Surprise Januari 2021: Kalsel Banjir Parah
“Jembatan Pabahanan di Pelaihari ternyata roboh bah.. Arus banjir kali ini luar biasa..”
“Terus gak bisa kesana dong aku..”
“Iya, gak bisa. Rencana kita batal. Apa boleh buat kondisinya begini. Mudahan banjir segera surut.”
“Bakal lama banget dong ya disana.. Huhu..”
Terdiam aku dibuatnya. Kulihat lagi video ambruknya jembatan penghubung provinsi itu berkali-kali. Tidak, ini bukanlah mimpi. Jembatan itu, benar-benar roboh.
Banjir Kalimantan Selatan tahun ini benar-benar luar biasa.
Banjir, Musibah Tak Terduga Kalsel di awal tahun
Aku pikir, banjir tahun ini bakal ‘so so’ aja. Toh, daerah bati-bati itu setiap tahun sih juga banjir. Sudah sangat terkenal kiranya. Banjir selutut, sedada. Setiap tahun siklusnya selalu terulang. Dan enggak ada juga tuh drama mengerikan menyusul dibelakangnya. Karena ibaratnya, orang bati-bati sendiri sudah sangat kenyang makan banjir setiap tahun.
Tapi, banjir kali ini berbeda.
Saat aku memutuskan untuk berkunjung ikut ke tempat orang tuaku di pelaihari, aku tak berpikir dua kali walaupun saat itu musim hujan dan banjir. Toh, ‘biasa aja’ pikirku. Setiap tahun bati-bati juga langganan banjir. Bahkan, aku berencana untuk piknik ke pantai di hari minggunya bersama keluargaku. Mengingat pantai pasti sepi. Maklum, sudah stress tingkat tinggi selama hampir setahun di rumah saja. Jadi bisa ke pelaihari dan tinggal di tempat orang tua adalah sebuah oasis ditengah rasa stress. Tak kusangka, bencana banjir yang diawali dengan terputusnya akses ke bati-bati dan hanya bisa melalui jalan alternatif hanyalah drama pembuka saja.
Esok harinya, aku dikejutkan pada kabar teman-temanku di sosial media. Barabai banjir besar. Aku melihat warung yang terbawa arus banjir di sebuah video. Akupun melihat rumah-rumah pemukiman terendam banjir hingga dada. Teriris hatiku dibuatnya. Daerah sawahan di pelaihari pun tak kalah menyeramkan. Saat itu, daerah bati-bati memiliki nasib sama layaknya barabai. Begitupun beberapa tempat di banjarmasin.
Hari ketiga di Pelaihari aku dikejutkan pada berita mengerikan. Jembatan retak. Dan itu adalah jembatan provinsi. Penghubung antara kota-kota. Akses ‘satu-satunya’ yang sehat untuk ke pelaihari. Saat itu, pengendara dipulangkan. Tidak diperbolehkan melintas. Jangan tanya bagaimana yang bekerja bolak balik antara jembatan itu. Mereka memutar melewati jalan alternatif yang ‘sakit’. Tanah longsor kabarnya mulai menggeronggoti jalan alternatif tersebut.
Hari keempat di Pelaihari aku shock saat melihat video di sosial media. Jembatan pabahanan ambruk. Roboh disatu bagian. Esok harinya, bagian satunya ikut ambruk. Dan menyisakan jembatan ditengah-tengah yang lengang. Gotong royong para warga membangun jembatan darurat. Esok harinya, jembatan darurat ikut roboh dijatuhi pohon besar. Menyisakan satu bagian yang takut-takut bakal roboh juga.
Para penduduk ramai membangun lagi jembatannya. Pengungsi ramai berbondong-bondong mencari bantuan. Kalian jangan mempertanyakan soal klaster covid yang mungkin bertambah karena pengungsian yang menjadi satu. Apalagi mempertanyakan, “Kok gak pake masker?”
Peduli setan. Kata mereka. Kami hanya butuh makan, tempat berlindung dan hidup. Covid seakan terlihat bagai buih kecil ditengah bencana banjir dan setumpuk masalah lainnya.
