Browsed by
Category: Self Improvement

Dear Diriku: “Apakah Tidak Apa-Apa Hidup Begini Saja?”

Dear Diriku: “Apakah Tidak Apa-Apa Hidup Begini Saja?”

Belakangan ini, aku sengaja tidak begitu aktif dalam sosial media. Penyebabnya satu hal. Konon namanya adalah.. 

Insecure. 

Seharusnya, perasaan yang tumbuh ketika kita melihat orang lain senang atau memiliki pencapaian lebih adalah perasaan senang pula. Senyum ketika melihat pencapaian orang lain. Ikut senang melihat kebahagiaan mereka. Tapi, entah kenapa tiba-tiba ada rasa ingin bersembunyi ketika melihat semuanya. 

Rasanya seakan-akan kamu merasa lelah. Mengejar sesuatu akan tetapi realita yang terjadi adalah kamu kelelahan hanya karena lari ditempat. Tidak berpindah, tidak kemana-mana. Tidak mencapai sesuatu. Seperti halnya mereka, mereka, dan mereka. 

Kayaknya aku capek kok hasilnya enggak ada? 

Apa karena potensiku memang begitu receh? 

Hidupku kok stuck di tempat? 

Lalu, Mau Hidup yang Bagaimana? 

Aku terdiam di depan kaca, bertanya pertanyaan yang sama. “Apa gak papa ya hidup begini begini saja? Kok sepertinya pencapaianku receh sekali?”

Belakangan aku memang agak shock ketika melihat PV blog yang turun hingga 50% sebulan ini. Entahlah dimana kesalahannya. Hal itu juga sudah aku komunikasikan dengan suami. Pun juga kejadian tak terduga di perusahaan kami bulan ini. Salah seorang klien marah besar ketika jurnalnya tampil tidak karuan. Ternyata, 2 pagawai di kantor melakukan kesalahan. Dan masih banyak kejadian yang membuat aku merasa seakan hidup akhir-akhir ini tidak ada pencapaian. Kontras dengan sosial media. Ya padahal harusnya aku tahu diri bahwa sosial media hanyalah citra. Layaknya aku yang kadang bekerja receh disana. Tapi, namanya perasaan sedang insecure. Haha. Sudah hampir 3 tahun aku aktif di instagram. Tapi sepertinya baru kali ini merasa ingin bersembunyi saja. 

Lalu, aku berjalan ke halaman depan pada kantor kami yang dalam proses pembangunan. Sekitar tempat itu masih tergolong asri. Meski diatas sungai penuh dengan rumah penduduk. Tapi diseberangnya terhampar sebidang sawah hijau. Dan tak jauh dari sana, bangunan kampus universitas kami berdiri kokoh. Seakan melambai-lambai minta jenguk kembali. 

Humaira merengek kesal karena aku melamun saja. Aku jadi ikut kesal melihatnya yang sepertinya tak paham bahwa kadang ibunya butuh melamun sejenak. Sekitar situ memang tidak ada apa-apa. Tidak ada kucing berkeliaran, apalagi sapi. Hewan yang akhir-akhir ini menjadi favorit Humaira sejak idul adha. Akupun melirik setangkai bunga liar di pinggiran sawah. Tumbuh tidak karuan di lahan gambut bersama dengan tumbuhan lain yang tak kalah semrawutnya. Kupetik bunga tersebut. Lalu, aku berikan pada Humaira. Humaira seakan melongo menatapnya. Kupikir, pasti anak ini akan menangis lagi. 

Bunga liar. Apa bagusnya. 

Tapi Humaira melamun dan berpikir sejenak sambil melihat bunga itu. Dicium, dipotek, dilepeh hingga hampir diinjak. Anak itu memang sedang tantrum. Lantas kurebut bunganya. Kurentangkan tanganku menuju sawah. 

“Lihat Hum.. Bunganya Cantik..”

Humaira tertegun. Aku langsung mengeluarkan hp dan memotonya. 

“Bunga ini akan cantik ketika latarnya berubah..”

Aku menatap foto itu berkali-kali. Diperjalanan, aku melamun panjang. Bahwa, mungkin selama ini aku hanya bisa melihat dalam sudut pandang sempit. 

Mungkin selama ini bukan hidupku yang biasa-biasa saja yang bersalah. 

Tapi, sudut pandangku. 

Antara Impian, Pengakuan, Ambisi hingga Penerimaan

Pada tulisan sebelumnya, aku telah bercerita tentang perbedaan antara impian, pengakuan dan ambisi untuk ambang kebahagiaan. 

Namun, dalam proses meraih impian. Kadang kala, ada jeda panjang yang membuat proses tak lagi menjadi fokus. Kadang, kita terpaksa mengambil langkah jalan ditempat hingga lari ditempat. Tak berpindah. Untuk melakukan hal lainnya. Hal demikian sering terjadi sejak fase pernikahan hingga memiliki anak.

Karena merasa stuck dan tak berpindah latar maka pikiran menjadi begitu sempit. Seakan hidup tidak memiliki pencapaian. Padahal jika di runut kebelakang. Begitu banyak hal-hal receh yang kadang terlupakan untuk disyukuri. 

Aku kadang lupa mengapresiasi diri ketika memenangkan sesuatu, pun kadang lupa bahwa suami juga kerap kali memujiku. Lupa bahwa anak-anakku baik-baik saja ditengah krisis ini. Aku tak kehilangan sesuatu hal yang berharga. Betapa kemudian karunia ini kadang terlihat receh lalu tak diresapi ‘rasa’nya. 

Hidup memang perlu tantangan dan level baru. Namun, ketika merasa biasa-biasa saja bukan berarti tantangannya tidak ada. Ketika merasa biasa saja, bukan berarti kerja keras yang sudah dilakukan menjadi tak berharga. Ia hanya berubah wujud dan sudut pandang. 

