Browsed by
Category: Self Improvement

Mengontrol Rasa Takut dalam Hidup

Mengontrol Rasa Takut dalam Hidup

Pernah gak kalian merasa bahwa hidup itu kadang menakutkan?

Bahwa ketidaktahuan kita akan masa depan kadang membuat ekspektasi menjadi sedikit berkurang atau bahkan hilang begitu saja.

Belum lagi ketika kita dibayang-bayangi oleh kesuksesan orang lain, kita kadang merasa kelelahan yang kita jalani seakan jalan ditempat saja tanpa hasil apa-apa. 

Keadaan demikianlah yang membuat kita takut dalam melangkah. Karena sudah sekian banyak ‘gagal’ yang dilalui. Karena sudah begitu banyak kewaspadaan yang muncul dari mana-mana.

Sehingga rasanya sulit sekali untuk melangkah.. Karena takut, proses yang kita lalui tak menghasilkan apa-apa.

Mengontrol Takut dimulai dari Konsisten Berproses tanpa Peduli Hasil pada Target

Kalau diingat lagi, tentang siapakah aku dahulu. Mungkin, orang-orang akan mengenalku sebagai Aswinda yang penakut. Takut tampil, takut mencoba bahkan takut mengadu jika ada yang melakukan hal salah padaku. Karena rasa takut, aku jadi sering dimanfaatkan oleh teman-teman masa kecilku. Dijadikan bahan bully dan dimanfaatkan untuk hal yang tak semestinya. Yah, setidaknya itu berlangsung selama 6 tahun.

Beda cerita ketika aku menginjakkan kaki di sekolah baru. Mengenal teman-teman baru yang ternyata memiliki sekian banyak kemiripan denganku. Rasa takut itu memudar perlahan. Digantikan oleh rasa nyaman dan merasa senasib sepenanggungan. Aku tak akan melupakan hari-hari dimana aku merasa nyaman dalam berbagi. Aku tak akan melupakan teman-teman terbaikku yang selalu membersamaiku dalam berproses.

***

Dan sejak menjadi Ibu, teman terbaikku digantikan oleh sosok mungil itu. Pica, anak pertamaku. Orang berkata aku begitu beruntung. Karena langsung hamil dan memiliki anak begitu menikah. Namun, jika boleh jujur.. Saat itu aku merasa…

Tertinggal..

Teman terbaikku Pica, anak pertamaku adalah sosok yang membuatku sempat merasa ‘tertinggal’… (Maaf ya nak.. Inilah yang Mama rasakan dahulu..)

Segala target di depan mata lenyap seketika. Segala pencapaian yang ada dahulu tak terasa berharga lagi. Belum lagi sekian banyak saran dari orang lain yang mengatakan seorang Ibu harus mandiri finansial. Rasanya, lembaran hidup baru itu rusak seketika.

***

Singkat cerita, siapa sangka Pica telah membuatku menjadi diriku yang lebih baik. Dari Pica, aku belajar banyak hal. Bahwa dalam kehidupan, target hanyalah gambaran impian yang ditulis di secarik kertas. Selebihnya, proses dan persistenlah yang membentuk ‘Positif Habbit’.

“Target hanyalah gambaran impian yang ditulis di secarik kertas. Selebihnya, proses dan persistenlah yang membentuk ‘Positif Habbit”

Aswinda Utari

Dari Pica, aku belajar tentang cara menghemat anggaran bulanan. Aku belajar arti syukur dari sedikit yang aku punya. Dari Pica, aku belajar untuk bangun lebih pagi dan bekerja keras mencukupi cinta pada dapur sumur keluargaku. Dari Pica, aku mengenal apa arti ‘berproses’ walau sulit mencapai ‘target’.

Manusia boleh jadi mengukir targetnya dalam hidup. Namun tahukah? Rencana dan hasil dari Allah selalu lebih ‘indah’.

Menghadapi Ketakutan dengan Belajar tentang Hal yang Kita takuti

Singkat cerita, petualangan ‘prosesku’ telah membawaku pada posisi Direktur dalam perusahaan IT kami. Yup, perusahaan IT keluarga kami yang sudah berjalan 8 tahun. Pica adalah awal dari semangat itu.

Jika kalian bertanya padaku.. Apa hal yang paling aku takuti dalam hidup maka jawabannya adalah ‘Aku takut sekali miskin mendadak’. Karena itu aku dan suami merintis bisnis. Dan karena itu pula keluarga kami selalu memiliki tabungan dan dana darurat. Aku pernah merasakan betapa tidak nyamannya tak punya uang. Jadi, aku tak mau anakku merasakan hal yang sama. 

Dalam perusahaan ini, aku bukanlah orang yang paham mengenai dunia IT. Tapi, aku punya ilmu akuntansi dan manajemen. Sejak dulu, aku selalu tertarik dengan dunia investasi. Namun, tak pernah berani berinvestasi pada instrument highrisk. Aku hanya mengenal obligasi syariah (sukuk), emas, dan RDPU. Sesuatu yang aman dan pasti. Profilku sendiri adalah investor yang ‘konservatif’. Tapi, sejak dipercayakan untuk memanagemen keuangan.. Aku mulai belajar hal yang aku takuti, yaitu saham.

Dalam 3 bulan ini aku belajar dan mulai paham tentang selak beluk saham. Mulai memberanikan diri investasi pada reksadana saham. Memahami rotasi sektoral. Sudah berhadapan dengan ‘kerugian’. Segala pembelajaran dan pengalaman ini membuat rasa takutku terpacu untuk terus belajar lebih baik lagi. 

“Positif Habbit memunculkan keberanian, dan langkah bijak dari buah keberanian adalah belajar menghadapi ketakutan.”

Aswinda Utari

Meminimalisir Ketakutan dengan Memberikan Reward dan Rasa Aman

Setiap belajar investasi, belajar mengembangkan bisnis..  berproses pada setiap langkah.. Ada satu hal yang rutin kami (aku dan suami) lakukan setiap bulan. Yaitu membeli ‘something spark joy’s

Sebagai pasangan, kami meyakini setiap langkah dan usaha yang kami lakukan patut dihargai baik itu berupa material maupun non material. Dulu, kami hanya memberikan reward berupa nonton netfilx bersama hingga memasak bersama. Sekarang, kami mulai mencoba hal yang sedikit berbeda.

Suami mulai menjelajah dunia parfum, sedangkan aku mulai memanjakan diri dengan skincare dan lingerie. Dulu, skincareku sangat amat basic sekali. Toner dan pelembab pun cukup.. sunscreen pun tak begitu rutin. Sekarang sudah menjelajah ke berbagai serum, essense, dan mencoba ini itu. Mengoleksi skincare dan lingerie adalah wujud hal yang aku lakukan untuk memberikan reward pada diri sendiri.

Entah kenapa, setiap memberikan reward pada diri sendiri rasanya senang lantas kemudian berani melakukan hal yang tak biasa dilakukan: menghadapi ketakutan level berikutnya.

Bagiku rasa senang bagaikan sebuah senjata, belajar adalah pelurunya. Dan ada satu hal yang aku butuhkan lagi untuk menghadapi ketakutan. Kalian tau apa itu? Namanya adalah perisai pelindung agar hatiku selalu merasa aman setiap berhadapan dengan ketakutan

Aswinda Utari

Aku sudah bercerita bahwa ketakutanku adalah pada saham bukan? Investasi yang begitu high-risk dimataku. Maka, untuk memberikan rasa aman aku tak mau memasukkan semua uangku disana. Aku lebih memilih memasukkan 50% dana daruratku pada tabungan dan 50% sisanya pada RDPU. Selebihnya, untuk tujuan jangka menengah aku memilih instrumen RDPT atau sukuk. Bagiku, untuk belajar sesuatu yang high-risk sangat diperlukan management rasa aman. 

Well, cerita tentang mengontrol rasa takut ini awalnya ingin aku tunjukkan tentang pengalamanku bersama Pica. Pada akhirnya dalam penulisannya aku malah banyak bercerita tentang diriku sendiri dan management keuangan..dasar.. wkwk

Mengontrol Rasa Takut pada Anak Sejak Dini

Aku sedikit menyesal kenapa rasa takutku dulu tidak terkontrol dengan baik sehingga aku berakhir menjadi sosok yang pemalu dan takut mencoba hingga besar. Satu hal yang pasti, aku tak mau Pica dan Humaira menjadi sepertiku. Dari pengalamanku diatas setidaknya ada 3 hal yang bisa aku praktikkan dalam parentingku bersama anak.

