Dongeng Penggembala Domba
Dahulu kala..di sebuah desa.. Tinggallah seorang anak laki-laki dan orang tuanya. Orang tuanya bekerja sebagai petani. Namun setiap hari mereka juga memelihara Domba. Domba-domba itu adalah milik keluarga mereka.
Suatu hari sang anak laki-laki ditinggal oleh orang tuanya ke kota. Sang anak dititipkan beberapa domba. Mereka menyuruh sang anak agar menjaga dan memberi makan domba-domba tersebut.
Sang anak menjaga domba itu dengan tekun.
Tapi, hingga hari ke tiga.. Orang tuanya tak kunjung datang. Maka, ia mulai merasa bosan dengan rutinitasnya sehari-hari.
Ketika menjaga domba, pikiran anakpun mulai jahil. Ia kemudian berteriak, “Serigalaaa… serigala.. Tolooong!”
Penduduk desa pun datang berlarian. Mereka langsung mencari keberadaan serigala disekitar anak tersebut. Sang anak senang sekali melihat respon para penduduk. Ia pun tersenyum dan berkata, “Haha.. Tidak ada serigala kok!”
Para penduduk pun kesal. Mereka langsung pulang kerumah.
Besoknya, Anak lelaki itu mengulangi hal yang sama, ia berteriak dengan lebih nyaring, “Serigala.. Serigala..! Astagaa tolong akuu!”
Penduduk desa awalnya tidak mau datang. Tapi karena teriakan anak itu begitu nyaring dan serius. Akhirnya mereka tidak tega. Mereka pun segera lari kearah suara anak tersebut.
Dan betapa kesalnya mereka ketika melihat sang anak tertawa terbahak-bahak.
Besok harinya, anak lelaki tersebut duduk tenang sambil menjaga dombanya yang sedang makan. Betapa terkejutnya ia ketika tiba-tiba melihat serigala datang ke arah domba tersebut. Sang anak pun berteriak panik, “Toloong.. Serigala.. Toloong.. Domba saya dimakan.. Tolong!”
Tapi tidak ada satupun yang datang.
Penduduk desa sudah tidak percaya lagi dengan teriakan anak tersebut. Dan akhirnya, domba-domba pun habis dimakan serigala.
Tamat.
Memahami Adanya Ego Manusia Untuk ‘Mencari Perhatian hingga Mendapat Pengakuan’
Apa yang dapat dipelajari dari dongeng penggembala domba diatas? Sejak kecil, kita diajarkan bahwa moral story dalam dongeng ini adalah untuk tak pernah berdusta.
“Jangan pernah berdusta, apalagi mengulanginya. Atau orang tak akan percaya lagi pada kita.”
Ada benarnya. Dan itu terbukti bukan? Sekali, dua kali hingga tiga kali kita berdusta maka tak akan ada lagi yang percaya pada omongan kita.
Namun, jika kita berani memandang sebuah dongeng dalam sudut pandang yang berbeda. Maka, ada satu hal yang kita lewatkan pada dongeng tersebut. Yaitu tentang..
“Mengapa penggembala domba tersebut berdusta.. Lagi dan lagi”
Aku tersadar tentang untold story pada dongeng ini saat menonton drama its okay to be not okay. Sebenarnya, penggembala domba tersebut kesepian. Demikianlah hal yang terjadi sejak ia ditinggalkan oleh orang tuanya.
Orang yang kesepian biasanya akan melakukan 2 hal. Pertama Ia akan mencari teman agar tidak kesepian. Kedua ia mungkin ingin menarik perhatian agar ‘diperhatikan’.
Sadar gak sih, kadang kala dongeng anak gembala ini mengingatkan kita akan fenomena sekeliling kita sendiri. Betapa banyak orang-orang yang rela berdusta, melebih-lebihkan cobaan hidupnya sendiri ‘demi mendapatkan perhatian’ dan ‘demi mendapatkan pengakuan’. Banyak yang terpancing dan berempati ‘tanpa tahu keadaan yang sebenarnya’. Padahal mungkin jika kita tahu keadaan sebenarnya akan berbeda ceritanya.
