Browsed by
Category: Parenting

Cara sederhana menjauhkan paham Materialisme pada Anak

Cara sederhana menjauhkan paham Materialisme pada Anak

source: yuk belajar parenting

“Mama, mau beli Itu!!!!” Raung seorang anak kecil di mall sambil menarik tangan Mamanya.

“Tapi kan kamu sudah beli mainan, sudah main di time zone, dan sudah makan ice cream sayang?”

“Tapi aku belum punya yang ini Ma!!!” Raung sang anak sambil memegangi mainan di etalase.

***

Familiar dengan pemandangan diatas? Atau bahkan kita sendiri pernah mengalaminya? Pernahkah terbesit dipikiran anda bahwa anak anda sudah melewati masa tantrum namun kenapa masih sedemikian manja?

Ya, Bisa jadi paham materialisme mulai masuk kedalam pola pikir si kecil loh Bunda!

*tsah.. Penulis kok lebay amat gitu aja dibilang matre! Ini anak kecil loh, belum ngerti apa-apa tentang uang*

Ya, bilang saja begitu. Terus saja anggap mereka anak kecil yang tidak akan membawa inner child nya sebagai dampak psikologisnya di masa depan. Terus saja berpikir bahwa hal diatas adalah hal wajar dengan mengatasnamakan “Biasalah.. Anak kecil” 

Ya.. Terus saja begitu.

Dan jangan salahkan jika suatu saat ketika ia besar maka ia akan meminta hal besar yang tiada habisnya. Lalu saat itu terjadi maka hanya ada penyesalan dalam diri kita sebagai orang tua. Kenapa sedari kecil aku tak menyadari bahwa telah membiarkan paham materialismenya berkembang? 

Sebenarnya apa itu Materialisme?

Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata, ia berkembang dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam. Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis. Jadi, paham materialisme bukan soal uang saja tapi segala bentuk pemenuhan keinginan dengan ‘materi’ disebut dengan materialisme. Orang materialisme akan sangat bahagia jika semua keinginannya dapat dipenuhi dengan materi-materi tersebut. *semoga bisa dipahami ya..

Jadi kenapa paham materialisme harus dicegah sejak kecil?

Nah, Taukah anda? Mental anak akan rusak akibat dari paham materialisme. Di negara inggris, dampak paham materialisme pada anak bahkan terus meningkat.

Sekitar 89% orang dewasa sepakat bahwa anak generasi sekarang jauh lebih materialistis dibanding sebelumnya. Pada jangka panjang efek dari paham materialisme dapat membuat anak-anak menjadi sangat individualis, serakah, serta tidak memiliki simpati dan empati saat dewasa nanti.

Siapa yang bertanggung jawab atas hal ini? Orang tuanya? Para pemasar produk komersial pada anak-anak? Televisi? Lingkungan anak? Sosial Media?

Tercatat keuntungan industri di Inggris dari segmen pasar anak-anak diestimasikan mencapai sebesar 30 miliar poundsterling.

Waw.. Bukan cuma segmen pasar cewek loh yang besar!

Ya, menjual ‘life style’ pada anak-anak telah mengakibatkan budaya kompetisi materialisme yang akhirnya membuat anak-anak menjadi sangat individualis ketika dewasa nanti. Jadi, Apakah kita akan membiarkannya?

Menurut pendapatku, paham materialisme pada anak adalah akar dari kehancuran generasi. Setuju?

Karena itu, JANGAN biarkan anak kita menjadi materialistis. Sebab, kita akan menjadi sangat repot untuk memenuhi semua keinginannya. Jika materialisme pada anak terus dibiarkan maka mental anak-anak akan menjadi rusak.

Ya.. Ya.. Kita memang sayang dengan anak. Tapi apakah harus menunjukkannya dengan bentuk materi? Apakah materi adalah segalanya?

Yuk, simak beberapa cara sederhana untuk menjauhkan paham materialisme pada anak:

1. Ajari anak untuk hidup Hemat dan Sederhana

Sejak kecil aku selalu teringat pada sebuah tulisan didinding kamar dan dinding kelas di Sekolah Dasar yang berbunyi,

“Rajin pangkal Pandai, Hemat pangkal Kaya” 

Ya, memang tulisan sederhana tapi cukup berpengaruh.

Waktu kecil aku dipandang sebagai “Anak Orang Kaya” di kampungku. Namun sampai sekarang pun aku tidak pernah merasa kaya. Jika aku menginginkan membeli sesuatu maka aku harus menabung. Kebiasaan ini menular dari orang tuaku dan berlaku sampai sekarang.

Dan aku harus berhasil menularkan kebiasaan ini kepada anakku. Bagaimana caranya?

Pertama aku memperkenalkannya pada nominal uang. Bagaimana wujud seribu, dua ribu dan lima ribu. Uang dua ribu rupiah adalah uang sakunya disekolah setiap hari. Dan dia boleh menghabiskannya atau menabungnya.

Nah, apakah dia menabungnya?

Tentu saja tidak.. 😂

Saat si kecil berada dilingkungan sekolah dimana ia dihadapkan pada pergaulan dengan teman-temannya dan para penjual diluar maka sebagai Ibu aku harus memahami kebutuhannya.

Ya, kebutuhan bahwa ia perlu diterima pada pergaulannya. Kebutuhan mata dan perutnya. Mana bisa aku memaksanya untuk menabung keseluruhan uangnya? Yang bisa aku lakukan hanya membuatnya memilih.

“Buat beli susu atau mainan?” tanyaku

“Mau beli susu tapi mau beli mainan juga” kata anakku

“Tapi kalau begitu uang Farisha enggak cukup”

Source: shutterstock

Dan drama berakhir. Ya, sesederhana itu. Caraku mengatur keuangan anakku adalah dengan membatasi uang sakunya. Karena anak seumur dia belum mengerti cara mengontrol uang yang benar. Dia bahkan tidak tau bahwa uang lima ribu itu harus ada kembaliannya jika ia hanya berbelanja dua ribu rupiah.

Jadi, poin pertama cara menghemat adalah “batasi uang sakunya”

Bagaimana cara membuatnya hidup sederhana dan bersyukur dengan kesederhanaan? Yuk, baca di point 4,5 dan 6.

2. Sejatinya anak adalah peniru, maka jangan jadi Ibu yang materialistis

Anak akan meniru perilaku ibunya. Maka bagaimana bisa kita mengajarkan pola hidup non konsumtif jika kita sendiri sangat konsumtif?

*okeh, abaikan curcolan lipstik saya sebelumnya ya.. Saya kan dapet dari endorse.. 😝 #sokbanget

Pernah melihat anak iri jika kita membeli barang di mall sementara ia tidak membeli apa-apa? Wajarkah? Ya, wajar! Anakku juga demikian.

Karena itu sebisa mungkin kita harus tampil hemat setidaknya dihadapan anak kita. Belilah barang yang sesuai kebutuhan saja, bukan keinginan. Dan yang terpenting, belajarlah untuk menjadi ibu yang produktif.

Ibu produktif? Kerja ya? 

Buat aku, yang dinamakan Ibu produktif itu ga harus kerja diluar. Apalagi untuk sekedar dipandang produktif oleh anak maka kita harus kerja diluar. Itu bukan solusi bijak buat aku. Hehe..