Proses receh itulah kenikmatan yang kadang terlupakan. 

Penerimaan dan syukur. Hal yang kadang kala terlupakan oleh Ibu Rumah Tangga yang aktivitasnya seakan berputar disitu-situ saja. Namun, hal yang terpenting adalah tak pernah menghilangkan diri sendiri. Itulah yang aku pelajari ketika pernah kena PPD dulu. 

Aku sadar hidupku begitu berharga. Walau terlihat begini-begini saja. 

Selalu ada anak yang bertanya, “Mama, besok kita makan apa?”

Selalu ada tangisan disela-sela aktivitasku. Seakan itulah tantangan untukku bertumbuh. 

Dan selalu ada impian di depan sana. Bukan hanya impianku, tapi impian bersama. 

Mendirikan perusahaan yang mandiri. Bangkit dan menggandeng support lalu kembali belajar hal yang baru. 

Untuk sekarang, nikmatilah hidup yang begini-begini saja. Karena masa kecil Hum itu tidaklah lama. 

Hidup jadi Ibu, ya memang ‘harus begini-begini saja’ dulu. Gitu win! *aku sedang berbicara di depan cermin

Untukmu yang sedang merasa biasa-biasa saja. Percayalah hal biasalah yang mungkin dapat membuatmu bertumbuh. ❤

“Mari tumbuh bersama lagi mulai besok Hum.. “

Pengalaman Seru Menjadi Nara Sumber Webinar CIMSA Mercy

Pengalaman Seru Menjadi Nara Sumber Webinar CIMSA Mercy

“Kamu tau hal paling menakutkan dalam hidup itu apa?”

“Apa? Hantu? Kiamat?”

“Mengetahui bahwa kita hidup di dunia hanyalah melaluinya begitu saja. Tanpa menggali potensi. Tanpa apa-apa. Meaningless..”

“Ah, kan kita hidup didunia memang hanya layaknya kapal. Asalkan kita beribadah… .. “

“Omonganmu terdengar familiar sekali.”

“Iya, kan memang sering kita mendengar bla bla..”

“.. Seperti pikiran lainnya yg memandang hidup hanya perlu iman dan islam. Lantas pergi dan memandang yang kurang bersyukur seperti tidak paham dengan arti iman dan islam. Padahal.. Bukankan arti syukur dan ikhlas perlu sebuah perjalanan yang luas?”

***

Obrolan itu kembali terngiang ditelingaku. Obrolan lama, mungkin waktu itu aku masih sekolah SMA dan sedang memasuki salah satu kegiatan ekstra di sekolah. Jangan tanya apakah aku menjadi si A atau si B dalam obrolan tersebut. 

Aku, pernah menjadi keduanya.. 🙂

Pembicaraan yang terasa biasa. Namun artinya baru aku pahami ketika sudah memiliki anak. Bahwa hidupku ternyata begitu sederhana. Begitu banyak hal yang belum sempat aku gali sendiri. Aku belum memaksimalkan diriku sendiri namun kehadiran buah hatiku yang pertama telah mengubahku menjadi orang lain. 

Ya, pernahkah kamu merasa dirimu berangsur menghilang? Seperti digantikan sosoknya oleh sebuah topeng cantik. Layaknya seekor siput. Memiliki rumah dengan corak indah dan pola yang unik. Namun ternyata, makhluk mungil yang ada di dalamnya sudah hilang. 

Aku pernah menjadi cangkang kosong. Kehilangan diriku. Kehilangan arti hidupku. Jangankan menanyakan semangat yang dulu. Diriku yang dulu saja sudah hampir hilang. 

Saat itu, aku tidak menyadari bahwa diriku terkena Post Partum Depression. 

Ceritanya sudah sering aku tulis di blog. Dan tidak ku sangka, karena cerita-cerita receh itu aku mendapat sebuah undangan. 

Aku? Menjadi seorang nara sumber untuk acara webinar? Dengan tema sedemikian? Apakah ini tidak salah? 

Jantungku berdegup kencang. Kubaca ulang undangan tersebut. Rasa minderku masih tersisa rupanya. Dan aku meninggalkan pesan itu begitu saja. Berusaha untuk tidur siang dan mendamaikan diri. Berbicara kepada diri sendiri, “Hei, kamu siapa? Tau diri dong. Sudah, masuk keong saja sana!”

Kali Pertama Aku ‘Curhat’ dengan CIMSA

Undangan tersebut hadir bukan tidak ada sebab. Sebelumnya aku pernah mengisi narasi cerita untuk microblog instagram CIMSA dengan tema cerita Post Partum Depression. Aku dengan senang hati membagikan pengalamanku untuk barangkali bisa bermanfaat bagi para pembaca atau yang sedang mengalami gejala hingga memperjuangkan diri untuk sembuh dari PPD

FYI, CIMSA sendiri adalah kepanjangan dari Center for Indonesian Medical Students Activities. CIMSA merupakan organisasi non profit, non politik, dan non pemerintah yang mewadahi mahasiswa kedokteran di indonesia dalam memberikan dampak bagi kesehatan Indonesia melalui berbagai aktivitas.  CIMSA dibuat sebagai wadah untuk memberdayakan dan meningkatkan kapasitas mahasiswa kedokteran indonesia yang siap ikut andil dalam meningkatkan kesehatan indonesia. 

Sebagai saudara perempuan dari kakak yang kebetulan merupakan seorang dokter dan adikku sendiri yang keduanya merupakan mahasiswa kedokteran tentu ada sedikit rasa minder mengingat ilmu yang aku miliki sangat tidak sebanding untuk memberikan cerita pada mereka. Ya, aku pernah bercerita bukan bahwa aku mungkin merupakan satu-satunya anak mama yang memiliki kapasitas keenceran otak paling sedikit. Tapi, aku tak menyangka curhatan receh itu sedikit berdampak. 