Pertama, dengan mengontrol takut dimulai dari berproses tanpa peduli hasil pada target. Aku percaya bahwa mengontrol takut tak melulu dimulai dari ambisi pada Terget. Tapi dimulai dari membangun proses pada habit positif. Misal, aku tau saat Pica mulai tak nyaman dengan pelajaran matematika bahkan mulai gugup dengan ulangannya. Maka, aku belajar untuk ‘legowo’ jika hasil ulangannya tidak setinggi target yang diharapkan. Yang penting adalah Pica belajar tekun matematika dan paham dengan logikanya tanpa perlu merasa takut.

Kedua, dengan memberikan reward plus rasa aman dalam berproses menghadapi ketakutan. Jujur, aku termasuk orang tua yang memberikan reward pada anak kalau ia punya pencapaian. Sekecil apapun. Tentunya dengan reward yang juga ‘sepadan’. Misalnya ketika dia dapat nilai bagus pada ulangan, aku memberinya hadiah es krim atau yogurt kesukaannya. 

Adapun rasa aman yang coba aku berikan pada anak saat dia menghadapi ketakutan adalah dengan berkata bahwa tak semua hal harus sempurna. Dalam belajar misal, aku tau Pica lemah pada pelajaran Matematika. Maka aku menyuruh dia untuk meningkatkan hobi yang dia benar-benar suka. Menceritakan padanya fakta kehidupan. Bahwa hobi yang ditekuni dengan telaten bisa menjadi mata pencaharian kelak. Sedini mungkin, konsep belajar survive harus mulai diajarkan pada anak. Itulah keyaninanku dalam manajemen risiko atau rasa takut.

Nah, kalau parent lain gimana? Punya ide lain dalam mengontrol rasa takut? Baik pada diri sendiri maupun pada anak? Sharing denganku yuk!

Bekas Luka Yang Tak Bisa Hilang

Bekas Luka Yang Tak Bisa Hilang

Sebenarnya, aku ingin sekali membuang bekas-bekas luka yang ada.

Mengobatinya, mengolesnya dengan setumpuk krim.

Bahkan menutupinya dengan concealer dan foundation sebanyak mungkin.

Tapi ternyata, hal itu tak dapat mengubah apapun.

Yang luka tetaplah berbekas,

Aku benci dengan bekas, karena itu mengingatkanku pada masa lalu.

Aku benci dengan masa lalu yang buruk. 

Penyebab Bekas Luka yang Selalu Ada

Ada orang-orang yang membuatku selalu merasa iri. Bukan mereka yang punya segala. Punya kekuasaan hingga punya kepintaran setinggi langit. 

Mereka yang selalu membuatku iri adalah mereka yang dapat tertawa dan move on begitu saja ketika luka demi luka datang. Bahkan, mereka tak pernah mencerna dua kali tentang maksud perkataan seseorang yang mungkin menyakitkan. Mereka fokus ke depan. Fokus pada tujuan hidupnya sendiri. Fokus untuk berusaha lebih baik dalam menjalani hidup.

Sungguh, aku iri sekali dengan orang-orang tahan banting sedemikian. Kalau boleh bertukar, aku ingin sekali menukar hatiku yang seperti kaca ini dengan hati yang sedemikian. 

Namun, semakin aku kenal dengan karakter orang-orang yang ‘kuat’ aku semakin sadar bahwa dibalik kekuatan itu ada luka yang mereka sembunyikan dengan baik. Hingga aku sendiri pun tak sadar bahwa mereka punya luka. Luka-luka demikianlah yang membuat mereka tumbuh dengan baik. Salutnya diriku, bagaimana bisa orang-orang ini tak memiliki ‘bekas’ pada lukanya sendiri.

Namun kemudian, aku teringat kata-kata ini..

“Jikapun kamu sudah berusaha menghilangkan bekas luka dengan sebaik mungkin.. Maka mungkin bukan usahamu yang kurang. Namun, kemampuan regenerasi kita memang berbeda. Seperti halnya kulit. Kamu lihat kan seminggu yang lalu wajahku berjerawat besar. Seminggu kemudian jerawat itu mengecil. Minggu berikutnya, bekasnya hilang total. Tapi ketika si Anu berjerawat, beda cerita. Mungkin akan bertahun-tahun baru bisa hilang. Begitupun kamu. Kamu punya kemampuan dan latar belakang yang berbeda. Dan itu tak apa.” – Someone

Bekas Luka adalah Sebuah Ruang Untuk Belajar

Sebelum menonton Harry Potter, anak yang terkenal dengan bekas lukanya.. Aku memiliki tanda serupa di lengan kananku. Persis sama bentuknya seperti Harry Potter. Mama menyebutnya sebagai tanda lahir. Sedangkan imajinasi liarku berkata, bahwa itu adalah bekas luka dari kehidupanku sebelum dilahirkan.

Well, FYI aku tidak percaya dengan reinkarnasi. Haha..  Tapi, aku mempercayai bahwa ruh itu mengalami beberapa urutan fase di dunia atas sana sebelum ia ada pada tubuh yang sekarang. Imajinasi liarku berkata bahwa setiap manusia yang lahir memiliki tanda mungkin mengalami untold story di alam ruh yang tidak pernah bisa ia ingat.

Oke abaikan kehaluanku. 

Tapi sebenarnya hal yang ingin kuceritakan adalah.. Mungkin, dalam kehidupan ini ada beberapa kejadian menyakitkan yang begitu membekas dalam diri kita. Baik ingatan menyakitkan, mengharukan, menyenangkan dan membahagiakan. Ingatan itulah yang membentuk karakter emosi kita. Senang, sedih, takut, marah, excited. Setiap emosi mengandung memorinya masing-masing. Emosi senang kadarnya akan banyak ketika diisi dengan kenangan menyenangkan. Excited akan sering terjadi ketika kadarnya diisi oleh memori tentang betapa serunya mencoba dan mencoba. Sedih pun demikian, kadarnya akan banyak ketika begitu penuh kenangan menyakitkan yang pernah terjadi. Begitupun marah dan takut. Kadar dan kontrol akan emosi kita berada pada apa dan bagaimana pengalaman yang terjadi pada kehidupan kita. Apakah kebanyakan emosi itu kita pendam, kita keluarkan dengan baik, atau kita biarkan saja ia keluar tanpa terkontrol.

Pemendaman emosi inilah yang mungkin menyebabkan luka yang membekas. Bisa jadi, masa lalu kita begitu kelam dan tak pernah memiliki keberdayaan untuk sekedar mengeluarkannya dengan baik. Kita sadar hal yang kita alami itu ‘tidak nyaman’ namun kita membiarkannya demi relasi yang baik-baik saja. 

Time flies dan akhirnya kita menyadari luka itu membuat orang sekitar kita merasakan ketidaknyamanan atas emosi yang meledak. Maka, kita pun berusaha menyembuhkannya. Lama dan sangat lama prosesnya. Akhirnya luka itu sembuh dan membekas. 

Dulu, aku bersikeras menghilangkan bekas luka itu karena sangat menyebalkan.

Lambat laun, aku mulai bersahabat melihatnya. 

Bekas luka adalah ruang untuk belajar. Bahwa apa yang terjadi di masa lalu memang ‘harus’ selalu diingat namun tidak dilepaskan dengan membalas. Bekas luka adalah pengingat bahwa diri kita adalah pemutus rantai ketidaknyamanan dengan tidak melakukan hal yang sama.

Manusia Selalu Punya Pilihan

Emosi mungkin bisa lepas tak terkendali, tapi sejatinya manusia selalu punya pilihan atas keputusan hidupnya. Ingin membiarkan bekas luka itu memimpin dan mengontrol hidup atau menutupi dan membiarkannya begitu saja.

Tapi mungkin ada pilihan yang lebih baik dibanding itu. Yaitu membiarkan bekasnya. Memahami bahwa tak semua bekas luka bisa tertutup sempurna. Tapi setidaknya kita memiliki pilihan untuk tetap tersenyum. Pemahaman bahwa emosi berlebihan mungkin melegakan, tapi itu tak bisa mengubah apapun.

Aku belajar banyak dari anakku Humaira. Saat melihat gigi ompongnya yang terbilang cukup ‘dini’ aku paham bahwa kadang kita tak pernah punya kontrol akan luka kita sendiri. Luka menganga dan membekas. Tapi kita selalu punya pilihan untuk tertawa dan tersenyum apapun yang telah terjadi. Semua akan baik-baik saja. Ditahan ataupun dilepaskan. Tak akan mengubah apapun yang ingin berpikir buruk tentang kita.