Kenapa Banjir Kali Ini Berbeda?
Adakah yang masih mempertanyakan dengan wajah sok polos kenapa banjir kali ini berbeda?
Tentu saja ada. Dia adalah anakku, Pica.
“Orang-orang pada buang sampah sembarangan sih. Makanya banjir.” Kata Pica ‘sok menghakimi’
“Ini bukan soal buang sampah aja Pica. Pica harus tau bahwa bumi ini imunnya sudah dibuat Allah sedemikian kuat. Setumpuk sampah mungkin bisa diobati dengan secuil banjir. Tapi jika paru-paru dunia sudah digeronggoti, maka obatnya tidaklah mudah..”
“Maksudnya ma?”
Aku mencabut rumput di pekarangan rumah Mama. Beruntung ditempat mama merupakan dataran tinggi dan tidak terkena banjir. Lantas memperlihatkan akar rumput itu pada Pica.
“Pica tau, apa fungsi hutan? Apa fungsi pepohonan? Hutan itu punya akar-akar ajaib dari pohon yang bisa menyerap air di musim hujan sehingga menghindari banjir. Ibaratkan akar rumput ini adalah akar pohon. Sudahlah dicabut, digali lagi tanahnya sampai sedalam-dalamnya seluas-luasnya. Kira-kira apakah hutan bisa normal lagi?”
Hutan kalimantan sudah berangsur hilang. Pegunungan meratus adalah pertahanan terakhir. Tapi apa boleh buat, katanya meratuspun harus dikorbankan.
“Kenapa manusia suka menggali-gali hutan?”
“Mereka butuh energi. Butuh batu bara, intan hitam, emas dsb untuk bisa hidup. Listrik berasal dari sana. Sayangnya, manusia tak pernah mengenal rasa ‘cukup’.”
Dan pertanyaanpun beruntun. Tentang bagaimana batu bara bisa menjadi listrik, kenapa batu bara tidak beranak pinak layaknya pohon dsb. Entahlah, dunia ini kadang rumit nak. Buah simalakama ‘kata mereka’. Padahal toh andai saja manusia bisa menyeimbangkan antara nafsu dan realitas mungkin mereka akan kenal apa itu konsep cukup. Sayangnya, katanya kebutuhan manusia itu tidak terbatas. Padahal, bukannya keinginan mereka yang ‘ada-ada saja’? Tidak ada habisnya. Lantas kalau hujan dan banjir salahkan saja orang yang menebang pohon untuk kayu bakar. Atau yang membuang bungkus permen sembarangan. Itu lebih mudah.
Sama halnya dengan tragedi asap yang selalu terjadi setiap tahun. Salahkan saja para petani yang membakar, toh itu lebih mudah.
Maaf, mamak memang bakatnya nyinyir. Tapi semoga yang tersinggung tidak marah mencak-mencak. Lantas membenarkan diri dengan bilang.. “Hei, kalau bukan karena kami ditempat kalian gak akan ada penerangan bla bla.”
Jadi, ada yang punya jawaban lagi untuk kenapa banjir kalsel kali ini berbeda?
Guilty Feeling ditengah Banjir
Rasa-rasanya baru saja aku menulis diawal bulan ini bahwa aku punya banyak guilty feeling di tahun 2020. Entahlah kenapa pula diawal tahun 2021 perasaan itu malah bertambah.
Seperti malam ini, aku merasa ‘stuck’ di rumah mama. Dengan sinyal super lelet dan perasaan ‘ingin pulang’. Rasa cemas, bersalah, bodoh, bertubi-tubi muncul bergitu saja.
Apalagi saat melihat status teman-temanku yang beberapa adalah relawan banjir. Entahlah rasanya aku ingin ‘ikut terjun’ melalui pintu kemana saja dan mengulurkan tanganku. Itu jauh lebih seru dibanding uring-uringan di rumah bermain bersama anak-anakku. Sudah lama sekali ‘otot ini merasa nganggur’. Perasaan tidak berguna seperti biasa selalu menghampiri.