Yang harus kita lakukan untuk terlihat produktif dihadapannya adalah dengan menjadi Ibu ‘Homemade’. Ya, aktifitas produktif dirumah yang dapat dilihat sikecil yaitu memasak dan mengajarinya bermain kreatif.

Baca juga: Kata siapa media eksplorasi anak harus mahal? 

3. Ajari dia untuk belajar pola hidup produktif dengan kreatifitas 

Semua Ibu tentu setuju bahwa ‘membuat mainan’ jauh lebih baik dibanding ‘membeli mainan’. Mengapa demikian?

Karena dengan mengajaknya membuat mainan maka kita telah menghadirkan pola pikir produktif dalam otak anak kita. Sementara dengan membeli mainan maka berarti kita telah mengajarkannya untuk berpola pikir konsumtif. Pemikiran ini akan berdampak sekali ketika ia mengambil keputusan saat dewasa nanti.

Tentunya kita pasti lebih suka dengan anak produktif dong dibanding anak konsumtif?

Dengan membuat mainan sendiri anak akan belajar ‘tantangan’ dan berpikir lebih maju. Hal ini akan berdampak positif dimasa depannya. Ia akan senang ‘membuat’ sesuatu dibanding ‘membeli’ sesuatu. Ya, penemu-penemu hebat di zaman revolusi industri dulu tidak akan pernah bisa ‘menemukan’ jika mereka tidak kreatif.

Ada sensasi menyenangkan tersendiri ketika anak berhasil membuat mainannya sendiri. Hal itulah yang membuatnya merasa bangga lalu bahagia. Itulah point terpenting dari kreatifitas. Ia bahagia karena bisa mengolah sesuatu bukan sekedar memiliki karena sudah membelinya. 😊

4. Ajak dia untuk selalu menengok kebawah 

“Si ‘anu’ saja dibelikan mainan xxx sama mamanya Ma.. Masa aku enggak?”

Familiar dengan kata demikian? Anak suka sekali membandingkan dirinya dengan kondisi ekonomi anak seumurnya. Jika itu terjadi, maka ajarilah dia simpati dan empati.

Baca juga: Empati dan Simpati, Solusi jitu untuk mengakhiri tantrum anakku

Ya, jika anak mulai suka ‘menengok keatas’ maka suruhlah ia untuk lebih sering ‘menengok kebawah’. Perlihatkan kepada anak bahwa masih banyak anak-anak yang tidak seberuntung dirinya. Ajak dia untuk mensyukuri setiap detik kehidupannya. Dan yang terpenting ubah ‘tujuan hidupnya’.

Apa tujuan hidupnya?

Yaitu menolong mereka yang berada dibawah, bukan bersaing dengan mereka yang berada diatas. 😊

5. Ajak dia berteman dengan golongan menengah kebawah 

Oke, point keempat tidak akan terealisasi dengan baik jika point ini diabaikan. Setuju?

Ya, bagaimana bisa anak akan benar-benar merasa simpati dan empati saat teman-teman sekelilingnya hanyalah teman-teman berekonomi menengah keatas yang memiliki hoby pamer dan merendahkan yang lain. Sedikit-banyak, anak kita pasti akan tertular.

Karena itu, ajak dia untuk tidak pemilih dalam berteman. Jika dia berteman dengan golongan yang itu-itu saja, ada baiknya kita membuatnya membaur dengan golongan menengah kebawah. Hal ini agar rasa empatinya dapat berkembang.

source: kid world citizen

6. Ajari anak pola konsumtif yang benar

Pola konsumtif tidak sepenuhnya salah. Asal, konsumtif pada hal yang benar. Apa itu? Sedekah?

Bagaimana mengajarkan si kecil sedekah? Apa harus secara langsung memberi uang kepada yang tidak mampu?

Hmm.. Tidak, Bagiku itu tidak terlalu bijak.

Cara mengajarkan si kecil sedekah itu simple. Yaitu, dengan berbelanja. 😅

Ya, aku sering mengajak anakku kepasar tradisional, ketoko buku, ketoko bahan kue. Dia suka sekali mengikutiku berbelanja untuk mencari bahan memasak. Aku pun mengajarkan rule dasar saat berbelanja.

Pertama, jangan menawar. Apalagi kepada penjual sayur. *kalo ikan boleh lah dikit-dikit.. 😝 (emak ngirit mode on)

Kedua, jangan berbelanja mainan di mall. Belanja mainan hanya di pasar tradisional dan depan sekolah.

Ketiga, jangan berprasangka buruk dengan penjual makanan. Niatkan kita membeli untuk menolong. *anak laper saat diajak jalan? Takut makanan yang dijual orang ga higienis? Singkirkan prasangka! 😉

Keempat, boleh banget belanja Buku. Apalagi di cuci gudang. Hehe😆 *kalo di mall sih tetep yaaa.. Ogah si emak.. Trus dibisikin “kita beli online aja ya nak” 😬

Kelima, pamerlah saat si emak sedang sedekah. *ada kotak amal nganggur? Perlihatkan kepada anak bahwa si emak masukin uang! Pamer sama anak itu boleh banget!

7. Sesulit apapun, jangan keluhkan kondisi keuangan dihadapannya 

Sedang berada di titik bawah keuangan rumah tangga?

Sebisa mungkin jangan pernah mengeluh dihadapan sikecil.. Kenapa?

Karena ia tidak mengerti apa-apa tentang uang. Ia masih dalam tahap mencari passion yang sesuai untuknya. Maka apa jadinya jika saat passionnya belum matang ia malah berpikir untuk mencari uang?

Ya, passionnya terbengkalai. Maka jangan salahkan jika ada beberapa anak kecil yang dulu bercita-cita jadi Guru, jadi Ilmuwan, dan lain-lain tapi ketika besar cita-citanya berubah jadi pegawai bank, menteri keuangan, pencetak uang. Nah, ga banget kan?

Saat cita-citanya berubah dengan tujuan hanya untuk ‘mencari banyak uang’ saat itulah kita sadar telah mendukung paham materialisme dalam dirinya.

Ingat bu! Uang bukan tujuan hidup!

8. Jangan memberikan reward berupa uang atau benda mahal yang bernilai prestise 

“Ayo sholat, kalo sholat Mama beriin dua ribu”

“Yeeey.. Oke Mama!”

Sound Familiar? Atau jangan-jangan itu masa kecil kita dulu. 😅

Oke, jangan diulangi ya!

Kenapa? Karena reward berupa uang itu receh banget buat kebahagiaannya. Dia berhak mendapatkan hal lebih dibanding dua ribu rupiah. *bukaan.. Bukan jadi dua puluh ribu juga bu… 😑

Kenapa tidak boleh membiasakan memberi anak uang sebagai reward?

Karena ia akan terbiasa nantinya. Ia akan menilai segala jasa baiknya dengan uang ketika besar nanti. Ketika disuruh membantu mencuci piring, memasak, menjemur pakaian maka ia akan meminta imbalan berupa uang atau materi lainnya. Mau begini bu? Ga banget kaan?

Maka, sedari kecil biasakan anak untuk membantu kita dengan ikhlas. Kenapa harus ikhlas? Karena ia sayang dengan kita.. 😊

Semoga cara-cara sederhana diatas dapat membantu ya..