Filosofi Topeng Pada Pola Parenting 

Hingga sekarang rasanya sering menyesal jika mengingat kadang.. sering sekali lepas kendali dalam memarahi anak-anakku. Bekas luka yang tak hilang sering kali menjadi pemicunya. Padahal kalau diingat, sering kali berucap pada diri sendiri bahwa parenting adalah ‘seni berpura-pura menjadi baik’. Tapi kadang, ah.. hanya sekedar teori 

Padahal kalau dipahami lagi, anak sekecil Pica dan Humaira paham apa tentang luka? Mereka hanya paham dunia mereka yang masih putih. Untuk apa aku sering memunculkan versi asli emosiku pada mereka? 

Jika pun ingin validasi tentang perasaan. Maka, suami adalah tempat sebaik-baiknya. Dialah pasangan hidup yang menyatakan siap menemani kita dan mendengarkan kita. Bukankah begitu?

Maka aku pun memutuskan untuk terus memasang topeng kebaikan pada anak-anakku. Mereka belum pantas mendapat luka di umur yang masih kecil. Mereka hanya pantas mendapatkan cinta dan kasih sayang. Topeng pun berlaku pada mereka yang tak perlu memahami diriku lebih dalam. Karena aku sudah paham apa akibat dari mengeluarkan emosi berlebihan tidak pada tempatnya. Itu membuat efek Boomerang pada diriku sendiri.

Pada akhirnya, sebagai manusia tak apa kok memiliki banyak topeng. Bukan tak punya karakter. Tak punya pendirian. Tapi kita sedang menjalani proses adaptasi. Adaptasi pada hati anak yang masih kecil dan polos. Adaptasi pada lingkungan sosial. 

Karena jika ingin memilih terbuka, pasanganmu adalah tempat sebaik-baiknya memeluk luka. Dan teruslah ingat.. Ada Allah. 

Squid Game Plus Fenomena Liat Orang Susah yang Bikin Bahagia

Squid Game Plus Fenomena Liat Orang Susah yang Bikin Bahagia

“Kamu suka banget sih nonton film kek gini? Apa gak serem gitu? Banyak darahnya kan? Liat thriller nya aja aku dah auto kabur ah..”

“Ah kamu gak tau, film begini tuh bikin hormon adrenalin yang awalnya terkubur jadi bangkit tau..”

“Hormon adrenalin apa hormon kebahagiaan sih? Kok kesannya semua yang nonton pada happy?”

Nonton Film Life and Death, Bikin Bahagia atau Menantang Hidup? 

Film life and death apa yang kamu tonton pertama kali? 

Well, beruntunglah kalau kalian baru berkenalan dengan film seperti Hunger Games. Kalian tau film hidup-mati apa yang aku tonton pertama kali? 

Judulnya SAW. Kalian bisa mencari detail film ini di google. Pertama kali aku menontonnya saat masih duduk di bangku SMA. SAW 1 yang alur ceritanya terbilang simple tapi moral story dan plot twisnya sukses bikin kepala berkata, “Wow, keren.”

Awalnya, tentu melihat film demikian membuat hati bergidik ngeri. Menggergaji kaki demi memutus borgol? Itu mengerikan. Tapi, kok ya banyak sekali yang penasaran dengan lanjutan film ini? Pun banyak sekali pendukungnya. Sehingga berlanjut hingga SAW 2,3,4,5 dan 6. Semakin lanjut serinya, semakin seram pula adegannya. 

Aku? Ya.. Aku menonton semuanya. Dari yang awalnya merasa ngilu, lalu lanjut dan merasa eh kok seru. Lama-lama, adegan darah-darah demikian terasa biasa saja. Bahkan setiap permainan life and deathnya benar-benar membuat penasaran. Apalagi, psikopat dibalik film SAW itu memang bukan psikopat biasa. Ia hanya menyiksa orang-orang ‘pilihan’. 

Saat SMA aku berteman dengan anak yang pendiam. Walau terlihat pendiam, dia suka sekali jenis film yang ‘berdarah-darah’. Film SAW hanyalah secuil film yang ia perlihatkan padaku. Masih banyak film yang lebih wow. Hmm.. Aku lupa sebagian judulnya. Seperti Kannibal, Wrong Turn, dll. Entah kenapa, saat menonton film dengannya aku jadi ikut terbawa seru. Padahal, aslinya aku takut sekali melihat adegan seram demikian. Aku pun akhirnya jadi suka film demikian sampai sekarang. 

***

Time flies, film-film bergendre mirip SAW pun bermunculan. Aku ingat film Only Invitation yang pernah sekilas kutonton di laptop kakakku. Film psikopat yang dikumpulkan untuk menonton para pemain game yang saling membunuh hingga dicari dan disiksa. Seram sekali. 

Kemudian, film lain pun bermunculan. Hunger games misalnya. Sebuah Insight yang mungkin akan menjadi ramalan masa depan tentang berubahnya sifat manusia dan jenjang diferensiasi sosial. Film-film menantang lainnya pun bermunculan. Ada yang berwujud serial dan lain-lain. Ada yang membawa monster dalam cerita layaknya film Kingdom dan Sweet Home. Ada pula yang membawa unsur game untuk pertaruhan hidup dan mati seperti anime yang berjudul BTOOM. 

Tentu aku juga sudah menonton film Alice in the Border Line dan Squid Game yang sedang ramai dibicarakan itu. Disini, aku tidak akan menulis antara kedua film itu lebih bagus mana? Disini, aku hanya akan bertanya kepada pembaca.. 

Apa yang kalian rasakan saat menonton film-film itu? 

Apakah kalian merasakan hal sama dengan yang aku rasakan? Awalnya yang merasa ngeri, lalu perlahan memicu rasa penasaran dan hmm.. Adegan yang awalnya terasa tidak pantas, menjadi hal yang biasa saja. Bahkan, kok rasanya seru ya melihat hal-hal demikian? 

Aku sering loh bertanya-tanya pada hatiku sendiri. Apakah menonton film demikian membuat aku merasa tertantang, penasaran, atau mirisnya.. Apakah aku bahagia menonton film demikian? 

Well, mungkin terdengar lebay. Seperti, “eh win, jangan dianggap serius kali. Ini kan hanya film.. Bla bla.. “

Ya aku pun merasa demikian sih. Kan namanya juga film. 

Just for fun laah. 

Tapi, seketika inspirasiku meledak setelah menonton ending dari film Squid Game. 

Lucunya, ending tersebut seperti berhubungan dengan tulisan yang baru minggu kemarin aku tulis. Tentang kenapa sih semakin kita dewasa semakin sulit untuk bahagia

Sulit Bahagia? Lihat Orang Lain yang Lagi Susah Aja

“Kamu tidak tau rasanya. Kau pikir hanya orang miskin sepertimu yang merasa tidak bahagia? Kami, para orang yang sudah memiliki segalanya juga sering merasa tidak bahagia. Merasa hampa karena tidak ada hal yang menyenangkan lagi. Karena itulah game ini dibuat.. Aku ingin merasakan kesenangan lagi.”

Kakek 001

Yaa.. Itulah kata-kata terakhir seorang kakek-kakek yang sakit-sakitan dan peserta Squid Game nomor 001 yang ternyata juga Sang founder Squid Game. Sumpah, kalau aku menjadi Gi-Hun pastinya sih menyesal sekali karena berempati pada orang yang salah. 

Lalu, hati polos ini seketika ingin mencela. Ya ampun udah tua kenapa juga sii musti macem-macem? Simple loh padahal kalau ingin menciptakan kesenangan itu.. Kita cukup.. Hmmm.. Apa ya.. Kok ruwet.. Konon bahagia itu sederhana.. *hei kakek, apakah kamu tidak punya cucu nan menggemaskan? 😂

Yaa, kata siapa bahagia sederhana? 

Semakin dewasa.. Semakin susah bukan mencari makna bahagia? Karena itu memang sudah rumusnya dari Tuhan. Kalau ketika dewasa, kita tidak bisa memakai jurus yang sama ketika masih kecil dulu.

Memangnya, apa sih jurus bahagia ketika masih kecil? Kenapa ketika dewasa jurusnya harus berbeda? Kenapa ketika dewasa susah sekali bersyukur? 