Memutuskan untuk ‘Berani’ Menampilkan Diri

Tidak kusangka, curhat kecil berujung seperti ini. Aku toh sudah terbiasa untuk menulis. Tapi, jujur aku merasa skill verbalku tidak sebagus skill ku dalam menulis. Temanku sewaktu SMA pernah berkata padaku bahwa aku ini sangat pendiam layaknya seekor siput yang sedang dipepes. Bayangkan, siput saja sudah sebegitu unpotential. Dipepes pula. Seakan mengejek bahwa skill verbalku sama sekali tidak bisa diandalkan. 

But, Time flies.. 

Siapa sangka aku yang dulu begitu pendiam berubah menjadi sedikit periang ketika kuliah. Persentasi di depan kelas adalah moment favoritku. Bahkan, aku ingat sekali suatu hari ketika ada pelajaran Komunikasi Bisnis.. Aku diberikan penghargaan karena telah menjadi MC terbaik di kelas. Aku berubah total dalam jangka waktu 2 tahun setelah SMA. Aku sangat ingat moment itu. 

Meski sudah hampir 10 tahun berlalu, aku masih ingat penghargaan itu. Dan itulah yang memberanikanku untuk menjawab ‘bersedia’ pasca 3 jam undangan itu datang. Meski mungkin skill itu sudah hampir terkubur tapi bukankah itu hal yang menarik dalam kehidupan? 

Ketika kita berani menjawab sebuah tantangan dan kita merasa berdebar akan semangat yang baru. Itulah rasa nikmat syukur kehidupan. 

Andai hormon adrenalinku bisa bicara, mungkin selama 8 tahun ini ia akan protes memukulku karena tak pernah berani mengeluarkan skill verbalku lagi. PPD yang pernah aku alami memang sedikit memberikan rasa trauma. Takut ini, takut itu. Padahal toh, bukannya aku sudah mendapatkan pelajarannya? Bahwa segalanya akan sembuh dengan ‘keberanian berekspresi’. 

Serunya Webinar Bersama CIMSA

Aku tidak menyangka hari itu banyak peserta yang hadir. Aku mengira peserta webinar hanya berkisar pada angka 50an. Ternyata ada lebih dari 100 orang. Dan kebanyakan adalah para mahasiswa kedokteran. Sekilas, rasa minder itu datang apalagi ketika melihat CV dari narasumber pematerinya. Hmm? Siapa aku kok berani sekali nyemplung disini? 😌

Jujur, ada sebuah perasaan lucu hari itu. 

Bagaimana kalau aku closed saja semuanya. Matikan wifinya. Biarkan selama 5 jam. Nanti kalau mereka menghubungi, bilang saja mendadak ada gangguan. Bla bla.. 

Syukurlah aku tak melakukan hal itu, karena sungguh jika aku melakukannya. Aku sudah kalah oleh diriku sendiri. Dan, kalian tau? Ada satu hal yang membuatku tertegun menyimak materi dari awal sampai waktuku tampil. Karena aku, seperti merasa kembali ke masa lalu. 

Ya, masa dimana aku tidak mengerti apa itu depresi dan menolak pernah mengalaminya. Materi yang dipaparkan oleh dr Natalia begitu mengunggah diriku. Sampai ingin rasanya aku mengeluarkan air mata. Merasa beruntung bahwa diriku sudah melalui masa-masa suram itu. Begitu banyak kasus menyeramkan terkait ppd dan pembunuhan anak hingga dampak lainnya adalah mengakibatkan luka disana sini. Innerchild yang memutar dan tak kunjung berakhir.

Baca juga: Dampak Negatif dari Post Partum Depresion Pada Anak dan Caraku Memperbaikinya

Menariknya, saat sesi pertanyaan dibuka aku baru menyadari bahwa mungkin sekitar 30% peserta adalah ibu-ibu. Ada pula yang merupakan masyarakat umum yang ingin tau tentang babyblues. Antusias mereka luar biasa. Dan dr Natalia menjawab dengan sangat lengkap tanpa jeda sama sekali. Aku sampai tercengang dibuatnya. 

Pikiran itu kembali datang, 

“15 menit lagi win, sebelum terlambat dan malu-maluin. Closed semua tab dan matikan wifi. Masuk ke dalam selimut”

Humaira pun menangis masuk ke dalam kamarku. Disusul oleh kakaknya si Pica yang kesal karena bingung menerjemahkan apa kemauan adiknya. Makin mantap bisikan itu menemukan eksistensinya. 

Tapi, tepat 5 menit sebelum aku tampil. Suamiku sudah dengan sigap mengambil Humaira dan membawanya ke kamar. Dia tersenyum licik padaku dan berkata, “Anggap saja ujian skripsi.”

😂

Dan 5 menit pun berlalu.. 

Ternyata, Bercerita Verbal Itu Melegakan

Aku tidak tau persis apa yang harus aku ungkapkan. Awalnya, aku bahkan membuat slide tayangan untuk memperjelas sebuah cerita. Tapi kemudian aku sadar bahwa aku hanya mengisi talkshow. Bukan pemberi materi atau nara sumber ahli. Tugasku hanya bercerita dan memberikan solusi nyata dari apa yang sudah aku alami. 

Jujur, moment itu adalah kali pertama aku bercerita secara verbal tentang PPD yang sempat aku alami. Sebelumnya, aku hanya menulis rintihan receh di blog maupun instagram. Itupun sebagian kecil telah aku hapus karena aku sendiri merasa tulisanku tidak menginspirasi dan sedikit toxic. Maklum saja, saat itu aku menulis untuk menyembuhkan diriku  bukan untuk menginspirasi dengan pengalaman. 

