya.

“Kamu digajih berapa disini sebulan?” Tanya neneknya pada pengasuh itu. 

“Lima ratus ribu enggeh..” Jawab pengasuh polos. 

“Wah, banyak juga. Mana Meri ini anaknya pakai susu formula keduanya si kembar ini. Banyak banget pengeluarannya.”

Kuping Meri memanas mendengarnya. Ia berkata didalam hati, “Kalau memang merasa banyak, kenapa tidak dibantu? Bukannya Ibu tinggal disini juga? Ikut makan dengan pelayanan spesial? Bukannya uang pensiun ibu ada? Uang pensiun janda juga ada? Masa mau ditabung semua?”

Tapi kata-kata itu tertahan. Berganti dengan suara ‘PLAK PLAK’ keras saat memukul ikan pepuyu. 

“Eh, Meri.. Kamu ini ngasih gajih pembantu 500ribu sebulan. Pembantu kamu kasih gajih ya tiap bulan. Mamamu gak pernah dikasih duit.” Ibu Meri berkata demikian dengan santainya. 

Dan saat itu juga. Meri memutuskan melepaskan semua rasa itu. 

Tidak ada lagi kata sabar. 

Sabar itu ada batasnya. 

Selalu Ada Cerita Anak Durhaka, Tapi tak Pernah ada Cerita Ibu yang Durhaka

Mana yang lebih dulu diciptakan? Telur ayam atau Induk Ayam? 

Sebab dan akibat. Selama ini, kita terbiasa dikenalkan pada akibat. Lalu abai akan sebab. Padahal, sebab adalah awal dari semuanya. 

Kisah Meri sudah bisa ditebak endingnya bukan? Ia kehilangan kontrol dan melepaskan semua amarahnya. Ia mengusir ibunya dari rumah dan berakhir dengan sumpah serapah dari mulut ibunya yang berkepanjangan sepanjang hidupnya. 

Meri tak pernah dianggap sebagai anak baik di masa hidup Ibunya. Ia hanyalah seonggok anak celaka yang tidak diharapkan diawal kehidupannya. Namun diperas erat diakhir cerita. 

Apakah Ibunya mengutuknya menjadi batu? 

Ya.. Winda sering mendengarnya. Satu dua.. Mungkin sepuluh kali. Namun kiranya Tuhan lebih tau siapa sebenarnya sosok yang durhaka pertama kalinya. 

Akhir cerita Meri bukanlah menjadi sebuah batu yang menangis layaknya batu Malin Kundang. Namun menjadi anak dengan hati yang membatu. Menangis melihat perilaku Ibunya padanya. Menyesal dilahirkan oleh Ibu yang sedemikian.

Kenyataan demikian membuat Winda berpikir akan pertanyaan masa lalunya, “Bagaimana sebenarnya sosok batu menangis yang sebenarnya?”

Apakah cerita Malin Kundang benar dimulai dari kasih sayang yang dibalas dengan kedurhakaan? Apakah mungkin ‘global story’ dibalik kisah Batu Malin Kundang sebagai pengingat bahwa seburuk apapun perilaku seorang Ibu, seorang anak haruslah menjadi baik. Agar ‘rantai sifat durhaka itu putus’? Yah, mungkin itu kiranya.

Seusai diusir, Ibunya Meri pulang ke rumah anak kandung keduanya. Anak laki-laki dari pernikahan keduanya. Namun sayang, ia tak bisa diurus dengan baik. Ia ditinggalkan begitu saja di dapur rumah. Tanpa mandi, tanpa ganti popok, dan tanpa dilayani sandang pangannya. Ia hidup panjang umur. Dengan pelayanan sedemikian. Apakah itu hukuman dari Tuhan? 

Meri menyaksikan hal itu saat tidak sengaja berkunjung. Hatinya pilu sesaat. Winda dan Wanda tak pernah sekalipun mengunjungi neneknya. Uang 5000 rupiah adalah satu-satunya hal termahal yang pernah diberikan oleh neneknya yang bergelimang harta. 

Tapi Winda sadar. Bukan hanya uang 5000 rupiah yang telah diberikan nenek. Namun sebuah pembelajaran berharga bahwa.. 

Jangan pernah menjadi orang tua yang durhaka.. 

Anak tak pernah meminta dilahirkan.. 

Ia lahir untuk disayangi. Diwariskan rasa-rasa yang baik agar ia menjadi orang baik. 

NB: Ya, aku menulis ini seminggu pasca menonton film Cruella. Kisahnya mengingatkanku pada sepotong cerita. 