Bisa jadi, jika sejak awal anak tersebut jujur pada sekitarnya bahwa orang tuanya tak kunjung datang maka orang sekitarnya akan berempati padanya. Tapi, anak-anak tak begitu paham ‘cara berkomunikasi yang benar’. Maka, dibuatlah ‘sensasi’ demi mencari perhatian..
Sebenarnya, mencari perhatian dan mendapatkan pengakuan adalah ego yang sangat wajar timbul pada manusia. Aku sendiri mengaku bahwa emosi ‘ingin mendapatkan pengakuan’ adalah emosi dominan dibanding 5 emosi seorang ibu lainnya. Sampai sekarang pun, jujur aku selalu mempertanyakan setiap langkah yang aku lakukan. Apa niatku? Apa sebenarnya yang ingin aku sampaikan?
Menyadari Emosi Seapa-Adanya
Dongeng anak gembala sebenarnya so related dengan kehidupan ibu-ibu loh.
Eh, dimana relatednya win?
Sadar gak, di era sosial media begitu marak seperti sekarang. Kita sering kali mungkin berperilaku seperti anak gembala. Mencari perhatian. Terinfluence pada konten-konten orang lain. Konten tentang keluhan menjadi IRT misalnya. Dari yang biasa saja sampai kemudian berbau menyalahkan suami. Konten-konten demikian ini, sadar gak sih bahwa peminatnya semakin banyak karena merasa senasib? Lantas satu demi satu kreator berlomba membuat pelampiasan emosi. Untuk bersuara. Yang awalnya hanya untuk ‘release’ kemudian dijadikan ajang mencari pengakuan.
Tidak salah sebenarnya. Yang dipertanyakan adalah.. Sebenarnya, apa sih niat membuat konten demikian? Ingin mengutarakan masalah atau ingin mendapatkan pengakuan? Atau ingin mencari teman senasib?
Aku bisa paham jika tujuannya ingin mencari teman senasib, karena pernah berada diposisi demikian. Setidaknya pernah dalam sekian fase demikian. Namun, setelah mendapatkan 4-5 teman senasib, aku memutuskan berhenti melakukannya. Sharing permasalahan pribadi pada umum yang tidak menemukan solusi mungkin merupakan toxic bagi sebagian orang yang tidak mengerti. Sebaliknya, ketika menemukan hikmah dalam permasalahan aku biasa menuliskannya di blog agar menjadi insight buatku dan pasangan.
Jadi, apakah membuat konten tentang keluhan itu sesat?
Tidak. Tentu saja tidak. Semuanya tergantung dari ‘niat’. Jika niatnya untuk mencari pengakuan dari orang lain. Untuk mendapatkan perhatian.. Maka, mungkin perlu dipikirkan lagi. Tapi, jika niatnya untuk kebaikan. Merangkul ibu-ibu senasib, memberikan pemahaman pada para suami yang mindsetnya terlalu sempit tentu tak apa-apa.
Pada kelas rangkul keluarga kita. Aku jadi paham banget bahwa mengenali emosi diri itu adalah ilmu dasar yang perlu dipahami. Jadi, ketika kita melakukan sesuatu hal.. Segala sesuatu itu harus dipertanyakan berkali-kali pada diri sendiri. Kenapa aku melakukan ini? Release Emosi? Apa dampaknya jika aku melakukan ini? Apakah aku siap dengan kritik orang lain? Apakah aku membuat ini hanya untuk mendapatkan pengakuan bahwa aku benar? Apakah yang aku tulis berguna atau membuat boomerang efek pada diriku sendiri?
Menyadari emosi, menerima seapaadanya, mengungkapkan dengan baik pada tempatnya, membuat konten positif untuk outputnya. Inilah yang mungkin perlu banget dikelola pada seorang Ibu.