Ternyata, bercerita itu melegakan. Aku tidak menyangka ceritaku akan lancar mengalir begitu saja. Seakan aku menemukan seorang teman curhat sambil meminum kopi di sebuah cafe. Kurasa, dr Salma sang moderator memiliki aura friendly untuk berbagi cerita. Maklum, jika ingat fase dimana aku mencari teman cerita saat terkena PPD dulu maka aku akan ingat dengan sebuah grup di facebook dimana saat aku menanyakan tentang pumping ASI yang tak mau keluar.. Anggotanya begitu fanatik ketika aku menceritakan depresinya aku ketika terpaksa meminumkan anakku susu formula. Judge demi judge aku terima di kolom komentar. Itu adalah kali pertama aku takut bersosial media dengan grup yang kebanyakan memiliki member emak-emak perfect. *loh kok jadi curhat lagi?🤣

Yah, begitulah. Intinya aku tidak akan menceritakan ulang bagaimana proses sembuhnya aku dari PPD. Bagaimana efek yang sempat aku alami karena meremehkan gejala babyblues. Microblog singkat yang aku tulis di CIMSA dan tulisan receh di blog sudah pernah mewakilinya. Hanya saja, ternyata bercerita verbal menjadi sensasi baru yang nyaman untukku mengerti apa arti kata berarti dan berada. Dalam durasi satu jam aku merasa menemukan diriku di kampus yang dulu. Berpegangan pada microphone dan menatap seisi kelas dengan penuh makna. 

Aku, kangen dengan cita-citaku dahulu. Mungkinkah aku bisa menjadi seorang guru atau dosen? Aku rindu suasana kelas. Aku rindu menjadi Winda yang seimbang dalam dunia nyata dan maya. Winda yang dahulu. 

Tapi kemudian, aku kembali menatap Pica dan Humaira. Mereka memelukku dan ingin berbaring denganku untuk tidur siang. Ku usap kedua kepala mereka berdua. Lantas tersenyum. 

Aku lebih menyukai diriku yang sekarang. Semenjak jadi Ibu dan menemukan arti ikhlas serta syukur..

Aku merasa bisa meraih semuanya.. 

Namun sabar memang harus menggiringinya.. 

Mengeluh karena Penat, Bolehkah?

Mengeluh karena Penat, Bolehkah?

“Bolehkah seseorang mengeluh ketika merasa penat? Atau sebaiknya menutupinya dan berusaha terlihat baik-baik saja?”

Penat adalah Proses

Aku terbaring siang itu. Kala si kecil mengantuk, akupun tanpa sadar ikut mengantuk juga. Orang bilang, menyusui adalah proses yang harus dilakukan bersama dengan pekerjaan baik. Membaca surah pendek misalnya atau sekedar berdzikir. Tapi tanganku gatal memeriksa handphone untuk sekedar melakukan tugas rutin mingguan. Blogwalking dan menelusuri sosial media. Dan akhir-akhir ini, rutinitas itu membuatku mengantuk. 

Terbangun dan menyadari bahwa aku tertidur selama 2 jam. Syukurlah si kecil Humaira masih tidur. Perlahan kulakukan jurus ninjutsu baru. Gerakan berpindah tempat tanpa bunyi dan pergerakan. Sudah sering kulatih jenis ninjutsu ini. Tapi seringnya gagal dan menimbulkan bunyi ‘kreek’ dari kasur. Alhasil, Humaira menyadari dan menangis melihatku. 

Rutinitas biasa dari keseharian ibu rumah tangga biasa. Drama biasa-biasa saja bukan? 

Tapi kadang, hal beginilah yang membuatku merasa penat. Bahkan tertidur 2 jam pun merasa sangat berdosa. Lihatlah mainan yang lupa kubereskan. Lihatlah cucian yang belum dijemur. Bagaimana kalau ada tamu yang datang? 

Perulangan yang kadang terjadi setiap hari. Membuatku merasa menjadi bukan Istri yang baik. Tapi, kadang hidup harus memilih bukan? Mau jadi Ibu yang baik hari ini kah? Atau Istri yang baik kah? Kadang hari ini cantik, besoknya menjadi tidak karuan karena peran Ibu sedang dominan. Kadang masakan tertata rapi dan diri sudah cantik tapi anak terpapar gadget lama. Kadang, diri sendiri terupgrade sempurna dengan berbagai ilmu tapi suami terabaikan. 

Kadang berkata juga pada diri sendiri, “Tak bisakah punya jurus membelah diri? Atau seribu bayangan saja?”

Tapi logikaku masih jalan dengan baik. Dan aku selalu berkata pada diriku sendiri.. 

“Ini tidak akan lama. Ini hanya sementara.”

Karena penat adalah proses untuk bangkit. 

Nikmati setiap rasa penat dengan syukur. Karena makhluk tanpa rasa penat, sedih, lelah dan down itu bukanlah manusia. Manusia bisa merasakan dan bisa memanjatkan syukur. 

Manusia, selalu memiliki pilihan. 

No Pain No Gain

Dalam penat, selalu ada luka. 

Ih..sudah penat, luka pula. Apa asiknya! 

Yah.. Aku menyadari sepenuhnya bahwa tidak ada ibu yang sempurna. Kecuali mungkin ibu yang bisa membelah diri atau memiliki ninjutsu hebat. Siapa aku? Amoeba bukan, ninja juga bukan. 

Tapi, bolehkan seorang ibu punya jalan ninjanya sendiri? 