Happy Parenting.. 😊

Pengalaman menyusui pasca Operasi Caesar

Pengalaman menyusui pasca Operasi Caesar

Dari masa hamil, melahirkan, hingga menyusui mana yang paling berkesan buat kalian? 

Buatku, masa yang paling berkesan yaitu masa menyusui. Benar-benar pengalaman romantis dengan bayi dan penuh warna warni drama. Ah, jika mengenang masa itu aku jadi merasa rindu. Rindu dengan tangisannya setiap malam, rindu mengganti popoknya, rindu dengan bau bayi yang memenuhi seisi ruangan kamar. Ya, aku rindu. Rindu dengan kelelahan karena cinta. 

Masa romantis kami berdua bukanlah seindah bayangan kalian. Entahlah, bagiku hal yang dinamakan romantis itu bukanlah sesuatu yang dipenuhi dengan moment berbunga-bunga dan senyum bahagia_seperti iklan Mom and Baby di televisi pada umumnya. Romantis dalam definisiku sendiri adalah saat kami dapat melalui segalanya dengan indah. Ya, segalanya.. drama suka dan drama duka. 

Kenyataan romantis pertama adalah menyusui bukanlah perkara mudah yang bisa dilakukan hanya dengan mengeluarkan payudara saja. Ya, seandainya aku tau bahwa menyusui akan sesulit ini mungkin aku akan mengambil kelas menyusui sebelum melahirkan.

Sulit?

Ya, siapa sangka menyusui itu menuai banyak drama. Terlebih jika proses melahirkan secara caesar. Jika ingat hari pertama aku mencoba menyusui anakku, rasa menyerah itu selalu menggodaku untuk mencoba susu formula. 

Jika saja saat itu aku tidak tinggal bersama mama dan kakakku mungkin aku sudah menjejalkan dot berisi susu formula kedalam mulut anakku yang tak kunjung berhenti menangis. Tapi beruntunglah aku, berkat dukungan dari orang-orang yang menyayangiku maka anakku dapat memperoleh ASI ekslusif dariku.

Beberapa uraian dibawah ini adalah tahapan proses tentang bagaimana akhirnya aku bisa menyusui anakku walau dengan keadaan yang tak menentu. 

1. Menahan sakit luka dan jahitan

Hal pertama yang harus aku lalui pasca operasi caesar adalah menahan sakit dari jahitan besar diperutku. Luka itu sungguh nyeri dan menyakitkan. Aku tidak tahu bagaimana rasa sakit dari melahirkan secara normal. Konon mereka bilang melahirkan secara normal sangat sakit saat prosesnya kemudian lebih cepat sembuhnya. 

Sementara aku? Aku tak merasakan apapun saat melahirkan. Tidak ada jeritan kencang yang aku keluarkan tanda sebuah perjuangan. Kemudian saat aku terbangun dari obat bius, saat itulah aku merasakan sakit luar biasa.

Pasca melahirkan aku hanya bisa berbaring saja. Bahkan sekedar duduk saja aku takut. Aku tak menyangka caesar akan semengerikan ini. Yah, siapa suruh caesar? 

Mungkin suatu saat aku akan bercerita tentang alasan dibalik proses melahirkan secara caesar. Yang jelas kalaupun boleh memilih, tentu aku ingin sekali melahirkan secara normal. 😊

IMD pun dilakukan. Bayi itu datang dan mendekap dipelukanku. Ia membuka mulutnya sambil mencari puting dan langsung menghisapnya dengan kuat. 

Saat itulah aku sadar, ternyata sakit jahitan ditambah dengan isapannya menjadi dua kali lebih sakit. 

Ya, katakan saja aku tidak bersyukur melihat bayiku yang lucu membuka mulut dengan badannya yang mungil dan wajah tak berdosa itu. Kenyataannya, aku saat itu tidak mau menyusuinya. Rasanya Sakit. Oh, ternyata menyusui itu sakit sekali, keluhku. 

2. ASI tidak keluar 

Saat aku melahirkan, disamping kiri dan kananku juga ada beberapa pasien Ibu hamil. Mereka melahirkan lebih dulu dengan jeritan yang aku dengar tepat bersebelahan denganku. Aku melihatnya menyusui anaknya setelahnya. Langsung lancar, setidaknya tanpa drama sepertiku. Aku dengar bahwa itu anaknya yang keempat. 

Sementara aku? Anakku menangis paling kencang dibanding yang lain. Tadinya aku mengira itu karena dia memang lebih besar dibanding bayi lain sehingga dia terkesan lebih kuat. Ternyata setelah beberapa kali menyusu dengan durasi yang sangat lama tapi masih saja dia menangis. Saat itu aku sadar, ASI ku tidak keluar. 

Panik? tentu saja. Terlebih Rumah Sakit tempat aku melahirkan sangat pro ASI sehingga tidak memperbolehkan satu sendok susu formula pun sampai masuk di rongga mulut bayi. Bukan hanya itu, saat mereka tau bahwa ayahku meminumkan bayiku air putih mereka langsung melarang dengan keras. 

Aku berpikir, “Bagaimana lagi?” 

Bayiku haus, ASIku tak keluar. Putingku lecet dan berdarah-darah. Sementara jahitan perutku? Jangan ditanya. Nyeri sekali. 

Suamiku? Tidak ada. 

Aku melahirkan tanpa didampingi oleh suami. Please Don’t ask me why? Cause every people have different problem, Yes? 

Saat itulah aku mencoba beberapa ide konyol. Seperti mencari ibu susuan lain hingga diam-diam ingin membeli susu formula. Ayahku mendukungku, dia khawatir melihat bayiku yang terus menangis. Ibuku kasian padaku, dia sempat beberapa kali menghisapkan payudaranya demi tak tahan melihat aku kesakitan. 

Kakakku? Bersikeras bahwa aku tidak boleh berhenti menyusukan anakku. Ia bilang bahwa kalau tidak disusui maka ASIku tidak akan bisa keluar, karena tidak ada rangsangan. Tapi bagaimana? Ini SAKIT! serius. 

3. Daun Binahung, Penolong pertama 

Aku berkata, “Andai jahitan perut ini tidak sakit maka tentu saja akan terus aku susui Farisha. Tapi ini sakit sekali. Andai ada yang bisa mengurangi rasa nyerinya” 

Besok harinya pertolongan itu datang. Calon Iparku membawakanku Daun Binahung. Konon, daun ini dapat mengurangi rasa nyeri pada luka jika dikonsumsi. Alhamdulillah, aku tertolong. 

Aku mengkonsumsi daun itu dan langsung merasakan efeknya. Nyeri pada perutku berangsur-angsur berkurang. Akupun bersemangat untuk terus menyusui Farisha hingga ASIku dapat keluar. 

Esok harinya, aku sudah dapat duduk, berdiri dan berjalan. Aku sangat bersyukur. Tapi ternyata bayiku.. 

4. Bayiku Kuning

“Bayi Ny. Aswinda harus di sinari dulu karena Kuning” kata Bidan saat itu. 

Aku shock. Ya, tentu saja dia kuning pikirku. Dia kelelahan menyusu denganku yang mungkin saja tak ada apapun yang dia isap. Ia haus, dia lapar. Dan kalian membiarkannya terus menyusu padaku yang jelas-jelas tidak memiliki ASI? 

Tapi mereka bilang tidak apa-apa. Itu wajar. Tapi Bagaimana bisa itu sangat wajar? 