Tulisan ini bukan untuk membenarkan perilaku durhaka. Tapi untuk mengunggah hati kembali. Mencari sudut yang berbeda agar kita.. khususnya para Ibu.. 

Belajarlah untuk mencintai anak dengan tulus.. ❤

Jadi kalian tau Winda dan Wanda itu siapa? 🙃

Another galau story: Mama, Maafkan Aku Hanya Bisa Menjadi Ibu Rumah Tangga

Dilema Penulis Buku VS Pembajak Buku

Dilema Penulis Buku VS Pembajak Buku

“Bukannya apa sih, sebagai seorang penulis yang sudah punya banyak fans. Harusnya bahasanya lebih ‘sopan’.. “ -Netizen

Ramai para netizen membully ‘omelan’ Tere Liye pada tulisannya di page facebook akhir-akhir ini. Kubaca satu per satu komentarnya. Lalu melamun sesaat.

Komentar itu.. Ada yang berempati, ada yang menyemangati, ada pula yang menertawakan. Sebagai silent reader di fanspage Tere Liye, aku hanya bisa diam. Nyaliku tak begitu bagus untuk ikut nimbrung sekedar berbagi komentar. Tapi, aku mencoba memberanikan diri menulis opiniku pada tulisan blog kali ini. Toh, blog ini adalah milikku. Suka-suka aku bukan beropini disini? 

Ketika Pembajakan Sudah Menjadi Hal Biasa Dalam Kehidupan

“Wind, kamu ngebela Tere Liye. Bukannya kamu juga langganan beli CD bajakan ketika SMA dulu?”

Eh iya, siapa bilang aku orang yang suci? Gak pernah ngomong begitu bukan? Bahkan, dosaku dibidang membeli barang bajakan mungkin jauh lebih juara dibanding kalian semua. 

Aku pernah beli CD murah, beli baju murah, tas murah, sepatu murah. Bahkan aku juga tukang ‘influence’ temen-temen aku ketika kuliah dimana membeli barang-barang murah nan bagus. Bangga sekali rasanya kalau diingat masa-masa itu. 

“Winda, cewek yang tau list harga barang-barang murah dan bagus..”

Aku tidak peduli kalau ada salah seorang menegurku seperti ini, “Eh, ini tas Channel ya? Berapa harganya? Kok murah? Oh, barang kw..”

Hatiku pasti mendengus kesal, “Kan gak semua orang financialnya kayak elo.. “

“Bergayalah sesuai isi dompetmu.. “

Itu adalah prinsip kesekian dalam hidupku. Dan aku sangat bangga dengan prinsip itu. Karena prinsip itu ditularkan oleh mamaku. Bahkan, jujur saja.. Sebelum aku lahirpun mungkin saja aku sudah mengonsumsi barang-barang bajakan. Jauh lebih banyak dibanding kalian. Tapi kenapa aku begitu? 

Ketika aku kecil, aku tidak mengerti apa itu barang bajakan. 

Ketika aku sudah besar, aku mengerti barang bajakan. Tapi aku sudah memaklumi industrinya. Dan mendukung perkembangannya karena lebih ramah pada golongan ekonomi kebawah. 

Lalu, atas alasan ‘murah, murah, murah’ aku membenarkan pembelian barang bajakan dalam hidupku. Biarkan saja barang ORI punya kelas dan pasarnya. Barang bajakan juga sebuah industri yang punya pasar dan kelas sendiri. 

Itulah pembenaranku. Dan ya, aku mengakui bahwa diriku adalah sarjana akuntansi dan tentu sudah memahami ekonomi. Tapi aku menyangkal kesalahanku dan membenarkannya. Karena aku memang punya sifat keras kepala sejak dahulu. 

Pembajakan adalah hal biasa dalam kehidupanku. Ngapain repot-repot diurusin? 

Dan kalian tau? Aku pernah membeli buku Tere Liye 1 bundling. Dan itu barang bajakan. Judge me. Itulah aku dahulu. Winda dengan mental sok miskin dan iya.. Goblok. 

Apakah Tere Liye Itu Memang Penulis yang Tidak Sopan dalam Berbahasa? 

Aku mengenal Tere Liye sejak kuliah. Buku pertama karyanya yang aku baca adalah Negeri Para Bedebah. Ops sorry, buku itu ORI karena itu bukan milikku melainkan punya adikku. Bermodal ‘pinjem’ dari adik, aku mulai menyukai buku-buku Tere Liye. Jangan salah, buku-buku Tere Liye saat itu dibeli di gramedia dengan harga yang menurutku mahal.