Lantas bagaimana jika sulit sekali berkomunikasi pada suami?
Ehem, aku sering menulis hal ini loh
Berkomunikasi tak melulu kunci
Jika Tak Ingin Memiliki Ending Seperti Penggembala Domba
“Jangan pernah sekalipun berbohong. Sekali berbohong orang mungkin masih berempati padamu. Dua kali berbohong, orang mulai waspada pada apa yang engkau sampaikan. Tiga kali berbohong, orang tak akan percaya lagi padamu”
Ending dari dongeng itu adalah, penggembala domba tak lagi dipercayai oleh orang lain.
Alih-alih berteriak ‘serigala..serigala..’ Padahal banyak hal yang bisa dilakukan oleh anak tersebut jika merasa kesepian. Ia mungkin tidak bisa melepas dombanya karena diamanahkan untuk terus menjaganya. Akan tetapi, penggembala masih memiliki pilihan untuk menangis dan meronta. Itu jauh lebih baik dibanding berdusta.
Berkata bahwa ia kesepian, orang tuanya tak kunjung datang, kelaparan.. Jauh lebih baik dibanding berdusta bahwa ada kedatangan serigala.
Apa yang dilakukan pendengar jika mendengar hal ini?
Mendengarkan. Berempati. Menolong. Atau diam saja.
Berempati dan menolong dengan membawakannya makanan dan menemaninya sejenak. Mendengarkan tangisannya dikejauhan namun tak menolong pun tak apa. Aku yakin dengan jujur tentang apa yang sedang dialami, akan jauh lebih baik dari pada mencari perhatian dengan berbohong. Kesepian, sesungguhnya bukanlah hal yang memalukan.
Ibu rumah tangga kesepian, capek, dan frustasi di rumah seorang diri itu bukanlah hal memalukan untuk dikeluhkan. Tapi akan menjadi salah jika Ibu tersebut berteriak-teriak menyalahkan orang lain. Menyalahkan cuaca, menyalahkan suami, menyalahkan Tuhan sekali lagi dengan niat ‘demi mencari perhatian’. Apalagi jika kesakitan dan risiko itu sebenarnya sudah merupakan konsekuensi dari pilihannya sendiri. Solusinya adalah memintalah pertolongan pada hal yang lebih realistis. Bukan mencari perhatian kemana-mana.
Dan sebenarnya, anak gembala memiliki pilihan kreatif untuk dilakukan pada saat kesepian.
Yaitu mencoba berteman dan memanfaatkan keadaannya untuk hal yang produktif. Berteman dengan domba, mencukur bulunya, belajar meniup seruling untuk memandu para domba, menganalisis tanaman yang dimakan oleh domba. Menerima keadaan seapaadanya…Bahwa ia sekarang sendirian, dan apa boleh buat?
Mungkin sang anak gembala tak berpikir sampai kearah demikian karena ia masih anak-anak dan belum dewasa. Maka, inti dari dongeng untuk anak-anak pun memiliki pesan demikian.
Tapi, setalah aku selesai membaca dongeng ini untuk anak-anakku.. Aku pun tersadar bahwa meski ini cerita anak-anak.. Value yang disampaikan pun bahwa sebenarnya berlaku untuk orang dewasa sepertiku. Mungkin dongeng penggembala domba ini adalah sebuah kisah nyata dengan pesan demikian untuk anak-anak. Agar anak-anak tak akan pernah berdusta.
Andai penggembala domba dalam cerita itu sudah besar sekarang, mungkin ia akan banyak belajar dari masa kecilnya. Memahami emosi yang hadir, mengelolanya dengan lebih baik, memanfaatkan kesepian untuk hal yang produktif..
Sebenarnya, andai saja tokoh-tokoh dalam dongeng diteruskan masa depannya.. Mungkin ceritanya akan terdengar lebih menarik dan lebih dewasa bukan? Bagaimana menurut kalian?