Bayiku terus menangis, kulit wajahnya kuning, matanya kuning, dan berat badannya turun. Dulu beratnya 3,4 kg dan sekarang hanya 3, 2 kg. Dan ini baru hari kedua dia lahir. 

Aku menyusuinya diruangan penyinaran sambil menunduk. Ingin sekali menangis. Salah seorang ibu juga memiliki nasib sama sepertiku disana. Dia berbicara padaku, “Coba kalau mereka memperbolehkan susu formula, mungkin bayi saya tidak begini” 

Aku mengangguk membenarkan. Ya, aku juga Ibu yang sangat peduli ASI. Tapi jika sampai begini bagaimana bisa kami masih keras kepala memberinya ASI. Bagaimana kalau bayi kami menginap lama di ruang ini? Bagaimana kalau berat badannya tak kunjung naik? Bagaimana kalau.. 

5. Dilema antara mengakhiri nyeri atau dia kelaparan

Aku mulai mengumpulkan informasi tentang cara memperbanyak ASI. Aku meminum segala suplemen penambah ASI. Memakan segala sumber sayur penambah ASI hingga mulai mencari informasi tentang daun binahung. 

Bukannya kenapa, tapi aku hanya ingin tahu dosis memakan daun ini ‘yang benar’. Dan saat membaca salah satu artikel (yang entahlah hoax atau tidak) menjelaskan bahwa daun binahung dapat mengurangi produksi ASI. Saat itulah aku terdiam kaku. 

Aku lalu menghentikan konsumsi daun binahung itu. Mendengus dengan perawat dan bidan yang membenarkan efeknya tanpa memperhitungkan efek negatifnya. Aku terus menyusui bayiku dengan menahan-nahan rasa sakit dan nyeri pada perutku. 

Shock terus membayangiku saat pagi dan pagi besoknya. Berat Farisha terus menurun hingga hanya 3 kg. Tangisannya tak kunjung berubah durasinya. Dia tidak bisa tidur nyenyak karena kehausan. 

Walau masih kuning dan berat badan yang terus menurun_Farisha dan aku diperbolehkan pulang saat itu. Aku lega, berpikir bahwa jika kata ‘pulang’ berarti bahwa ia baik-baik saja

6. Baby Blues

Episode berikutnya adalah terbebas dari bau tidak menyenangkan di Rumah Sakit. Aku senang berada dirumah. Mama dan Ayah sangat membantuku untuk mengurus bayiku. Mama menemaniku begadang setiap malam. Aku senang karena semua perkakas bayi yang dibeli sekarang terpakai dengan cantik dikamarku. 

Tapi entah kenapa perasaan tidak menyenangkan itu datang tiba-tiba saja. Perasaan berbisik yang mengatakan,

Mana Suamimu? Kenapa dia tidak disini? Tidak bisakah pulang sebentar untuk menengok anaknya yang sudah lahir?” 

“Taukah? Kehidupanmu mulai sekarang akan berputar begini-begini saja. Menyusui, mencuci, begadang, menyusui lagi, menangis lagi, oooh.. Tidakkah kamu rindu dengan masa mudamu dulu? Tidak mau keluar sebentar menghirup udara kebebasan?” 

Kebebasan. Ya, aku membutuhkannya. Pikirku. Aku ingin keluar sebentar dari rutinitas ini. Entahlah apa itu, aku ingin makan diluar, bertemu teman dan ‘memamerkan’ bayiku atau mengajaknya berjalan-jalan di luar sana berdua saja. Bukankah itu menyenangkan? 

Tapi kalimat mama menekankan “Tidak boleh membawa bayi keluar kalau umurnya belum 40 hari” 

Dan aku stress. Baby blues mulai menghantuiku. Aku mulai menangis tidak jelas. Keadaan itu diperparah dengan warna kuning yang tak kunjung hilang dari wajah dan mata anakku. Ya Allah, dia kehausan dan ASI ku masih begini-begini saja. 

7. Habbatussauda? Yes

“Jintan Hitam bagus buat memperlancar ASI” kata salah seorang temanku. 

Aku langsung membelinya. Memakannya 2 kali sehari. Dua hari sejak aku mengkonsumsi jintan hitam, ASIku mulai keluar. Farisha bisa tidur nyenyak setidaknya satu jam setelah menyusu denganku. Aku sangat bersyukur. Entahlah itu karena jintan hitam atau karena sudah satu minggu Farisha bekerja keras dengan terus menghisap_yang jelas aku sangat bersyukur. 

Aku lalu melanjutkan mengkonsumsi daun binahung lagi agar nyeri pada luka jahitanku segera sembuh. Dan daun binahung benar-benar bisa diandalkan. Alhamdulillah.. 

8. Finally, Berat badan kembali Normal, suami datang dan Selamat tinggal Baby Blues.

Pasca aku menyusui dengan lancar, berat badan Farisha mulai kembali pada berat awal kelahiran. Aku senang, walau masih ada kekuningan dimatanya. Sensasi senang yang aku rasakan saat itu menghapus bisikan dari baby blues yang sempat aku rasakan. Saat itu aku berkata dalam hati, “Ya, untuk kamulah mama hidup!”

Beberapa saat setelah itu suamiku pulang. Dan sensasi menjadi keluarga kecil bahagia telah memperlancar ASIku hingga mengucur deras keluar. Saat itu aku mengerti, bahwa ASI booster terbaik adalah dengan terus menyuplai perasaan bahagia.

***

Demikian cerita tentang proses menyusui pasca persalinan caesar dariku. Semoga dapat menginspirasi para bunda yang sedang berjuang menyusui dan merasakan kesulitan karena konon persalinan caesar membuat ASI tidak terangsang keluar.

Berikut beberapa saran dariku dalam proses menyusui:

1. Yakinkan diri, aku pasti bisa menyusui

2. Jangan menyerah, karena beberapa ibu memang mengalami keterlambatan pengeluaran ASI apalagi jika anak pertama.

3. Bahagiakan diri dan jangan stress.

4. Mengkonsumsi makanan bergizi pendukung  dan pelancar ASI

Happy Breastfeeding.. 😊

Fase baru dalam kehidupan anakku, “Biarkan dia Keluar Kandang” 

Fase baru dalam kehidupan anakku, “Biarkan dia Keluar Kandang” 

“Sudah saatnya kita mulai mencoba perlahan melepasnya didunia luar” 

Aku mengangguk dan meng’iya’kan didalam hati. 

——————————————————————

Sejauh ini menyandang status Ibu, pernah saja terlintas sebuah rasa penyesalan tentang jenjang pendidikan yang aku tempuh. 

“Oh.. Kenapa dulu tak kuliah di sosiologi saja, oh.. Kenapa tidak jadi psikolog aja, oh.. Kenapa tidak kursus memasak aja.. Oh.. Kenapa dulu tidak magang di bursa efek indonesia saja supaya bisa kerja dirumah sambil main saham, oh.. Bukan..harusnya saya begini..begini..begitu..” 