Well, sadar gak sih kadang kita itu sering salah dalam mendefinisikan syukur? 

Misalnya saja, ketika seorang anak tidak menghabiskan makanannya. Sang Ibu sering kali berkata begini, “Kamu itu harusnya bersyukur masih bisa makan, diluar sana.. Banyak sekali yang tidak bisa makan sampai busung lapar. Coba lihat Foto-foto anak afrika ini..”

Pertanyaanku, apakah sebenarnya yang dirasakan oleh anak tersebut ketika melihat foto-foto menggenaskan tersebut? Apakah muncul rasa empati? Atau malah begini.. 

“Iya ya, syukurlah masih banyak yang hidupnya lebih susah dari pada aku. Syukurlah hidupku masih enak dibanding orang dibawahku..Syukurlah aku masih LEBIH. “

Pada akhirnya, anak suka sekali melihat kebawah untuk bisa merasakan syukur. Merasa hidupnya nyaman dsb. Kalian mengerti maksudku? Bagaimana kira-kira ending dari perasaan demikian? 

Tanpa ada rasa untuk ikut membantu orang yang susah, kadang rasa empati sering kali meleset sasaran.

Dari yang seharusnya empati, menjadi senang melihat orang lain susah. 

“Orang yang lebih susah dari aku banyak, maka aku harus bersyukur..” (Sambil melihat orang mengais sampah dan anak terlantar di jalan) 

“Kok hidupku flat? Bentar, lihat orang yang di bawahku aja.” (Sambil melihat orang yang hidupnya stuck, pekerjaannya sulit, punya banyak hutang) 

“Kok hidupku gak menyenangkan lagi sih? Kok permainan yang dulu aku mainkan di masa kecil gak seru lagi sih? Gimana kalau orang yang susah ini, aku bikin hidupnya jadi kayak game. Pasti bakal seru..”

Dan, terciptalah skema film seperti Squid Game, Only Invitation hingga Hunger Game. 

Menurutku, film-film ini adalah sebuah ramalan tentang psikologis manusia di masa depan. Bukan hal mustahil manusia bisa begitu di masa depan kan? Karena saking ‘kosong’nya rasa, mereka yang berada diatas mencari sensasi berbeda dalam mendefinisikan apa itu tantangan dan apa itu bahagia. 

Film Life and Death, dari awal kemunculan SAW yang sifatnya membenarkan rasa dendam berubah menjadi adanya perasaan senang ketika melihat penderitaan orang lain

Ternyata, senang ya melihat orang kesusahan itu. 

Belajar Senang Melihat Kesenangan Orang Lain

Dari 2 minggu tak membuka sosmed, aku sering merenung dan melamun sendiri. Sebenarnya, aku ini kenapa ya? Kenapa kadang, melihat kesenangan orang lain di sosial media bisa mengikis rasa bahagiaku? Bukankah sosial media itu memang diciptakan untuk eksistensi diri? Bukan seperti Dementor yang memang diciptakan untuk menghisap kebahagiaan? 

Lalu sebenarnya, siapa Dementor yang telah mengikis kebahagiaan antara aku dan sosial media? Apakah orang yang aku follow atau hatiku sendiri? 

Aku akhirnya sadar bahwa, sosial media adalah salah satu tempat untuk belajar menata hati. Tentang belajar senang melihat kesenangan orang lain. 

Belakangan, ada simpul senyum yang muncul di wajahku ketika melihat salah satu akun. Akun yang selalu sharing tentang berbagi kepada orang-orang yang dibawah. Bagi sebagian orang, hal seperti ini mungkin tidak pantas dipertontonkan. Karena aduh, kok suka sekali riya? Begitu bukan? Atau wah, orang miskin sakit hati kalau kesusahan mereka difoto-foto. 

Tapi disisi lain, bagi orang yang telah kehilangan rasa empati sepertiku.. Melihat orang yang awalnya susah menjadi tersenyum itu kebahagiaan tersendiri. Aku sulit merasakan bahagianya orang-orang yang memang dari lahir punya semacam privilege besar. Tapi ketika orang susah menjadi bahagia, ada rasa yang berbeda disana. Semacam perasaan yang senang karena telah membantu orang lain. Padahal, toh bukan aku yang membantu saat itu. Tapi, akun tersebut menginspirasiku untuk melakukan hal serupa. 

Level mencoba mengerti arti kebahagiaan milikku masih sampai disitu. Sedikit sekali. Tapi, aku bertekad supaya menjauhi sifat layaknya kakek-kakek pada film Squid Game. Aku tidak mau ketika sudah tua menjadi sepertinya atau para anggota VIP. Mencari kebahagiaan dari kesenangan melihat kesusahan orang. Atau yang sering terlihat belakangan pada level rendahnya adalah.. Senang ketika ada buah bibir yang layak digosipkan untuk direndahkan. Ah, sedih sekali kalau ketika menjadi tua dan kehilangan gairah hidup.. Pikiran jadi seperti itu. Hiks. 

Aku pun belajar mengenal batasan dalam level bahagia. Untuk makhluk sepertiku yang masih ‘belajar’ tak sepatutnya memang aku menengadah ke atas untuk menemukan syukur. Kepo pada instagram para artis misalnya. Itu belum menolongku untuk merasakan kebahagiaan mereka. Justru, aku menjadi cenderung ingin meniru. Dan aku sadar itu tidak bagus untukku. 

Ada batas bahagia antara memutuskan menengadah keatas atau menunduk kebawah. Ketika menengadah, janganlah terbawa serakah. Ketika menunduk, janganlah merasa tinggi dan bisa berbuat sesukanya. 

Hal-hal demikian tentu sudah sering bukan kita dengarkan pada ceramah agama? Tapi, kita akan mendapatkan ‘rasa’nya ketika benar-benar mengalaminya atau simplenya.. Menonton film yang berhubungan dengan itu. 

So, big thanks buat kakek 001 yang benar-benar mengingatkanku akan pentingnya gairah hidup yang benar. Yaitu dengan mencoba mencari makna dan merenung dengan kebalikan dari pandangannya. 

Kadang, film itu menginspirasi bukan? So nonton film life and death? Kenapa Enggak? 🙃

Comfort Zone dan Genjutsu Kehidupan

Comfort Zone dan Genjutsu Kehidupan

“Eh idup aku tuh kok gini-gini aja yee akhir-akhir ini.. Kagak ada seru-serunya.”

“Harusnya saat begini tuh dibawa bersyukur. Syukur banget hari gini masih bisa hidup enak. Lagian mau hidup yang bagaimana sih?”

“Gimana ya.. Ngerasa gak? Semakin besar tuh kayaknya idup semakin susah ya untuk bahagia. Padahal, waktu kecil tuh kayaknya gampang banget bahagia”

“Tuh liat Humaira.. Ketemu gelembung sabun aja norak. Liat badut di jalan norak. Ketawa ketawa sendiri.”

“Lah aku nonton drakor marathon 12 episode.. Ngantuk iya. Happy? Entahlah..”

Comfort Zone: Kenyamanan orang dewasa yang kadang gak bikin bahagia

Kapan hidup kamu masuk dalam kategori comfort zone

Yaitu saat episode dalam hidup kamu lempeng. Gak ada misi seru. Semuanya serba berkecukupan. Tidak ada aktivitas ‘terpaksa’ yang membuatmu kerja keras untuk survive. Hal yang dikerjakan sehari-hari hanyalah aktivitas monoton. Yang mana, aktivitas tersebut begitu menyenangkan dilakukan saat kecil. Tetapi saat dewasa, aktivitas tersebut terasa hambar. 

Sebutlah contohnya menonton Tom and Jerry. Sewaktu kecil, aduh.. Senang sekali. Ketika sudah besar? Tertawa pun tidak. 

Sewaktu kecil, moment ketika berhasil menaiki sepeda roda 2 itu adalah pencapaian luar biasa. Ketika sudah besar, berkeliling komplek menaiki sepeda terasa hambar dan biasa saja. Diupgradelah kesenangan itu dengan cara yang lain. Membeli sepeda baru, membeli kostum yang bagus.. Dll dsb.. Rasanya? Tidak sebahagia sewaktu kecil. 

Kenapa? Kenapa ya? 

***

Dalam dunia game, ada 2 cara untuk meningkatkan experience dan bisa naik level. 

Yang pertama adalah melakukan misi yang mudah setiap hari. Misi level 1-5, berulang kali. Walaupun secara fisik tubuh kita sudah tumbuh ke level 20. Bukan tidak mungkin kita bisa naik level ke 21 dengan mengerjakan level 1-5 setiap hari. 