Aku memutuskan untuk mengakui rasa penat itu. Membagikannya bersama suami. Melalui penat itu. Jika suatu saat luka datang dari rasa penat.. Baik itu berupa luka dari diri sendiri, suami maupun anak yang kadang terabaikan maka aku memutuskan untuk mengobati luka itu. Membuka luka dan mengobatinya. Bukan sekedar mengabaikannya dan berkata aku tidak apa-apa. 

Karena dalam setiap luka, ada perolehan. 

Aku memutuskan untuk tidak menyesali masa laluku. Diriku yang sempat terkena PPD, anakku yang terpapar oleh rasa itu, hingga pertengkaran yang pernah terjadi dengan suami. Itu hanya masa lalu. Aku sudah mendapatkan pelajarannya. Sudah memiliki harga atas itu semua. 

No pain, No gain

Mengeluh Karena Penat itu Tidak Apa-Apa.. Tetapi.. 

Kembali lagi, apakah mengeluh karena rasa penat itu tidak apa-apa? 

Apakah tidak apa-apa jika kita merasa lelah kemudian mengabaikan obatnya? Butuh tidur misalnya. Tapi kita mengabaikannya. 

Menurutku, itu salah. 

Begitupun dengan rasa penat di hati. Jika kita sedang merasa tidak baik-baik saja dengan kondisi yang ada maka apakah kita tidak boleh mengeluh? 

Boleh, mengeluh atas ketidaknyamanan maupun rasa penat itu sungguh tidak apa-apa. Tapi, mengeluh-lah sekedarnya. Dan yang lebih penting lagi, carilah jalan keluar atas rasa penat. 

Karena sesungguhnya fungsi dari mengeluh adalah membuka kesadaran. Lantas mencari ruang teduh untuk mengatasi penat itu. 

Dan carilah ruang teduh yang cocok untuk diri kita masing-masing. 

Karena setiap kita punya cara yang berbeda. 🙂 

Jadi, sudahkah Anda memiliki solusi dari rasa penat? 

Jadi Cewek kok Berbulu? Tenang Anda Tidak Sendirian

Jadi Cewek kok Berbulu? Tenang Anda Tidak Sendirian

“Kenapa kaos kaki kamu dipanjangin sampe lutut gitu? Mau main bola ya?”

“Ih, bulu tangan kamu banyak banget. Liat dong kaki kamu gimana?”

“Waduh, kamu cewek kok kumisan?”

“Dia cewek tapi badannya kek cowok.. “

***

Hampir semua orang suka memuji badanku yang tak kunjung gemuk walau sudah memiliki 2 anak. Tapi, apakah mereka tau kalau dulu aku adalah orang yang paling merasa minder dengan badanku sendiri? 

Apakah mereka tau kalau aku sempat tidak mau sekolah karena dulu pernah dibilang ‘monyet’? 

Yup, ini ceritaku. Tentang aku si anak cewek yang ‘berbulu’. Mungkin, cerita ini bisa berguna untuk kalian yang memiliki nasib sama sepertiku. 

I just wanna to tell u.. U are not alone. 

Mama, Kenapa Aku Memiliki Banyak Bulu

Ya tidak masalah kalau laki-laki. Masalahnya, aku adalah perempuan. Yang mana selalu disuguhi statement bahwa perempuan itu biasanya memiliki kulit halus dan putih. Seperti iklan di TV itu. 

Aku? Putih enggak. Halus enggak. Sawo matang iya. Berbulu pula. 

Sebanyak apa sih? 

Oh, apakah aku harus memperlihatkan fotonya? Kurasa tidak ya. Karena sejak kuliah aku sudah memutuskan untuk menutup aurat. Walau masih tidak sempurna tapi memperlihatkan fotonya kurasa tidak bijak untuk orang yang sudah bersuami sepertiku. Hihi. 

Pokoknya. Buanyak_Banget. Haha. 

Sejak aku SD, bulu ditangan dan kakiku sudah sangat lebat. Sehingga aku pernah ditegur oleh seorang guru. 

“Win, kamu makai shampo kebalik ya? Kok bulu kakinya panjang buanget..”

Sejak ditegur seorang guru laki-lakiku itu. Aku menjadi insecure. Huhu

Jujur guru ini tamvan kek oppa. Mungkin ya maksudnya bercanda. Tapi bagiku itu hurt banget. Sejak itu aku selalu memakai kaos kaki panjang jika sekolah. Saat itu, masih tahun 1999. Aku masih berumur 9 tahun. Belum ada yang memakai kerudung dan pakaian muslim di tempatku. Aku masih mengenakan rok selutut saja. 

Aku pulang dengan sedikit menangis kala itu lalu bertanya pada Mama, “Ma, kenapa aku berbulu lebat begini?”

Tapi Mama tidak pernah menjelaskan secara detail. Mama hanya bilang aku mirip abah (ayahku). Dan itu kehendak Allah. Tapi bukankah tidak lazim jika anak perempuan berbulu selebat ini? Bahkan lebih lebat dari kakakku yang laki-laki? 

Katanya, Anak Perempuan yang Berbulu itu Beruntung

Sejujurnya, aku sering sekali mendapat semangat dari Mama dan Abah tentang kondisi fisikku. Mereka bilang bahwa anak perempuan yang berbulu itu ‘peuntungan hidup’. 

“Kada usah minder. Anak binian bebulu tuh bauntung”

“Disayangi laki kena tahulah.”

“Lakian ketuju lawan binian bebulu”

Itulah yang menjadi penyemangatku. Mama dan Abah selalu menyayangiku dan memujiku. Aku tidak pernah mencukur bulu tangan dan kakiku. Sekalipun. Walau teman lelaki dan perempuanku sering bertanya bahkan usil menarik-narik bulu kakiku. Menyebalkan. 

Tapi, sungguh perkataan guru itu menggangguku. 