Kenyataannya sejauh ini aku tidak bisa memilih dalam hal passion. Aku mencoba semuanya. Aku ingin BISA SEMUANYA. Aku ingin membahagiakan anakku. Aku ingin selalu menjadi orang yang paling dicintai oleh suami dan anakku. Here I’m.. A Toddler Divergent Mommy

Menjadi serba bisa telah sukses membuat anakku bahagia ‘dirumah’. Aku menjadi tukang masak, teman bermain, dan ibu yang ‘berusaha’ sabar. Keadaan itu sukses membuat anakku tumbuh menjadi normal sempurna. Setidaknya, dia tidak punya teman imajinasi sepertiku dulu dan itu membuatku berpikir bahwa psikologisnya tidak perlu beradaptasi dengan menciptakan teman khayalan. Yes, aku telah menjadi segala-galanya baginya. Bukan hal yang patut dibanggakan ya. 

Kenapa? Karena konon jika anak memiliki mama yang serba bisa maka anak akan tumbuh menjadi manja. Apalagi jika dia tidak memiliki adik. Sang mama adalah pusat perhatian baginya. Hal ini menyebabkan pola asuh yang seharusnya demoktaris secara tidak disadari berubah menjadi permisif. 

Pola asuh Permisif adalah pola asuh yang menuruti segala permintaan anak. Pola asuh seperti ini dapat terjadi jika anak cenderung dimanjakan dan tak memiliki saingan dalam kasih sayang. Kebanyakan para Ibu terhipnotis dengan nyamannya menerapkan pola asuh ini karena senang melihat anak tidak menjerit, dapat diam serta memujinya. Namun, akibat dari pola asuh permisif sangat buruk. Anak akan menjadi manja, tidak punya empati dan simpati, tantrum berkelanjutan hingga selalu menganggap dirinya Raja dimana saja. 

Beruntunglah aku tidak menerapkan pola asuh permisif. Kadang rasa jenuh itu adalah hal yang patut disyukuri. Ya, aku jenuh menjadi serba bisa ketika anakku menginjak usia 3 tahun. Jenuh berakting pura-pura baik, jenuh menjadi teman mainnya, jenuh 24 jam bersamanya dan mengabaikan ‘me time’ ku. Akhirnya, aku membiarkannya bereksplorasi diluar rumah. 

Bagi seorang Ibu yang introvert sepertiku jelas bahwa dunia luar bukan duniaku. Namun, untuk mengenalkan anak pada dunia sosialisasi maka terpaksa aku menemaninya. Aku juga harus berpura-pura nyambung dengan obrolan gosip tetangga agar anak kami dapat terus berteman. Dan aku menikmatinya, lebih tepatnya pura-pura menikmatinya. Haha

Sejak aku sering mengajak anakku keluar rumah, dia menjadi kecanduan. Dia sering keluar rumah tanpa sepengetahuanku yang sedang sibuk didapur. Jujur, aku tidak menyukainya. Bagiku, lebih baik kalau dia membantuku bermain dough didapur dibanding keluar rumah. Repot sekali menjaganya, pikirku. 

Lama kelamaan aku sadar, bahwa anakku butuh teman yang nyata dan bisa bermain tanpa akting. Sedangkan aku? Terlalu banyak cut untuk bolak balik dapur. Ah, Mungkin saja sebenarnya selama ini anakku cuma pura-pura senang bermain denganku, pikirku. Aku pun membiarkannya bermain diluar sekarang. 

Lepas sepenuhnya dari pengawasanku.. 

Tadinya, dia sering menangis. Mengadu bahwa temannya begini-begitu. Apa aku sabar menghadapinya? Jujur, aku tidak cukup sabar. Membiarkan anak bermain diluar adalah sebuah masalah baru bagiku. Sementara aku sadar, aku tak bisa selalu menemaninya diluar sana. Wilayahku adalah didalam rumah. 

“Masuk kedalam rumah aja kalo nangis gitu!”  Bentakku. 

Ia menangis. Masuk kedalam kamar. Membenamkan diri di bantal dan para bonekanya. Aku membiarkannya. Mendengarkan sesekali suaranya dikamar. Berharap dia punya imajinasi bahwa sang boneka adalah benda hidup. Tapi sejauh ini percuma. Anakku bukan sang imajiner. Ia hanya mengharapkanku muncul dikamarnya sambil membelai dan membelanya. 

Tapi jujur saja, selama membiarkannya bermain diluar aku jarang melakukannya. Bagiku sebagian tangisannya dan masalah dengan temannya memang bukan salah temannya sepenuhnya, namun juga kesalahannya. Jadi untuk apa aku membelanya? Sebagai orang tua yang menjauhkan diri dari pola asuh permisif, membelanya bukanlah gayaku. 

Aku selalu menyuruhnya meminta maaf dengan teman. Seburuk apapun masalahnya. Dengan solusi ini dia sukses mendapat perhatian dari temannya. Walau tangisan memang hal yang tak bisa dihindari. 

Tapi itulah awal dari kehidupannya diluar sana.. 

Proses interaksi sosial Farisha memang mengalami berbagai kendala. Hal pertama adalah Tantrum. 

Baca juga: Satu Solusi Jitu untuk Mengakhiri masa Tantrum Anakku

Pengenalan terhadap rasa empati untuk mengatasi tantrum adalah pembelajaran inti untuk dapat mengenal ‘rasa mengalah’ dengan teman. Maka, ingatlah bunda empati adalah hal basic yang perlu diajarkan sebelum anak berinteraksi sosial. 

Setelah tantrum dan rasa mengalah dapat dikuasai oleh anak, maka fase sekolah bukanlah sebuah fase yang sulit untuk dihadapi. Ia hanya perlu menyesuaikan diri dengan lingkungan dan teman baru disekolah. 

Baca juga: Tips membuat anak merasa senang disekolah

Masalah berikutnya, bukan pada anakku. Tapi pada diriku sendiri. Awalnya aku menyatakan siap untuk melepasnya kesekolah sendiri, bermain diluar sendiri hingga belajar untuk pulang sendiri. Tapi kenyataannya tidak semudah itu. 

Empat tahun lebih kami bersama. Tak pernah lepas sekalipun jauh dari mata. Anak satu-satunya. Anak perempuan yang akhirnya bisa menjadi teman dekatku. Anak yang membuatku serba bisa. Anak yang tadinya selalu berteriak dirumah saat berbagai keluhan datang. Dan dunia sekolahnya telah menyadarkanku sepenuhnya. Dia_tak bisa selamanya didekatku saja. 

Kesepian.. Inilah yang kurasa saat dia pertama kalinya kulepas pada dunia sekolah.

Sebagai perempuan yang dulu sempat merasa tidak siap menjadi Ibu..

Sebagai perempuan yang dulu sempat merasa menjadi Ibu membuat tidak bisa mengaktulaisasikan diri secara maksimal.. 

Sebagai perempuan yang sempat merasa bahwa memiliki anak membuang semua waktuku.. 

Saat melepasnya.. Disitulah aku merasakan hangatnya kerinduan, kenikmatan rasa khawatir yang dilepas dengan senyuman diwajahnya ketika pulang, dan indahnya segala ocehannya tentang dunia sekolah. 

Saat itulah aku sadar. Melepasnya dan membebaskannya adalah tindakan terbaik yang pernah kulakukan. 

Karena anak itu hanyalah titipan. Kita tidak bisa memilikinya selamanya. Kita hanyalah menanamkan nilai kebaikan kepadanya agar kebaikan dapat terus tumbuh. Kita tidak bisa selalu menjadi superwoman disampingnya. Biarkan dia menjadi superwoman dalam mengalahkan egonya sendiri. 