Yang kedua adalah melakukan misi spesial, hingga ujian kelulusan spesial. Yang mana, jika misi ini selesai dilakukan maka kita akan mendapatkan level yang naik secara instan. Bahkan, mungkin saja mendapatkan berbagai gift dan scroll kebahagiaan. Experience kita bertambah banyak seperti melakukan 100-300x misi level 1-5. Padahal, itu hanyalah melakukan satu misi spesial. 

Kadang, dunia nyata yang kita jalani bekerja mirip dengan dunia game. Ketika kita memutuskan memberikan rasa nyaman dengan berada di level yang sama. Maka, ada satu hal yang terasa berbeda. Happiness feel so empty. 

*abaikan gambarnya yang super jelek.. Haha
FYI, gambar ini aku buat bersama dengan Humaira. Sekedar untuk mengenalkannya pada warna. Lalu, suamiku memperlihatkanku pada gambar tentang happiness yang dia temukan di facebook. Entahlah, gambar siapa itu, aku ingin mencarinya lagi tapi tidak ketemu. Makna gambarnya dalem sekali. Jadilah gambar tidak karuan ini aku wakilkan untuk dijadikan konten dari pengembangan gambar yang aku lihat. Pliss, jangan sakit mata melihatnya.. 😂

Well, aku sedang berada ditahap itu. Sebulan ini jujur aku merasa tidak begitu produktif. Seperti berada pada level yang itu-itu saja. Aku konsisten melakukannya tapi semakin sering itu dilakukan. Ada rasa bosan dan berpikir, “Kok begini-begini saja ya pekerjaanku?”

Menjadi Ibu bukanlah peran yang mudah. Saat single dulu, level yang aku mainkan mungkin hanyalah untuk diriku sendiri. Imajinasikanlah sebagai pemain solo. Nah, ketika sudah berkeluarga. Kekuatan ego sedikit banyak sudah dikurangi. Kekuatan yang dulu pernah diasahpun sudah berubah haluan ke mode healing. Pun juga, saat memiliki anak.. Mau tidak mau.. Aku yang pernah berada dilevel 20 kembali turun gunung untuk mengulang level 1. 

Membersamai anak. Melupakan sejenak diriku yang pernah ada di level 20.

Ikut tertawa dan bahagia melihat perkembangan mereka. Dari yang selalu menangis hingga tertawa riang. Mereka menonton kartun, aku ikut nimbrung. Mereka request makanan macam-macam, aku jadi beralih menjadi suka memasak dan eh.. Kok jadi ikut-ikutan bahagia karena suka makan? 

Kata orang, menjadi ibu berarti siap untuk bertumbuh bersama. Tapi jujur saja, aku sempat loh berpikir. Hmm.. Aku ini tumbuh bersama atau turun level demi mengatur mode dewasa ke child mode? 😂

Awalnya sih bahagia. Bahagia banget. Tapi, semakin kesini aku sadar sekali. Bahwa, semakin sering pekerjaan level bawah dikerjakan. Maka, pekerjaan level atas menjadi terlupakan. 

Seperti aku yang malam itu kikuk membuka komputer setelah sekian lama. Mengatur blog, kaget dengan PV GA yang menurun dratis. Kaget, eh, kok aku gak bisa begini lagi? Eh ini kenapa? Eh, kok kok.. Bla bla.. 

Well, aku mengambil peran sebagai Ibu terlalu banyak. Stuck pada comfort zone dan mulai lupa dengan diriku lagi. Terlalu banyak berimajinasi karena sering marathon menonton film. Aku jadi lupa dengan dunia nyata dan misi yang seharusnya aku jalani. 

Aku seperti terkena genjutsu pada comfort zone. Hiks

Genjutsu Kehidupan: Malas Mengupgrade Diri Sendiri

… Terlena dengan kenyamanan dan stuck dengan pekerjaan level 1-5 yang kalau tidak dikerjakan kok bikin kepala pusing. 😅

Sebutlah itu pekerjaan domestik. Silahkan judge ketika aku mengatakan pekerjaan domestik adalah pekerjaan dengan level rendah. Kenyataannya memang demikian kok (bagiku.. Haha). Lempari saja aku batu, katakan kalau pekerjaan domestik adalah ladang pahala. Kenyataannya, pekerjaan domestik yang setumpuk itu menghalangiku untuk kembali ke level seharusnya. Semakin kesini, aku semakin paham kenapa banyak Ibu yang membutuhkan ART walau hanya di rumah saja. 

Banyak lomba blog bertebaran. Ketika ide muncul, ada saja pekerjaan rumah yang mengganggu. Padahal,akhir-akhir ini aku sedang semangat mengikuti lomba blog. Karena 2x berturut-turut menang. FYI, untuk pekerjaan rumah biasa jujur saja jam 7 pagi semua sudah selesai. Jadi, toh ngapain aku punya ART untuk membantu bersih-bersih rumah dan masak? Aku sudah (merasa) sangat cekatan untuk itu. *sombongnya kumat

Yang membuatku keteteran adalah anak. Biasanya, jam 8-9 aku sudah selesai membimbing anak pertamaku (Pica 8Y) untuk sekolah. Jam 9 aku sudah selesai mempersiapkan cemilan untuk 5 pegawai di rumah (sudah pernah bercerita kan? Keluarga kami punya bisnis IT di rumah). Jam 9.30-11 aku bersepeda membawa Humaira keluar. Pulang ke rumah, tugas Pica sudah selesai. Aku memasak untuk makan siang dan memeriksa tugas. Biasanya, masakan ini pun sudah 60% aku kerjakan di malam hari. Karena anak-anakku.. Aduh, lincah sekali. Terutama yang berusia 2 tahun itu. Anak perempuan yang hidupnya penuh drama karena saat di kandungan dulu, kerjaan mamaknya baper melulu. 😂

Well, sudah sekian kali aku berpikir untuk memiliki ART. Tapi keinginan itu kutahan lagi. Entahlah, aku merasa ART zaman sekarang tidak cekatan. Jikapun disuruh menjaga anak, ya memang itu saja pekerjaannya. Pun jika disuruh membersihkan rumah. Ya cuma itu saja. Sesungguhnya, aku lebih membutuhkan sekolah offline dibandingkan ART. Aku lebih membutuhkan berakhirnya pandemi lebih dari keinginan punya 5 ART sekalipun. Karena aku bermasalah pada sistem kepercayaan dan suuzhon. Entahlah, sulit menerima orang lain di rumah. Layaknya menerima persahabatan dan cinta. *meleber-leber curhatnya yee.. Kebiasaan. 

Nah, sifat demikianlah yang menyebabkan aku stuck pada level 1-5. Kebahagiaan yang mengisi rongga hidupku menjadi sulit diraih. Karena kuantitas pekerjaan yang tidak sebanding dengan kualitas umur. Dan aku tau aku tidak sendirian dalam hal ini. Yakin sekali bahwa banyak orang diluar sana yang senasib denganku bahkan jauh lebih buruk. Lantas, bagaimana cara mengatasinya? 

Keluarlah dari genjutsu. Hadapi kenyataan. Eh, dirimu bukan harus terkungkung disini saja! Itu adalah hal yang pertama dibenahi. 

Dirimu harus punya keseimbangan kehidupan. 

Waktu untuk anak

Waktu untuk pasangan

Waktu untuk sosial

Waktu untuk diri sendiri

Maka, sudah seminggu lamanya aku memutuskan untuk membuang waktu sosial yang biasanya. Ya, dulu aku menghabiskan dunia sosialku dengan interaksi di sosial media. Sekarang, aku tidak terlalu aktif di sosial media, sudah hampir 2 minggu lamanya. Apalagi menghabiskan waktu untuk kepo dengan berita terbaru. Pun membaca komentar netizen yang aneh-aneh. Aku sadar hal demikian merusak susunan otakku. Kalian tau aku lari kemana? 

Aku bersepeda ke rumah mertua. Haha. 

FYI, hubunganku dengan mertua tidak indah-indah banget. Tapi, juga tidak buruk-buruk banget. Disinilah aku mulai belajar menemukan diriku yang dulu lagi. Aku sadar dunia nyata tak tergantikan oleh sosial media. Ada sesuatu yang lebih disana. Entahlah apa itu.. Yang jelas, aku tetaplah seorang introvert. Tapi, aku sadar bahwa circle keluarga adalah circle yang harus aku pererat sekarang. 