Saat aku menikah, ekonomi keluargaku dalam kondisi down. Selain itu, aku sempat mengalami PPD. Untuk mewaraskan diri, aku mulai menekuni dunia blogging dan membaca buku. Kulirik lagi karya-karya terbaru dari Tere Liye. Tak lantas menabung demi membeli bukunya. Tapi aku hanya membaca-baca review buku tere liye yang berseliweran di internet. Lumayan mengenyangkan. 

Hari berganti tahun demi tahun. Marketplace mulai ramai. Saat itu, aku tidak menginstall aplikasi online store apapun di HP. Aku hanya kepo dengan berbagai marketplace itu melalui HP suami. Lalu, saat iseng membuka buka*apak di HP suami. Aku melihat buku Tere Liye. Harganya, omo.. Murah sekali. Itu adalah kali pertama aku tau ada yang namanya buku murah di marketplace. Dulu, kukira buku itu ORI. Lalu, saat bukunya datang aku terkejut dengan kualitas kertasnya. Kan, memang aslinya goblok. 😆

Saking gobloknya, aku membeli lagi buku itu 3 bulan kemudian di toko yang sama. Saat itu, aku sudah melakukan tombol ‘like’ di fanspage Tere Liye. Kuperhatikan kuote dan tulisannya. Bagus. Dan toh Tere Liye tak pernah menyinggung tentang buku bajakan dsb. Itulah letak kegoblokan hakiki milikku. Kenapa aku beli lagi ya? Apakah karena kupikir tidak apa-apa? Toh, penulisnya saja santuy dan tidak marah. 

Bulan berganti tahun. Keadaan ekonomi keluargaku membaik. Aku sudah mulai bisa menabung dan memiliki penghasilan sendiri dari blog. Aku mulai mengubah polaku dalam membeli buku. Mulai berani menginstall sh*pee dan tokop*dia di HP lalu mencari buku ORI yang sedang diskon. Separuh buku Tere Liye milikku adalah buku ORI. Senang rasanya, kualitas kertasnya saja sudah beda sekali dengan yang bajakan. 

Tahun 2018, Tere Liye datang ke Gramedia Banjarmasin. Dia berbagi ilmu disana. Aku memperhatikan dan sempat mengangkat tangan untuk bertanya. Ia menjawab dengan lugas dan nyaman. Aku juga ikut mengantri tanda tangan di buku ORI yang aku miliki. Dari awal pertemuan hingga akhir, tak sekalipun ia pernah protes tentang buku bajakan. Tak pernah ia nyinyir dan sebagainya. Padahal saat itu, buku bajakannya ramai sekali dijual dimana-mana. Karena sifatnya yang terkesan legowo demikianlah aku memutuskan untuk tidak lagi membeli buku bajakannya. 

Setahun terakhir ramai tulisan Tere Liye di fanspagenya membahas tentang buku bajakan. Dimulai dari tulisan yang ‘biasa saja’ untuk sekedar menghimbau pembacanya hingga semakin hari semakin naik levelnya. Dari biasa saja, medium hingga seperti tulisan diatas. Apakah itu wajar? 

Hei, Apakah marah itu wajar? 

Tentu saja wajar.. Kok bisa-bisanya kalian yang mungkin tidak mengenalnya bahkan mungkin tidak pernah membaca karyanya menertawakannya dan ikut menggunjingnya. Ironisnya, sebagian dari mereka juga para penulis. Disitulah hatiku nyeri. 

Kenapa dunia selucu ini? 

Gaes.. Aku pernah diposisi sama dengan Tere Liye sewaktu sekolah. Tugas dan PR milikku dicontek oleh teman-teman sekelasku. Aku yang capek, teman-temanku yang tertawa. Saat aku iseng ‘menyalahkan’ jawabanku supaya nilai kami tak seragam, teman-temanku mencela tindakanku. Berkata ingin menang sendiri. Saat aku tidak mau menyerahkan tugas dan PR milikku mereka ramai menggunjingku ‘pelit’. Sudah jutek, pelit pula. 

Begitulah kiranya konflik penulis dengan pembajak.. 

Penulis capek sekali untuk menemukan ide, melakukan riset, edit sana sini, bolak balik, kerja dan kerja. Pembajak punya jalan yang lebih instan. Cukup copy paste. Saat penulis mogok dan merajuk, orang-orang disekelilingnya ramai mengatakannya penulis pamrih, matre dsb. Sementara pembajak ramai dipuji murah hati karena ia memang lebih ‘murahan’. Disitulah letak menyebalkannya. Kenapa dunia ini selucu itu? 

Perlu kalian ingat bahwa.. 

“Marah dan tidak sopan itu wajar terjadi. Saat bahasa komunikasi lembut dan sopan tak kunjung diapresiasi..”