Banyak beberapa hal positif yang tumbuh selama farisha kubiarkan sendiri. Hal positif itu semakin tumbuh ketika dia mengenal dunia luar disekolah. Hal positif itu tumbuh ketika dia mengenal teman dan memiliki daya saing dan empati didalamnya. Akhirnya, dunia luar yang terlepas dari ‘kandang’ telah mengajarkan banyak hal. Apa saja? 

1. Dia mengenal arti Mandiri 

Awal sekolah aku mengatur segala keperluan sekolahnya. Mempersiapkan buku, alat tulis hingga bekal kedalam tas ransel mungilnya. Memasangkannya kaos kaki, sepatu, baju serta mengantar dan menungguinya disekolah. 

Seminggu kemudian aku secara mantap melepasnya. Dia berangkat sekolah bersama dengan ayahnya. Dia mulai belajar memasang segalanya sendiri, makan sendiri hingga memasukkan mainan sendiri kedalam tasnya. 😅

Seminggu kemudian dia belajar berangkat sekolah sendiri. Dia mulai berani berjalan kaki dari rumah mertua hingga kesekolah, kebetulan rumah mertuaku dan sekolahnya lumayan dekat. 

Dan semakin hari aku melihatnya tumbuh menjadi semakin mandiri. 

2. Dia mengenal arti Belajar dan arti Bermain

Awalnya aku memperkenalkan arti sekolah kepada Farisha sebagai dunia bermain ‘bersama’. Lama kelamaan dia akhirnya menyadari bahwa dia harus tunduk pada suatu aturan. Aturan itulah yang dimasukkannya dalam kategori belajar.

Aku mengatakan kepada Farisha bahwa sekolah itu tak bisa semaunya. Ada ruang kelas dimana dia harus mencari perhatian Ibu Guru disana. Dan itu tak bisa di dapatkan jika dia tidak patuh. 

3. Dia mengenal kekecewaan dan cara bangkit 

Tentu semua tau bahwa dalam sebuah permainan ada menang dan kalah. Pertama kali mengenal sebuah kekalahan anakku tidak terima. Dia protes, mengatakan bahwa dialah yang berhak menang. Seberapapun aku mencoba menjelaskan tentang arti kekalahan dan belajar_dia tetap tak mau mendengarkannya. Baginya kemenangan adalah segalanya. 

Namun lama kelamaan dia mulai belajar menerima kekalahan. Mengatasi rasa kecewa begitu saja. Kupikir dunia luar dan sekolah perlahan telah melunturkan egonya. 

4. Dia belajar arti Disiplin

Sekolah telah mengajarinya arti disiplin. Dari warna baju seragam yang berbeda setiap hari dia sudah mulai mengingat urutan dari nama hari yang benar. Dari mengenal kata terlambat dia akhirnya tau bahwa jarum pendek harus selalu berada didekat angka 7 jika mau sekolah. 

Tentu, mengenalkannya dengan waktu adalah hal yang sulit. Namun suara azan telah membuatnya mengerti waktu yang tepat untuk setiap jadwal hariannya. 

——————————————————————

Mungkin memang sudah saatnya mama tak selalu dekat denganmu. Apa artinya kehadiran mama jika itu membuatmu addicted? Membuatmu merasa selalu nomor satu? 

Mama perlu melepasmu sebentar. Merasakan kenikmatan rindu serta cerita keluh kesah, senang dan ceriamu saat kutinggalkan. 

Semoga sarangmu dulu telah memberimu cukup banyak ilmu sebagai bekal ketika berhadapan dengan rasa bimbang. 

Karena tugas orang tua sejatinya adalah Mempersiapkan anaknya untuk berpisah dengannya. 

Maka belajarlah berpisah, belajarlah percaya.. 

6 Hal yang perlu Emak tau sebelum ‘Belajar Parenting’ 

6 Hal yang perlu Emak tau sebelum ‘Belajar Parenting’ 

Parenting. Ya, ilmu yang mendadak penting dikala berstatus Ibu ini tiba-tiba begitu banyak diminati. Hal ini karena kita tak pernah sekalipun belajar ilmu parenting saat dibangku sekolah. Aneh mengingat ‘ternyata’ ilmu parenting begitu dibutuhkan karena status Ibu maupun Ayah yang akan melekat saat kita memiliki anak. 

Ayah? Jadi, parenting bukan tentang menjadi Ibu yang baik saja?

Ya, tentu saja bukan. Kok bisa bikin anak berdua_ dan yang harus mengerti ilmu parenting cuma Ibu? Gak adil dong begitu! *saya bukan penganut paham gender juga bukan penganut paham aliran keras parenting, catat. 

Jadi, ilmu parenting adalah ilmu yang ‘memang wajib’ diketahui oleh para emak-emak maupun bapak-bapak. Masalahnya? Masalahnya mengetahui itu ternyata tidak segampang mempraktikkannya pemirsa.. 😅

Kok bisa?

Ya, karena keadaan setiap Ibu itu unik. 

Ada Ibu yang memiliki passion memasak kemudian menjual hasil masakannya yang berefek jika kebanjiran orderan maka ketika sang anak rewel ‘terpaksa’ disuapi ‘youtube’. Teori Parenting mengatakan? Tidak boleh! Sementara? Sang Ibu kehidupan ekonominya terbilang pas-pasan dan tidak mungkin memiliki ART. 

Ada Ibu yang dalam keterpaksaan kondisi mengharuskannya bekerja diluar lalu selama setengah hari tidak bertemu dengan buah hatinya. Siapa yang mengurus? Mungkin Mertua, orang tuanya, hingga ART. Salahkah ketika kita mendapati sang pengasuh tidak sepengertian dengan kita? Sementara teori parenting mengatakan.. Bla bla bla.. 

Ada Ibu yang baru saja melahirkan kemudian karena kondisi psikologis yang belum matang serta keterkejutan dengan suasana baru membuatnya terkena babyblues. Kemudian baru saja satu tahun umur anaknya, dia hamil lagi dan melahirkan dengan kondisi psikologis baby blues yang belum sepenuhnya sembuh. Untuk membahagiakan dirinya saja ibu ini sulit. Bagaimana dia bisa mengaplikasikan teori parenting yang berkata….

Ahh.. Sudahlah.. 

Belum lagi pada zaman sekarang para orang tua terkesan gampang baper karena aktif dimedia sosial. Ya, media sosial memang terkadang membuat kita merasa minder ketika.. 

Melihat sang Ibu yang begitu perfeksionis dan anaknya sudah bisa bla bla..

Melihat anak artis dengan sejuta fasilitas dan baby sister yang selalu ada serta mama yang terkesan awet muda dengan video mesra bertema ‘Begini lohh.. Keluarga dan Mama dan Hebat itu..’ 

Sementara kita? 😢

Kenyataannya, mempraktikkan teori parenting sangat luar biasa sulit. Ada beberapa hal yang perlu ’emak tau’ sebelum membaca berbagai teori parenting agar dapat memahami maksud dari teori dengan pemahaman yang luas. Hal apa saja itu? Yuk, kita simak.. 

1. Waraskan diri sendiri sebelum belajar

Sebanyak apapun membaca teori parenting jika kondisi psikologis sang Ibu bermasalah maka percuma. Setuju? 