Jangan mencukur bulu, nanti tambah panjang. 

“Kenapa kamu pakai kaos kaki panjang mulu sih? Mau main sepak bola?”

Siapa yang mengucapkan itu? Hmm.. Pernah kan kalian punya perasaan suka untuk pertama kali? Yang mengucapkan itu adalah orang yang aku sukai pertama kali. Maklum, saat itu adalah fase pubertas.  

Seakan ingin membuktikan diri bahwa ‘aku normal’ maka aku mencukur bulu untuk pertama kalinya. Menggunakan silet. Daaan.. Luka dong. 

Tapi sungguh senang sekali melihat hasilnya. Ya ampun, ternyata kakiku ini putih sekali. Mungkin saking lebatnya si bulu ini. Jadi kulitnya terlindungi dari sinar matahari. 

Dan untuk pertama kalinya, aku pergi ke sekolah dengan kaos kaki pendek dan kaki putih nan mulus. Hanya untuk sebuah pembuktian kepada teman lelaki yang menegurku. Sungguh kekanakan kalau diingat-ingat. 😅

Aku lewat dengan pede sekali di depan teman lelakiku itu. Sampai matanya oleng karena kaki putihku saat itu. 

Tapi, itu tak bertahan lama. 

Sehari sesudah mencukur bulu, kakiku sungguh amat gatal. Aku pun jadi sering menggaruknya. Sampai merah-merah. Mama yang memergokiku sering menggaruk kakipun iseng bertanya. 

“Kenapa kaki ikam?”

“Digigit nyamuk ma..”

Iya. Mama masih tidak tau. Maklum, aku biasa memakai celana panjang kalau di rumah. Dan masih memakai kaos kaki panjang jika berangkat sekolah. Baru menggantinya diparkiran sepeda saja hari kemarin itu. 

Tapi bukan mama namanya kalau tidak jeli. Mama tau bahwa ‘saking panjangnya buluku’ maka pasti ada yang keluar dibalik celana panjangku kala berwudhu. 

“Kenapa bulu batis kam win? Kam larap kah?” 

Doeeenk. Akupun mendapatkan ceramah panjang lebar kala itu. Maklum. Mama selalu menasehatiku untuk tidak mencukur bulu. 

“Nanti tambah lebat” Kata mama. 

Dan akupun membenarkan kata-kata mama. Lihatlah kakiku sekarang, bibit-bibit bulu itu tumbuh makin hitam dan tebal.. Dan tentu saja gatal sekali. Hiks. 

Esok harinya, aku datang kesekolah dengan kaos kaki panjang lagi. Tidak ada lagi kaki putih dan mulus itu. Sudah expired. Expired dalam sehari. 

Cewek Berbulu itu Mirip Monyet

Kutukan yang muncul gara-gara aku mencukur bulu itu ternyata mengerikan. 

Pertumbuhan bulu kaki itu sampai menembus kaos kakiku. Iya, memang separah itu. Sehingga kaos kakiku seperti kaktus. Berduri. 

Dan sialnya, ketika aku di sekolah.. Ada saja yang memperhatikan itu. Awalnya hanya gara-gara teman-temanku berbicara tentang kumis. Lalu beberapa dari mereka melirik kearahku. Melihat wajahku dengan lama lalu kearah tangan.. Daan.. Kakiku. 😣

“Dikelas kita ini kayaknya si Aswinda ini yang paling banyak bulunya..”

“Bukan, kumisnya tebelan si Anu”

“Tapi si Anu tangannya gak berbulu. Cuma kumisan sama bulu kaki aja. Lagian dia kan cowok. Ya wajar.”

“Iya ya, tapi Aswinda kakinya enggak berbulu tuh. Kemarin pas pake kaos kaki pendek kakinya putih.”

Aku masih ingat perasaanku kala itu ketika menuliskan cerita ini. Bagaimana merahnya mukaku, bagaimana rasanya keinginanku untuk memotong kakiku saja. Malu sekali. Huhu. 

Mereka melihat kearah kaos kakiku dan tertawa dengan ‘mode kaktusnya’. 

“Eeeh.. Gak boleh ngetawain temen gitu” Kata salah seorang temanku.. 

“Iya, cewek yang berbulu itu perejekian. Aku pernah denger begitu” Bela temanku yang satunya. 

Dan kagetnya aku. Lelaki yang aku sukai pada masa puber pertamaku berkata, “Kata siapa? Cewek kalau berbulu itu ya mirip monyet.. “

Sejak itu, aku mencoret nama laki-laki itu. Berharap tidak lagi satu kelas denganku. Satu SMA denganku hingga kuliah. Jangan pernah bertemu dengan wajah menyebalkan itu lagi. 

Penjelasan Ilmiah tentang Perempuan yang Berbulu

Seiring berjalan waktu, trend sekolah dengan jilbab pun mulai muncul. Saat SMA aku berkerudung. Tapi, diluar sekolah aku tidak berkerudung. Maklum, masih labil dan masih merasa jauh lebih cantik tidak berkerudung. 

Satu hal yang pasti saat itu, tidak ada teman yang tau bahwa aku memiliki banyak bulu. Karena bajuku selalu lengan panjang dan celana panjang. Didalam maupun diluar sekolah, aku tidak pernah menggulungnya. Aku trauma kalau-kalau dibilang monyet lagi. 

Akupun akhirnya tau bahwa aku memiliki kelebihan hormon androgen. Umumnya, hormon ini dimiliki oleh lelaki, tapi hormon ini juga sedikit dimiliki oleh perempuan. Namun untuk kasusku, aku mengalami hirsutisme. 