Seharusnya, kemarin aku tidak ikut ke pelaihari.
Aku meninggalkan suami di banjarmasin untuk keegoisanku bertemu orang tua. Kangen rasanya menjadi ‘anak’ lagi. Tapi aku lupa hal penting bahwasanya aku tidak berada pada level itu lagi. Tugasku sudah berbeda, perasaanku berbeda dibanding saat menjadi anak SMA dulu. Aku kangen membantu suami di rumah. Tak kusangka pekerjaan rumah itu dirindukan juga. Padahal, bukankah itu membosankan win?
Lalu aku melihat Mama dan Ayahku. Seminggu sudah aku mendengarkan curahan hati mereka. Melihat mereka bermain bersama cucu-cucunya.
Mereka sangat senang. Sampai tanpa sadar Mama sudah ‘sekian kali’ bertanya padaku, “Apa gak bisa suamiku bekerja disini saja?”
Dan jawabanku selalu sama lalu disusul dengan ukiran sedih pada wajah Mama.
Jika mengingat hal ini, aku mengubur perasaan bersalahku lagi. Kemudian berkata didalam hati,
“Setahun tidak ke tempat orang tua. Anggaplah seminggu lebih ini bagaikan oasis bagi mereka. Jika melihat mata mereka, aku sadar betapa berharganya diriku ada disini.”
Banjir di Banjarmasin, Kota Seribu Sungai
Saat beberapa kota di kalsel mulai surut banjirnya dan mulai cerah harinya, kota banjarmasin malah terancam banjir karena pasangnya air. Dan sepertinya, aku akan lebih lama lagi di pelaihari.
Kota seribu sungai itu kini benar-benar ‘beribu sungainya’. Disana sini penuh hamparan ‘sungai baru’. Aku tidak bisa membayangkan ditengah air itu mungkin ada biawak dan ular yang berenang dari rawa. Kabar terakhir yang aku tau, bahkan kelotok saja mampir ke spbu untuk mengisi solar. Benar-benar sebuah perubahan di awal tahun.
Dan kuharap itu tidaklah lama. Kabarnya hari kamis air pasang tidak akan meninggi lagi dan berangsur surut. Hari ini, beberapa rumah anggota keluargaku di banjarmasin mulai terendam banjir dibagian dapur. Dan aku bersyukur hingga saat ini rumahku masih aman. Hanya bagian halaman jalan yang terendam penuh dengan banjir. Pegawai PT kami masih bisa bekerja. Tapi dibeberapa daerah lain di banjarmasin, situasinya memprihatinkan.
Dan lagi-lagi aku bermimpi untuk bisa menjadi relawan. Sepertinya mengasyikkan. Apalagi aku kemarin menonton film love in flood. Kok seru andai saja aku bisa ikut naik perahu bersama suami ke jalan-jalan dan bernyanyi ‘row row row your boat’
Abaikan imajinasiku. Aku sedang haus sensasi petualangan. Dan tulisan ini mulai tidak jelas hulu dan hilirnya. Maklum, yang menulis saja kadang tersenyum kadang tergugu. Aneh sekali.
Bencana di awal tahun ini memang benar-benar mengiris hati. Dan kenapa pula itu terjadi disaat hatiku riang ingin piknik. Hatiku ingin istirahat, tapi kemudian disuruh sedih dengan berbagai bencana. Seakan empatiku sedang diuji ditanah lapang. Jika aku menulis untuk mencurahkannya. Kepalaku berjalan kemasa depan. Berpikir, bagaimana kiranya nasib anak cucu di masa depan? Jika toh sekarang saja bencananya sudah sedemikian?
Hai manusia, apakah kamu bekerja keras untuk dirimu sendiri? Atau untuk masa depan anak cucumu? Atau sebenarnya hanya untuk rasa nyamanmu dimasa depan? Lantas kedepannya tidak dipikirkan lagi? Kemudian berdalih bahwa kepintaran manusia dan kemajuan teknologi mungkin akan mengatasi kesalahan-kesalahanmu?
Entahlah. Manusia itu membingungkan. Termasuk diriku.