Ibu lelah pikiran, jarang berlibur, jarang me time, jarang bersosialisasi, kemudian ingin membaca teori parenting? Jangan! Tambah stress nanti.. 😂

Kewarasan Ibu bagaikan sebuah charge dalam aktivitasnya dirumah. Jadi, jangan pernah biarkan kondisi Ibu tidak waras ya. 

Bacalah teori parenting dikala otak sudah dapat menerima dengan baik. Jangan baca teori ketika anak disamping nangis ya. Tambah stress nanti.. 😅

2. Bukan hanya banyak membaca tapi LAKUKAN! 

Ini adalah kesalahan yang paling sering aku lakukan. Aku lebih sering membaca dibanding melakukan. Dan anehnya semakin banyak aku membaca malah semakin sedikit praktik yang aku lakukan. 

Bagiku mengetahui itu mudah. Melakukan luar biasa sulitnya. Menulis itu mudah, praktiknya? Luar biasa melelahkan.. 😥

Bagi seorang Ibu Introvert sepertiku membaca adalah sebuah ruang kebahagiaan namun tanpa sadar bahwa ‘ladang amal’ sedang bertebaran dirumah sendiri. 😅

Buat kamu yang sedang belajar parenting, ingatlah, lakukan! Bukan hanya pelajari! Membaca tentu boleh, tapi jangan sampai buku mengalihkan perhatian kita pada anak kita yang jauh membutuhkan perhatian kita. 

3. Jangan terlewat Baper ketika membaca Teori tak seirama

Harus diakui bahwa beberapa teori parenting itu terkesan kejam. Kejam? 

Ya, kejam. Kejam sama si pembaca kalau tidak sesuai. 

“Loh.. Ini ga boleh ternyata.. Aku sudah begini padahal sama anakku, gimana ya.. Gimana nanti kalau..bla bla..” 

Anehnya, jika tulisan parenting tersebut bersumber dari sosial media dan dikomentari dengan komentar seperti diatas akan ada saja Ibu-ibu yang sok perfeksionis dan menyalahkan. Ya, memang hal tersebut tidak salah. Makanya saran selanjutnya adalah jangan baper. 😂

Jika kita sudah berusaha sebaik-baiknya untuk menjadi Ibu yang baik namun kenyataannya ternyata kita ‘baru tau’ kalau itu ‘salah’ maka jawabannya adalah ‘Memaafkan diri sendiri dan belajar lebih baik’. Jangan merenungi kesalahan dan baper berkepanjangan. 

4. Ambil teori yang baik dan aplikable, pahami setiap Mama punya Gaya Parenting tersendiri

Harus diakui bahwa tidak semua teori parenting ‘bersahabat’ dengan keadaan kita. 

Kita tidak bisa menyamakan keadaan mereka yang memiliki baby sister dan ART dengan diri kita. 

Kita tidak bisa menyamakan keadaan mereka yang Stay At Home Mom dan Working Mom

Kita tidak bisa menyamakan mereka yang memiliki passion berbeda dengan kita. 

We have our own style.. Mom..! 

Jadi, tidak usah melirik anak artis, anak orang kaya, anak yang ‘katanya harus homeschooling’, anak yang harus begini dan begitu supaya pintar.. 

Tidak usah melirik tulisan parenting gaya mereka dan minder dengan passion kita yang berbeda. Sekali lagi.. 

We have our own style.. Mom..! 

5. Setiap anak punya metode Parenting yang berbeda

Memiliki mama yang merupakan seorang guru TK membuatku sedikit belajar untuk tidak terlalu terpaku pada buku dan artikel parenting. 

Karena sesungguhnya dalam realitanya mendidik anak kecil itu sungguh perlu memiliki banyak ‘gaya’. Ada beberapa anak yang terlahir sensitif sehingga tidak bisa mendengar nada tinggi hingga kata ‘jangan’, dia akan menangis dan perasaan lukanya membekas. Ada pula, anak yang ketika diramahi maka akan semakin menjadi-jadi gaya berkuasanya. 

Ada beberapa anak yang masa Tantrumnya tidak pernah usai kecuali ketika sang Ibu ‘Tegas’ dan mengenalkan aturan. Ada pula anak yang sedari kecil sudah memiliki perasaan halus sehingga masa tantrumnya dapat teratasi hanya dengan menanamkan empati. 

Ya, hanya kita yang tau Metode Parenting yang benar untuk anak kita. 

6. Sebaik apapun Teori, Sabar adalah segalanya

“Ya sabar laah, namanya juga anak-anak” 

“Sabar laah, kamu dulu juga begitu” 

“Sabar dulu, nanti juga dia bisa” 

“Jangan marah begitu, ya sabar lah” 

Sabar.. Sabar… 

Ya, kalau di alibaba, tokopedia, olx, lazada, shoope, blibli, bla bla ada jualan stok sabar aku bakal ikut beli deh walau ga pake free ongkir.. 😂

Kenyataannya sabar itu sulit pemirsa.. *apalagi kalau musim PMS melanda.. Ops.. 😬

Akhir kata, sepintar apapun anda_Sudah mendalami ilmu psikologi setinggi apapun anda.. Namun, kadar kesabaran anda masih dibawah emak-emak yang lulusan SD saja, maka jangan bangga dulu.. 😂 *mukul kepala sendiri

Sekali lagi aku nanya serius ya.. Ada emak-emak yang jualan stok sabar? Aku mau beli.. 😬

Sekian artikel dari saya, semoga bermanfaat.. 😊

Sumber Gambar 

Wajarkah kehadiran Teman Imajinasi pada Anak? 

Wajarkah kehadiran Teman Imajinasi pada Anak? 

Siapa yang waktu kecil punya teman imajinasi? Angkat tangan.. 🙋

(Sepertinya cuma aku.. Hiks) 

Beberapa hari ini aku tertarik untuk sedikit belajar tentang Psikologi. Aku tertarik dengan ilmu ini sejak memiliki anak. Kau tau kenapa? Karena aku ingin memahaminya. 

Ya, anak itu spesial. Melihat caranya tumbuh dengan berbagai polahnya yang membuatku sadar bahwa ilmu memahami seharusnya aku dalami sejak dulu. Dulu aku merasa bahwa memahami anak kecil sejatinya adalah mencoba flashback dengan masa kecil kita sendiri. Yup, inner child. 

Tak semua Ibu memiliki Inner Child yang sempurna. Kadang kala Inner Child membisiki_memaksa kita menghadapi anak kita sendiri untuk sama seperti saat kita kecil. Pertanyaan selanjutnya, Apakah wajar bentuk pemaksaan itu? 

Yup, aku akui. Beberapa hari ini aku sedang mengetes imajinasi anakku sendiri. Aku ingin tau seberapa besar daya khayalnya. Apakah sama sepertiku dahulu? Atau benar-benar berbeda. 

Ini terjadi ketika pertama kali aku membiarkannya bermain sendiri. Aku melihatnya duduk bosan sambil memegangi bonekanya. Termangu. 