Aku juga mulai memperbaiki kualitas dengan pasangan. Meniadakan rutinitas memasak malam adalah jalan ninjaku. Menggantinya dengan quality time saling memijat, menonton tv, saling curhat. Kami sudah terbiasa untuk makan malam apa adanya saja. Dan itu sangat membantu produktifitasku lagi. Aku mulai mencoba hal baru. Dari yang kemarin hanya membelikan Pica wacom untuk kesenangannya menggambar. Sekarang, aku memakainya untuk mengajari Humaira mewarnai dan memanfaatkannya menjadi konten receh begini. Well, she’s so happy! 

Misi level 20 seorang Ibu mungkin bukanlah misi yang besar. Ia hanya perlu kesadaran akan perlunya keseimbangan ruang.

“Jangan lupa ya diriku.. Teruslah bertumbuh dan pelihara dirimu sendiri. Karena tanpa dirimu yang baik, mereka tak akan jadi baik-baik saja.” 

*level 20? Yakin? Kamu saja sudah umur 30 tahun win. Haha.. (Ya ya, level hidupku lambat. Aku pernah kena genjutsu berkali-kali dan efek stun-nya. Lama sekali. Ada yang setahun, 2 tahun, sampai sekian tahun. Duh, parah memang) 

Bahagia Itu Gak Sederhana

Jika setelah membaca tulisan ini kalian berpikir bahwa bahagia itu sederhana. Maka, kalian salah. 

Bahagia itu, gak sederhana. 

((lalu dilempari batu))

Aduh, bahagia itu akan sederhana ketika kita sudah menemukan ‘rasanya’. Kalau langsung ketemu ‘happy’ tanpa sebelumnya merasakan ‘gagal’ atau ‘sakit’ maka bahagianya flat. 

Naik kepuncak gunung, makan mie instan di puncaknya. Kalian bisa bilang.. “Bahagia itu sederhana” Ya karena kalian udah capeeeek. 

Makan ikan asin dan nasi hangat di sawah. Kalian bisa bilang.. “Bahagia itu sederhana” Ya karena kalian udah capeek lari-lari di sawah atau ikut mencangkul. 

‘Hanya melihat senyummu’ lalu bilang “Bahagia itu sederhana” Ya karena sebelumnya kalian sedih kan liat dia sedih, manyun gak jelas. Atau kalian lagi cinta-cintanya sama dia. Kan ada rasanya? 

Bahkan, nabi saja bilang.. “Makanlah ketika lapar, berhentilah sebelum kenyang..”

Saking, merasakan bahagia itu ada ‘seninya’. Susah dulu, baru disembuhkan. Baru tau rasanya bahagia. 

Semakin dewasa, arti bahagia itu semakin gak sederhana. Karena Tuhan emang bikin bahagia kita gak sederhana kayak dulu lagi. 

“Bersama kesulitan ada kemudahan..”

Bersama.. Bukan setelah.. 

Betapa Tuhan itu sangat menguji kita untuk paham dengan apa arti dari rasa syukur. Syukur adalah rasa yang bisa menerima.. ketika kesulitan hadir, namun tetap bisa mencari kemudahan disela kesulitan. Kebahagiaan hadir berdampingan dengan kesulitan. Itulah kewajaran level bahagia yang terjadi dalam kehidupan manusia dewasa. 

Happiness look simple. But sometimes, being happy is not simple as when we were little. 

Bahagia itu gak sederhana. Keluarlah dari zona aman dan cari misi terbaru hidupmu. Semangat! 

Dari Insecure Hingga Congkak, Begini Caraku Menemukan Arti Dari Self Love

Dari Insecure Hingga Congkak, Begini Caraku Menemukan Arti Dari Self Love

“Kamu tuh kalo bikin status musti deh terkesan meninggikan diri sendiri.. Kita yang baca jadi terkesan rendah dimata kamu..”

Masih ingat aku salah satu japri dari teman satu komunitasku. Sejak itu, aku mulai banyak mengoreksi diri. Dimulai dari memfilter ulang orang-orang pilihan yang bisa membaca status privasiku. Hingga, memfilter perasaan diri sendiri. 

Kenapa sekarang aku terkesan tinggi? Kenapa aku jadi congkak? Bukannya dulu aku pernah merasa insecure parah

Niatku hanya ingin mencari selflove. 

Selflove karena aku merasa direndahkan oleh lingkunganku. 

Aku hanya ingin menghargai diriku. Tapi, kenapa jatuhnya jadi congkak? 

Congkak, Sebuah Rasa yang Timbul karena Insecure yang Diobati Secara Berlebihan

Dalam episode kehidupanku, jujur saja bisa dibilang 60% kiranya dipenuhi oleh rasa insecure. 

Kenapa?

Apakah aku insecure dari lahir? 

Tentu tydack

Perasaan insecure pertama yang muncul dalam hidupku adalah ketika aku menyadari bahwa tubuhku berbeda dari perempuan kebanyakan. 

Ya, aku sudah pernah bercerita disini bukan? Bahwa tubuhku berbulu. Bukan bulu halus lazim seperti perempuan kebanyakan. Bulu tangan dan kakiku terbilang tumbuh melebihi kelebatan dan kepanjangan pada umumnya. Rasa insecure pertama aku peroleh dari TK. Teman-temanku bilang bahwa aku mirip laki-laki. Wajahku pun terbilang dominan mirip ayahku. 

Ketika adik kembar laki-lakiku lahir lengkaplah sudah 4 anak mama. Aku adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga. Namun, karena keterbatasan ekonomi.. Mamaku sangat jarang membelikanku baju perempuan. Kebanyakan baju yang kupakai adalah baju laki-laki warisan kakakku. Rambutku pun pendek layaknya laki-laki. Aku sendiri tidak tau sebab kenapa mama jarang sekali mendandaniku layaknya anak perempuan sewaktu kecil. Dan itu mempengaruhi fase kecil hingga menjelang dewasa. Aku tumbuh tanpa mengerti arti perawatan dan fashion perempuan. Dan lingkunganku membullyku karena aku memang mirip dengan laki-laki. Padahal, aku sangat ingin dianggap anak perempuan yang cantik. 

Apakah aku pernah bercerita tentang cinta pertamaku? Hmm, aku lupa. Haha

Dulu, sewaktu SD aku suka sekali melihat salah satu guru laki-lakiku. Bagiku, beliau keren. Aku rasa sih perasaan itu lebih ke arah kagum dan simpatik. Tapi, rasa itu terhempas ketika beliau iseng bercanda padaku. 

“Wah, winda ini salah pake sabun kayaknya. Shampoo dipakai buat sabun ya? Jadi bulunya buanyak banget gini..”

Mungkin kalimatnya bercanda. But its really trully hurt me. 😭

Bayangkan, saat itu umurku masih 10 tahun. Dan aku nekat mengambil lakban di kantor ayahku lalu merekatkan lakban itu pada tangan dan kakiku. Melepasnya bersamaan dengan terangkatnya bulu-bulu kaki dan tanganku. Beberapa bagian berdarah. Tapi, bagiku itu kepuasan. Kepuasan untuk mengemis sebuah penerimaan esok harinya. 

Berharap ada yang memuji kulitku putih dan mulus. 

***

Kisah diatas hanyalah potongan kecil rasa insecure yang pernah aku dapatkan. Perasaan tidak cantik bagi seorang perempuan itu membekas. Membuat dirinya tidak berdaya hingga SMP dan SMA. Seberapapun banyak yang bilang kepadanya bahwa itu tidak apa-apa. Tapi, bagaimana ya? Kenapa aku selalu fokus pada orang yang mengejekku dibanding orang yang memujiku? 

Sebagai contoh saja, ketika SMP dan SMA ada saja kok laki-laki yang terkesan mengejarku. Memujiku cantik, ingin jadi pacar dll dsb. Tapi, kenapa ya rasanya hambar sekali. Tidak puas rasanya kalau belum dapat penerimaan dari orang yang mengejekku. Padahal, sewaktu SMA aku pernah memiliki sedikit rasa dengan orang yang naksir denganku. Tapi kenapa ya kok ada saja perasaan tidak pantas di dalam hati? Seperti takut kalau-kalau dia bisa menyakiti? Kenapa ya? 