Hirsutisme adalah suatu kondisi tumbuhnya rambut secara berlebihan pada tubuh dan wajah yang biasanya dimiliki oleh laki-laki tapi terjadi pada perempuan. Hal ini kemungkinan timbul akibat kelebihan hormon yang disebut androgen dan hormon utamanya adalah testosteron. Selain itu faktor keturunan atau etnis kemungkinan juga memainkan peran, karena jumlah rambut yang tumbuh ditentukan oleh faktor genetik.

Wikipedia

Aku beruntung loh, kasusku tidak terlalu parah. Aku membaca bahwa banyak sekali perempuan yang mengalami hirsutisme parah diluar sana. Bahkan sampai berkumis dan berjenggot panjang. Untuk kondisiku ini ternyata masih sangat ringan. 

Apakah bulu yang kumiliki adalah faktor genetik? 

Aku akan menjawab iya andaikan aku adalah seorang laki-laki. Mungkin saja aku mirip Ayahku. Tapi please aja, bulu milikiku bahkan lebih parah lebatnya dibanding Ayahku. Padahal, Ibuku mulus sekali. Heu. Jadi, aku ini Hirsutisme ringan namanya.. 

Hirsutisme parah bisa bergejala seperti suara yang berat, jerawat, botak, pigmen rambut yang kasar, penurunan ukuran payudara, pembesaran klitoris dan peningkatan massa otot.

Well, aku tidak memiliki gejala parah diatas. Suaraku tidak berat tapi punya 4 mode. Temanku dulu pernah bilang bahwa aku seharusnya menjadi dubber. Haha. 

Urusan pigmen rambut sedikit benar. Rambutku hitam lurus dan bilah rambutnya seperti bilah sapu. Lucunya teman-temanku selalu iri pada rambutku. Sejak SD sampai SMP mereka selalu bilang bahwa rambutku hitam dan lebat. Tidak ada cela layaknya iklan shampo. Padahal kalau diperhatikan rambutku ini tidak lembut melainkan kasar. Meski begitu, pujian teman itu benar-benar meningkatkan rasa percaya diriku sehingga aku masih malas memakai jilbab kala SMA dulu. Rambut hitam lebat itu adalah berkah dari hirsutisme ringan ini. 

Alisku sangat tebal. Layaknya sinchan. Aku juga berkumis. Tapi tidak parah. Tidak nampak sekali layaknya Iis Dahlia. Mungkin seperti Intan Nuraini. Bukan, bukan kepedean mirip artis ini. Aku cuma ingin kalian membayangkan tingkat lebatnya seperti apa. Kalau wajahnya sih jelas kalah jauh. Wkwk. 

Tapi, ada satu yang aku duga ‘mungkin’ ikut menjadi faktor penyebab aku memiliki banyak bulu. 

Aku berada dalam perut Mama hampir satu tahun. Kalau orang dulu bilang, mamaku hamil kebo. Air ketubannya bahkan hampir kering. Maklum saja, orang zaman dulu tidak sepeka kita akan HPL. Aku menduga-duga.. Ini turut mempengaruhi faktor kulit berbulu ini. Walaupun masih belum ada bukti ilmiahnya. 

Kamu Wanita Berbulu Juga? Jangan Minder! 

Aku menulis cerita ini di blog bukan tanpa alasan. Pada suatu grup aku melihat ada cewek curhat panjang lebar tentang kondisi kulitnya yang berbulu. Dia juga memoto bagian kumis dan alisnya. Ya ampun, dia mirip aku pikirku. 

Anak ini dalam masa pubertas juga. Kuduga dia non muslim. Aku tau sekali bagaimana perasaannya. Pasti dia minder. 

Mungkin juga ada saatnya anak itu akan mengalami rasa tidak pede sepertiku. Bahkan saking tidak pedenya sampai bertanya-tanya, “Bisakah jenis werewolf sepertiku mendapatkan jodoh?”

Well, didunia ini.. Akan selalu ada orang yang melihat sisi buruk kita. Kita tidak bisa menyuruh mereka untuk diam. Tapi, kita selalu bisa mengontrol diri kita sendiri. Apakah memilih denial pada kekurangan itu, atau menerimanya? 

Pada akhirnya, aku menerima seluruh kekurangan yang ada pada diriku. Aku berbulu, aku berkumis, alisku lebat tidak karuan bahkan dibilang perias tidak bisa diatur saat aku bersikeras untuk jangan mencukur, aku bahkan memiliki tahi lalat besar dibawah hidung. But I try accepted it. 

Sebelum menikah, aku bilang pada calon pasanganku akan kekuranganku. Semuanya. Aku bercerita padanya bahwa aku werewolf, bahwa bulu kakiku lebih lebat dan panjang dari pada bulu kakinya. Dia kaget? Oh tentu saja. Hahaha. 

Tapi diatas semua kekuranganku, aku jauh mensyukuri semua kelebihan yang Allah beri padaku. Alisku tebal dan tak perlu pensil alis untuk berdandan, rambutku tidak pernah rontok bahkan walau sudah menyusui 2 anak, kumisku bisa ditutupi dengan concealer, tahi lalatku.. Ah sudahlah. 

Untuk kalian yang mungkin memiliki nasib yang mirip denganku. Cobalah melihat kaca lagi. Mungkin apa yang orang dulu bilang tentang cewek berbulu itu betul. 

“Perejekian.. Disayang suami..” Mama selalu mengatakan itu padaku seolah itu adalah sebuah doa. 

Dan itu terjadi. Benar-benar terjadi. 

PS: Jika suatu hari aku bertemu dengan lelaki yang menyebutku monyet lagi. Aku berharap saat itu aku sedang dalam keadaan cantik paripurna dan menggandeng suamiku. Sungguh aku ingin pamer. 