Karena apa? Karena komunikasi hanyalah alat untuk penyampaian. Hal yang lebih penting adalah Apakah sudah dirasakan? Bagaimana caranya agar lebih berasa? Kapan jurus marah dan tidak sopan akan efektif? 

Ingin Belajar Berempati dengan Kehidupan Penulis? Bacalah Novel Selamat Tinggal

Setiap Tere Liye mengulas tentang betapa b*engseknya industri buku bajakan ia selalu menuliskan kalimat akhir dalam tulisannya. 

“Tere Liye, Penulis Novel Selamat Tinggal”

Itulah ciri khas miliknya. Setiap menulis status, ia mencantumkan judul novel yang mewakili statusnya. 

Dan novel yang mewakili konflik Penulis vs Pembajak adalah novel berjudul Selamat Tinggal. 

Aku sudah pernah mereview novel selamat tinggal. Dan novel itu luar biasa. Ia mengubah diriku yang selalu membenarkan pembajakan. Ia juga membuka pola pikirku untuk memahami makna keberkahan dalam hidup. 

Berhentilah menilai seseorang hanya dari status-statusnya di facebook. Tidak lantas 1-2 kalimat terlihat rese lalu kalian berhak mengklaim kalau orang ini jelek. Pertanyaanku, pernahkah kalian membaca buku Tere Liye sehingga berhak sekali menghakimi status-statusnya? Sudah berapa lama sih kalian kenal dengan Tere Liye? 

Eh, memangnya kamu kenal banget win?

Enggak, ada ⅕ bukunya yang belum aku baca.

Aku tidak pernah mengobrol dengan Tere Liye, atau bahkan tinggal 1 kelas dengannya. Lantas kenapa? Itulah alasan kenapa aku tidak menghakiminya. Toh, aku belum kenal 100% dengan Tere Liye bukan? Justru karena belum kenal aku tidak berani menghakimi orang yang sudah membuka pola pikirku dengan buku-bukunya yang mengandung banyak hikmah kehidupan. 

Novel selamat tinggal ini luar biasa loh. Kalau kalian membaca dengan seksama. Penulis menempatkan dirinya pada posisi penjual buku bajakan. Mencoba berempati dari posisi mereka. Mengubah karakternya perlahan-lahan melalui berbagai peristiwa. Dan memaklumi bahwa di dunia ini selalu ada makhluk yang bebal dan tidak sadar akan kesalahannya. Begitulah dunia. Untuk seorang penulis yang karyanya sudah sedemikian dicuri oleh pembajak. Novel Selamat Tinggal ini cenderung sopan dalam menegur. 

Tapi, untuk apa penulis terus menulis? Bukan untuk pembajak. Bukan pula untuk menghancurkan industrinya. 

Tujuannya adalah mengubah pola pikir generasi selanjutnya menjadi lebih baik. Lantas, bagaimana generasi menjadi lebih baik jika ‘kalian’ terus meneriaki dan mentertawakan omelannya? Menyindirnya di status hingga ramai menertawakan beberapa hal tidak baik miliknya. 

Sedihnya, mengapa hal ini juga turut dijadikan ajang aji mumpung bagi penulis lain? Berlagak cara mereka lebih sopan dan baik. Kenapa demikian? 

“Aku heran kenapa manusia suka bergosip? Bukankah kita semua memiliki cela pada diri masing-masing?” -Fey: Nebula-Tere Liye. 

Pertanyaannya, apakah industri buku bajakan akan mati? Jawabannya tentu tidak. 

Tapi, Mungkinkah generasi selanjutnya akan lebih baik? 

Jawabannya ada pada diri kalian sendiri. 🙂

Nb: Aku bukanlah fans mati Tere Liye. Banyak beberapa penulis indonesia yang juga aku sukai. Akan tetapi, aku selalu berusaha untuk mengapresiasi langkah keberanian. Sejauh itu benar, Kenapa tidak? 

Kalian juga boleh saja menghakimiku karena pernah membeli buku dan barang bajakan. Kalian tau? Semua manusia pernah melalui masa ‘goblok’nya masing2. Dan iya, aku pernah ‘goblok’. Tapi satu hal yang penting. Apakah lantas kita membenarkan kegoblokan itu? Dalam hidupku ada 3 orang yang pernah memakiku ‘bodoh’ dan ‘goblok’. Tiga orang itu, adalah orang yang paling aku sayangi sekarang. Kalimat kemarahan adalah sebuah batas merah yang tanpa sadar menciptakan tombol ‘warning’ dalam hati kita. Maka, peluklah rasa marah itu. 

IBX598B146B8E64A