Mama dan Ayahku sudah sering kali meninggikan hatiku. Bahwa aku tinggi dan cantik. Bahwa punya bulu itu adalah hal yang biasa. Mereka bahkan beberapa kali menyuruhku ikut kompetisi Nanang Galuh sewaktu SMA. Tapi aku tidak percaya diri. 

Sampai kemudian, kakakku masuk kuliah kedokteran. Dan aku? Huh, lulus PMDK dan SPMB saja tidak. Aku terdampar di Poliban, sebuah universitas negeri di banjarmasin namun tidak populer. Dengan jurusan yang tidak populer pula. Pernah mendengar D4 Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah? Oh belum pernah. Ya, disanalah aku kuliah. 

Kedua adik kembarku yang manis memiliki pencapaian tak kalah dari kakakku. Keduanya sering mendapatkan piala dari berbagai lomba. Dan lulus di kedokteran pula. Keduanya. 

Disitulah perasaan insecure mulai bersemi menjadi-jadi. Perasaan yang membuatku terasa kalah dan tak memiliki kelebihan untuk dibanggakan. 

Aku mencoba move on dengan Insecure yang belum terobati. 

***

Time flies.. 

Aku menikah karena telah bertemu dengan seseorang yang mengobati insecure yang kumiliki dari luar. Bersamanya, aku merasa cantik. Merasa bisa melakukan sesuatu. Dan ingin berkembang. 

Ya, kalau kebanyakan orang memiliki tujuan punya anak saat sudah menikah.. Kalau aku? Tujuanku menikah hanya ingin membuat diriku yang kuncup menjadi berbunga. Aku hanya ingin mengembangkan diri. Tapi.. 

Tapi anak itu lahir. Farisha, anak ajaib yang lahir meski kami mencoba mencegahnya. Dan, sejak Farisha lahir.. Rasa insecure yang kumiliki dari awal hingga akhir.. Kembali tumbuh dengan rasa yang tak pernah kusangka sebelumnya.. 

Aku menjadi Ibu. Dan Aku Insecure. Insecure tersakit yang pernah aku alami. 

“Kok gak kerja? Kan sudah capek-capek kuliah?”

“Kakaknya dokter, adeknya kuliah dokter. Dia cuma IRT..”

“Jaga anak sendirian aja di rumah stress.. Aku dong sambil kerja di luar jauh lebih capek”

“Anaknya kok gak mirip Ibu sama Bapaknya.”

“Kok anaknya sudah 2 tahun tapi Ibunya gak mau kerja?”

“Kok anaknya kurus?”

“Suaminya lucu sekali potongan rambutnya.. Apa istrinya gak perhatiin..”

“Baju istrinya bagus-bagus ya. Coba liat suaminya”

“Padahal mamanya kerja dan aktif organisasi. Kok anaknya (aku) begitu saja?”

Dst.. Dst.. 

Ketika aku menjadi Ibu. Aku bertemu pada perasaan insecure yang maha dahsyat. Sungguh lebih dahsyat dibanding insecure yang aku alami saat remaja. 

Kenapa sih orang suka sekali berpendapat pada kehidupan orang lain? 

Dan kenapa pula aku harus peduli? Kenapa ada perasaan ingin melawan dalam diriku. Perasaan ingin membuktikan diri. 

Aku lawan segala rasa insecure tersebut dengan rasa-rasa congkak dan sombong

Bagaimana? Bukannya aku hanya di rumah saja? 

Aku punya sosial media. Status di BBM adalah media congkak pertama yang aku miliki. 

Aku selalu memposting masakanku setiap hari. Segala-gala yang aku buat serba homemade. Juga selalu memposting kegiatan anakku. Jujur saja, tidak ada rasa sharing is caring saat itu. Yang aku inginkan hanyalah haus akan rasa pengakuan. Karena dalam kehidupan nyata.. Pencapaianku tidak diakui. 

Tidak ada yang bilang aku ibu hebat. Tidak ada yang bilang aku bekerja. Sekelilingku hanya tau aku ibu yang tak berdaya karena tak bekerja. Kerjaannya hanya tidur siang mungkin.. Yah, begitulah. 

Rasa insecure itu kadang sembuh dan kadang kumat lagi. Insecure yang parah pada kehadiran anak pertama pernah membuatku depresi dan perlahan berhasil diobati. Namun, pada kehamilan anak kedua. Perasaan insecure parah itu kembali lagi. 

“Perutnya kok kecil sekali”

“Kalau hamil tuh jangan begini, nanti begitu”

“Sudah USG? Apa? Perempuan lagi? Ya, kamu sih gak banyak makan daging..”

“Nanti makan daging banyak-banyak. Siapa tau lahirnya laki-laki..”

“Apa? Operasi lagi? Kamu sih gak mau melahirkan di bidan sini aja..”

“Padahal di rumah aja. Tapi mau nyari pembantu.”

Dst dst.. 

Dan perasaan congkak hingga ingin diakui pun kembali bersemi lagi. 

Aku selalu membuat pelampiasan melalui status-status WA yang aku atur secara privasi. Jika ada yang menyakitiku, aku akan menyakitinya kembali dengan menyumpahinya di status WA (yang tentunya tak terlihat olehnya, hanya aku dan tak sampai 10 orang yang tau). Lega rasanya. Disertai dengan sindiran-sindiran keras. Terutama sekali kalau ada yang menyakitiku dengan berkata aku tidak bisa mengatur uang. Aduh, 2,4 juta sebulan dalam keadaan hamil dan anak 1 dibilang boros. Ada saja yang bilang begitu. Saat itu, status-statusku dipenuhi oleh keinginan adanya pengakuan bahwa aku hemat. Diakui oleh siapa? Bukannya yang melihat privasi. 

Diakui oleh diriku yang sedang jatuh. Aku ingin melawan diriku yang sakit. Tapi lupa bahwa kalimat toxic tidak mengobati. Tidak menyembuhkan. Justru membuat hatiku menghitam. 

Aku suka posting foto masakan, nyinyir dengan para influencer yang suka belanja barang branded (ya kali, padahal mereka diendorse juga kan.. 🤣). Ya begitulah, namanya juga hatiku sedang tidak baik-baik saja. Sampai suatu ketika aku mencari gendongan untuk anakku kalau lahir. Lalu surprise dengan harganya yang mahal-mahal. Dan iya, dibikin status juga.. Benar-benar keadaan labil dan kurang iman.. 😂

Aku masih ingat menit-menit terakhir aku memutuskan hubungan dengan temanku tersebut. Yaitu, saat aku memutuskan bergabung dalam grup babywearing. Dan ingin kepo dengan harga gendongan yang reachable. Lucunya, menurutku yang saat itu masih newbie. Grup tersebut seperti bukan grup edukasi dan bagus untuk golongan ekonomi ke bawah. Karena isinya mostly dipenuhi oleh mamak-mamak pengoleksi gendongan mahal-mahal dan suka ganti-ganti motif. Hal yang tidak dipahami fungsinya oleh makhluk hemat sepertiku. 

Dan, diupdate status lagi pula.. Tanpa sadar bahwa salah seorang temanku penggila gendongan.. 🤣

Yah begitulah, keadaan sedang down. Insecure, tidak berdaya.. Mungkin juga kurang iman karena sholat tidak benar-benar khusyuk saat itu. Hati galau, merasa tidak ada yang membelai. *halahh..

Jari-jari setan membisikkan macam-macam dengan dalih ingin menyembuhkan diri. 

Dari winda yang insecure.. Menjadi winda yang congkak dan sombong. Pernah difase itu. Tak hanya sekali. Tapi berkali-kali. 

Mengobati Insecure dengan Menemukan Arti Selflove dan Menghapus Racun Congkak

Selalu ada hikmah dalam setiap kejadian. Seperti kasus temanku diatas dan diriku. Dari kritik tersebut aku langsung meminta maaf dan sungguh.. aku sih ingin menjelaskan panjang kali lebar kenapa aku sampai begitu. Tapi entah kenapa jariku enggan mengutarakan. Kalian liat sendiri kan? Begitu panjang diriku kalau sudah bercerita. Dan iya kalau dibaca pakai hati dan dihayati. Kalau cuma fokus di kalimat jelek aja gimana? Wkwk.. Suuzhon emang anaknya.. 

Jujurly, aku tak pernah sih merasa sebersalah itu dalam hidup. Ya karena emang salah makanya bersalah banget. Sakitnya, ketika minta maaf teman tersebut malah mengorek-ngorek curhatanku. Membawa nama Tuhan untuk menyakiti. Membawa nama suami untuk menghakimi bahwa aku maha salah atas segalanya. Aku tak ambil langkah panjang saat itu. Aku kembali menuliskan kata maaf dan memblokir. Cukup untuk mengobati hati. Berdoa semoga dia tidak merasakan apa yang aku rasakan saat itu. 