Kangen Jadi Blogger Curhat yang Dulu

Kangen Jadi Blogger Curhat yang Dulu

“Entah kenapa sekarang Blog Walking gak seseru dulu. Mungkin karena sekarang kalo blog walking tulisannya pada sponsor mulu ya..”

“Iya, kan butuh traffic dan engangement juga.. “

“Tapi jadi gak asik lagi ya.. Pernah gak kamu ngerasain jenuh ngeblog karena hal begini?”

Dan jangan terbawa serius dengan obrolan diatas. Apalagi bertanya, ngobrol sama siapa win? 

Jujur, aku ngobrol sama kaca. 

Kangen Nulis Polos Kek Zaman Dulu

Dulu, waktu belum mengenal job.. DA, PA, SEO dan sebagainya. Sepertinya tulisanku lebih lepas dan luas. Dan yang kurasakan adalah, sepertinya dulu aku memang membutuhkan blog untuk mencurahkan isi hati. Iya, dulu aku adalah blogger curhat yang jujur saja.. Enggak peduli woy orang mau ngomong apa sama curhatan aku. 

Seiring berjalan waktu, aku kenal dengan blogger A, B, C dan D. Lalu, semakin kesini sepertinya aku memiliki ‘urat malu’ untuk curhat lagi. Aku pun memutuskan hanya menulis sesuatu yang bermanfaat dan dibutuhkan. 

“Untuk apa menulis banyak-banyak dan enggak karuan kalau tidak ada yang baca?” Itulah salah satu komentar teman bloggerku. 

Dan hal itu memang benar. Namanya ilmu SEO itu perlu, riset keyword dsb perlu untuk menunjang tulisan. DA PA dsb perlu untuk kualitas job. 

Masalahnya, semakin kesini.. Jujur aku merasa semakin minder dan malu untuk menjadi blogger lepas seperti dahulu. 

Yang suka menjebolkan capslock kalau marah. Juga suka lompat-lompat tanpa menghiraukan EYD. Aku kangen menjadi anak kecil yang mencoret tembok sembarangan itu. 

Apakah Arti Menulis Bagimu? 

Termangu melihat Humaira yang tertawa lepas sambil mencoret-coret tembok. Lama. 

Aku semakin merenung, sebenarnya.. Apa arti menulis bagiku ya? 

Kenapa aku sekarang harus malu untuk menuangkan ekspresi? 

Apakah aku sudah move on atau malah menjadi blogger yang stuck hanya karena mengejar standar seperti kebanyakan? 

Aku kemudian melihat Farisha, lantas iseng bertanya padanya, “Pica, kenapa gak ikut Humaira mencoret tembok?”

“Memangnya mama enggak marah kalau Pica mencoret tembok?”

Lama kuberpikir. Apakah aku memiliki alasan yang sama dengan Pica? Aku takut berekspresi karena takut dengan pendapat orang lain? 

“Kalau Mama tidak marah, apa Pica masih suka mencoret tembok?”

“Enggak ma, Pica gak suka lagi. Karena Pica sudah punya tempat yang pas. Mama sudah membelikan buku gambar dan Mama juga bilang untuk memanfaatkan kertas bekas print gagal yang tidak terpakai untuk dicoret-coret. Jadi kenapa harus mencoret tembok? Itukan kerjaan bayi kayak Humaira..”

Kerjaan bayi? Pikirku lama. 

Perkataan Pica banyak menyadarkanku. Bahwa sebenarnya, apa yang aku lakukan selama ini bukanlah hal yang sepenuhnya salah. Aku bukanlah seorang blogger yang tersesat karena mabuk dengan sponsored post. Aku hanyalah seorang blogger yang sedang dalam tahap picky. 

Bahwa tulisan memiliki tempatnya masing masing. Arti menulis bagiku bukan terpaku hanya pada blog saja. 

Aku sudah sedikit memahami blog. Ada 2 hal yang harus dipilih untuk memaksimalkan traffic. Yang pertama adalah branding maksimal di sosmed sedangkan yang kedua adalah memanfaatkan SEO. 

Sejak memiliki anak kedua, aku tidak bisa memaksimalkan branding di sosmed lagi. Pikiranku penuh dengan cabang. 

Baca juga: 9 Hal Penyebab Tulisan Emak Tak Kunjung Selesai

Aku memiliki banyak hal untuk dicurhatkan, tetapi aku malu menuliskannya di blog. Sekarang, aku seperti Pica yang belajar menggambar di kertas bekas. Kertas itu berserakan. Dan kukumpulkan. 

Aku masih membutuhkan menulis untuk hidup. Tapi, aku tidak bisa membagikan semua tulisanku. Ada yang kusimpan sendiri, ada yang aku sharing dengan teman dekatku, dan blog ini bukanlah tempat untuk itu. 

Kangen Seperti Dulu, Tapi Belajar Menyaring dan Menahannya

Yup, intinya aku memang kangen dengan diriku yang dulu. Yang tidak tau malu. Semuanya dicurhatkan di blog. Tulisannya memang organik dan menarik. Tulisannya lepas, seru, melegakan. Tapi, tidak begitu bermanfaat. 

Lagi pula, sebenarnya aku sudah menuliskan curhatan-curhatan itu di media yang tidak diketahui. Jadi toh sebenarnya, aku ini bukannya sedang mengalami ‘blocked’ dalam menulis. Tapi belajar memisah-misahkan ekspresi dan manfaat. 

Ah, ternyata jadi ‘blogger dewasa’ itu susah. Kangen dengan blogger apa adanya seperti dulu. Tapi, rasa kangen itu dikalahkan oleh rasa ingin menjadi lebih baik. *eh gimana? 

Apa kalian ada yang sepertiku? Kangen dengan zaman ngeblog dahulu? 

IBX598B146B8E64A