Aku pernah berada dititik curhat karena tak punya pendukung di dunia nyata. Dan jika dunia maya juga menghakimi.. Apalagi status itu privasi, ya bagaimana ya.. Mungkin kiranya aku sudah salah menganggapnya sebagai salah seorang closed friends. Aku saja yang kegeeran merasa dia baik. Karena sungguh, jika teman benar-benar baik. Ia tak akan membalas dengan senjata yang jauh lebih tajam. Ia sekedar menyadarkan. Jujur, tak juga aku minta dimaafkan. Setidaknya, jangan membalas dan menghakimi. Karena ketika orang balik menghakimi, aku kembali bertanya.. Lantas apa bedanya dia denganku yang sedang dalam kondisi down? ((Curhat kok segini lebar win)) 😂

Well, kejadian itu sih sudah 2 tahun berlalu. Dan sekian lama loh aku sering merenung dibuatnya. Tergoda ingin unblokir dan meminta maaf ulang. Tapi kok takut kalau saja dibalas dengan kata yang menyakitkan lagi. Ya, setidak enak itu rasanya dibenci orang.

Perlahan, aku mengumpulkan serpihan diriku yang masih putih. Merenung, melihat sebagian diriku yang menghitam karena rasa congkak. Lalu, aku memeluk rasa insecure itu. Aku akhirnya menemukan arti selflove yang pantas untukku.

https://www.instagram.com/p/CQFPk3JMl0H/?utm_source=ig_web_copy_link

Aku berbulu. Benar

Aku tidak terlalu pintar layaknya saudara-saudara kandungku. Benar

Aku tidak mandiri finansial. Benar

Punya anak perempuan melulu. Benar

Aku bukan ibu sempurna, makanya banyak yang bilang begini begitu.. Ya benar. 

Alunan lagu colbie caillat mengiringi tulisanku.. 

So they like you, do you like you?

You don’t have to try so hard

You don’t have to give it all away

You just have to get up, get up, get up, get up

You don’t have to change a single thing

Ya aku memang penuh kekurangan. Tapi segala kekuranganku tidak merugikan orang lain bukan? 

Apakah fisikku harus sempurna untuk menyenangkan semua orang? Kan tidak. Yang penting.. Ayah, Ibu dan Suamiku bilang aku punya tubuh tinggi dan cantik. Aku berbulu juga punya tahi lalat besar di wajah, tapi aku selalu punya alasan untuk mencintai fisikku yang beratnya tetap stabil hingga sekarang contohnya. Itu berharga. . 

Apakah aku harus pintar dan menjadi dokter? Kan tidak. Yang penting, setidaknya aku punya ruang untuk mengoptimalkan diriku sendiri. Status sosial hanyalah sebuah topeng. Semua manusia bisa berkembang jika ia memiliki value. 

Apakah aku harus mandiri finansial? Berusaha iya. Tapi.. Kan tidak harus. Setiap manusia punya jalannya sendiri. Apalagi jalan perempuan yang sungguh kompleks. Ingat perdebatan Imam Maliki vs Imam Syafii soal rejeki? Tidak ada yang paling benar dalam pendapat mereka. Kebenaran sesungguhnya adalah dunia perlu keseimbangan dan usaha menurut value yang diyakini. 

Apakah salah jika aku punya anak perempuan melulu? Kan tidak. Masa sih mau menyalahkan Tuhan. “Hai Tuhan, kenapa Kau kasih Winda anak perempuan melulu.. Padahal dia sudah makan daging.” Kan lucu. 

Apakah salah ketika sesekali rumah berantakan, sesekali rasa masakan aneh tak karuan, sesekali meringkuk dipojokan. Lelah dengan keadaan. Apa salah jadi Ibu yang tidak sempurna? Memangnya bagaimana definisi sempurna itu? 

Tidak ada yang salah dari unperfect. Selama kita masih memiliki impian n value. Dan yang terpenting, tidak merugikan orang lain. 

((Lagu itu kembali mendayu-dayu dengan liriknya)) 

You don’t have to try, try, try, try

You don’t have to try, try, try, try

You don’t have to try, try, try, try

You don’t have to try

Yooou don’t have to try.. 

Akhirnya, aku menemukan arti selflove dengan memeluk kekuranganku sendiri. Dan mensyukuri kelebihan yang ada. 

Aku akhirnya mengerti, bahwa jenis kekurangan yang harus diperbaiki adalah sifat menyakiti dan rasa congkak. Karena sungguh, itulah awal mula dari segalanya. 

Congkak adalah awal dari racun ingin menyakiti. Karena merasa bahwa diri sendiri lebih wah dibanding yang lain adalah sumber dari pembenaran tindakan menyakiti. Congkak adalah sifat yang ingin mencari pengakuan lalu menyingkirkan impian dan value. Aku pernah menulis disini bukan? Tentang pesan dari mertua? Bahwa ketika hidup kita dipenuhi dengan rasa ingin diakui dan ambisi tanpa rasa legowo. Maka, hilangkah sudah anak baik-baik yang pernah tumbuh dalam diri kita itu. 

Ya disadari atau tidak, awal dari bencana selalu diawali dengan rasa congkak. Cerita sederhana saja misal. Masih ingat kan bahwa Iblis begitu congkak saat Tuhan menciptakan manusia? Merasa bahwa dirinya yang paling pantas. Dari merasa pantas, lalu menyakiti. Begitulah rumusnya. 

Kita tidak perlu congkak demi pembuktian bahwa kita makhluk sempurna. Karena sebenarnya, bukankah tidak ada manusia yang sempurna? 

Manusia, memang diciptakan penuh dengan kekurangan. 

Kenapa? Karena manusia membutuhkan manusia yang lain. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Makanya, manusia itu memang tidak ada yang memiliki kemampuan sempurna. 

Jika ada Ibu pekerja yang seharian diluar rumah. Ia pulang dengan membawa rasa lelah. Dan sekotak makanan hangat yang dibelinya diluar rumah. Tidak 24 jam bersama anak? Tidak memasak? Ya tidak apa-apa. Kan banyak rumah makan yang harus dibantu untuk dikembangkan. Ada rasa rindu yang membuat quality time lebih bermakna. 

Jika ada Ibu Rumah Tangga yang seharian di rumah. Lalu ia keluar rumah dan dengan noraknya berfoto narsis kesana kemari. Mengabaikan anaknya bersama Ayahnya saja. Terkesan egois dan suami takut istri. Ya kenapa sih? Kan tidak apa-apa. Ada keseimbangan psikologis yang menuntut tangki waras dan bahagia. 

Jika ada Ibu yang punya anak perempuan melulu. Ya apa sih masalahnya? Toh juga banyak yang punya anak laki-laki melulu bukan? Kan juga kalian tau sama poligami? Tau sama childfree? Pernah jenguk panti asuhan yang anaknya makin hari makin banyak. Salahnya dimana dengan dominansi jenis kelamin di dunia? Kiamat sudah dekat ketika perempuan yang banyak ini mulutnya sudah tidak beres lagi. Hatinya sudah kotor. Maka, aduh.. Jadilah anak baik-baik dari sekarang. 

Temukanlah self love dalam diri. 

Menerima kekurangan. Tidak mengubah kekurangan dengan berusaha mendapatkan pengakuan orang lain. Serta tak congkak dengan kelebihan. Karena kelebihan tercipta bukan untuk menyakiti yang lain. 

Tapi untuk membantu yang lain. Bukankah begitu? 

Wait a second,

Why should you care, what they think of you

When you’re all alone, by yourself

Do you like you? Do you like you?

You don’t have to try so hard

You don’t have to give it all away

You just have to get up, get up, get up, get up

You don’t have to change a single thing

Waw, lirik-lirik lagu Colbie benar-benar mewakili tulisanku kali ini. Kalian perlu mendengarnya. Judulnya.. “Try” 

**untukmu yang pernah menegurku. Sungguh aku berterima kasih
*untukmu yang tak pernah memaafkan. Tidak apa. Kau tau? Kadang Tuhan membolak balik posisi ketika hati kita tak paham. Tapi, kuharap hal itu tak terjadi. Kuharap kamu paham dengan membaca tulisan receh ini. 
IBX598B146B8E64A