Aku ingat sekali bahwa sudah berapa kali aku mengajarinya tentang bagaimana pura-pura berteman dengan boneka. Bagaimana cara menganggap boneka itu adalah benda hidup. Aku mengajari hal ini karena saat itu terlintas ‘rasa bosan’ saat aku harus berjam-jam menjadi teman mainnya. Tapi didalam otak anakku hanya mengerti satu hal “boneka ini tidak hidup, mama yang menghidupkannya” 

Ini bukan anak saya ya, Saya ambil gambar ini karena bagus aja.. 😛

Jadi, ketika aku menghilangkan diri dalam permainan Farisha maka boneka itu adalah benda mati. Benar-benar mati. 

Aku mencoba mengarungi masa laluku dahulu. Aku pikir aku berbeda dengan Farisha. Dulu waktu aku seumur dia aku sudah memiliki teman imajinasi. Bukan hanya satu, tapi banyak. Seingatku ada 4 orang dan semuanya perempuan. Aku cukup ingat betapa konyolnya aku berjalan-jalan sendiri menghampiri pohon rambutan, jambu biji dan mangga sebagai perwakilan dari rumah teman-teman imajinasiku. Aku punya duniaku sendiri. 

Tapi Farisha? Dia tidak betah bermain sendiri tanpaku. Kadang dia main keluar rumah tanpa seizin dariku, lari untuk bermain bersama tetangga. Andai berbicara sendiripun dia pasti punya alasan. Berbicara dengan siput misalnya. Setidaknya bila berbicara dia ingin berbicara dengan sesuatu yang bergerak. Aku menyadari dia tidak punya ‘yang lain’ dalam hidupnya. 

Dalam memahami Tuhan pun Farisha sangat kompleks. Tidak seperti aku yang manggut-manggut saja dulu. Dulu, aku pernah bertanya dengan Mama. 

“Tuhan tu Allah kan Ma? Allah dimana?”

Mama menjawab, “Allah diatas sayang” 

Dan aku selalu mengimajinasikan bahwa Allah ada diatas awan mengawasiku. Aku tak pernah bertanya hal rumit seperti Farisha… 

“Ma, Allah dimana? ”

Aku menjawab,” Dihati Farisha sayang, kemana aja Allah ada sama Farisha”

Farisha “Berarti kalo hati Farisha dibelah keluar Allah lah?” 

Aku menjelaskan kepada Farisha tentang Hati dalam versi yang berarti adalah perasaan yang bergabung dengan ruh. Namun, Farisha tetap memahami bahwa hati adalah salah satu organ yang ada dalam perutnya. Persis seperti saat dia melihat hati dalam perut ayam dan ikan. 

Aku pun sadar bahwa Inner Child ku adalah masa penuh imajinasi, aku mudah memahami hal yang berhubungan dengan perasaan dan punya banyak khayalan. Sedangkan Farisha adalah anak yang sangat realistis. Sampai kapanpun aku mengajarinya berimajinasi_Farisha tetap suka membuka matanya dan melihat fakta. 

Akupun maklum dengan itu semua. Jika aku telaah lebih mendalam tentang inner childku_tentang kenapa aku bisa punya teman imajinasi maka hanya satu jawabannya. Yup, aku kesepian. 

Aku akui, aku memang punya Mama dan Ayah serta Kakak laki-laki dirumah yang hangat. Namun, menginjak usia 4 tahun aku mulai merindukan adanya teman perempuan seusiaku di sore hari. Aku adalah anak yang luar biasa pemalu. Saat TK aku hanya mengetek dengan Mamaku dan tak terlalu banyak punya teman_walau aku ingin sekali. 

Maka aku memutuskan menciptakan imajinasi itu sendiri. Setiap sore aku berbicara sendiri dipepohonan. Lingkunganku adalah lingkungan pedesaan yang lumayan sunyi. Tidak ada teman perempuan nyata untuk anak seumurku saat itu. Itu adalah alasan kuat untuk menciptakan teman imajinasi. 

Sampai kapan teman imajinasi ada? 

Sampai aku mempunyai teman nyata yang ‘asli’. Dan Farisha sudah memiliki teman nyata dan asli sejak seumurku waktu itu. Jelas sudah, dunia Farisha penuh dengan Teman Realistis. Tidak sepertiku. 

Dari pengamatanku, Farisha tumbuh menjadi anak yang ‘memiliki beberapa kepribadian ekstrovert’ walau kedua orang tuanya dominan introvert. Hal ini membuatku merenung bahwa mungkin saja kepribadian introvertku sebenarnya terbentuk karena faktor lingkungan. 

Karena Farisha tidak memiliki Teman Imajinasi sepertiku dulu maka jelas tulisan ini tidak akan membahas tentang perkembangan anakku. Melainkan tentang diriku sendiri dan para ibu yang anaknya sekarang memiliki teman imajinasi. 

Sebenarnya Apakah Wajar kehadiran teman Imajinasi Pada anak? Apa sebenarnya faktor yang menyebabkan hadirnya teman imajinasi?

Menurut psikolog pediatrik Dr. David Erickson, Ph.D. dari Glenrose Rehabilitation Hospital di Edmonton, Canada dan Associate Clinical Professor of Pediatrics di University of Alberta, teman imajinasi pada anak ini sering dialami oleh anak-anak karena keberadaan teman imajinasi memungkinkan mereka untuk keluar dari situasi yang tengah dijalani dan membuat realita yang sebenarnya mereka harapkan terjadi. 

Dengan memiliki teman imajinasi anak menjadi ‘pengontrol’ dalam imajinasinya. Ia dapat berekspresi sesuai kehendaknya. Berpura-pura senang, sedih, tertawa, dan pengandaian lainnya. Dengan berimajinasi anak menjadi bebas melakukan apa saja untuk mengatasi kesendiriannya. 

Bagaimana sebenarnya berbagi tipe wujud dari teman imajinasi yang diciptakan anak kita? Berikut berbagai wujud dan faktor yang melatarbelakangi imajinasi tersebut:

1. Menciptakan Teman Bermain karena merasa sendirian

Sebagian besar teman imajinasi tercipta karena rasa kesepian. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa anak sulung cenderung memiliki teman imajinasi. Hal ini karena ia tak memiliki adik untuk diajak bermain maupun berbagi emosi.

Ini gambar lucu, aku selipin aja.. 😀

Untuk anak yang merasa kesepian wujud teman imajinasi fase pertamanya adalah berupa teman bermain. Namun tidak menutup kemungkinan ia dapat menciptakan wujud lainnya sesuai perkembangan emosi yang dimilikinya. 

Bentuk teman imajinasi berupa teman bermain ini biasanya muncul sangat sering. Karena kebutuhan anak akan teman tergolong tinggi. 


2. Menciptakan Figur Tokoh Sang Pembela karena Persaingan

Kebanyakan anak yang memiliki teman imajinasi adalah si sulung yang tidak punya adik. Namun, tidak menutup kemungkinan di tengah dan si bungsu juga memiliki teman imajinasi. Karena teman imajinasi muncul ketika realitas tidak sesuai dengan kenyataan.

Biasanya anak tengah maupun bungsu mengalami situasi ketidakpuasan karena sibling rivalry. Kemudian mereka berandai-andai memiliki kakak yang ‘begini’ maupun ‘adik’ yang begini. Mereka memunculkan tokoh imajinasi tersebut begitu saja untuk merasa dibela. 

Pada kebanyakan anak perempuan sosok Imajinasi Pembela ini sering muncul dengan sebutan ‘Ibu Peri’. Mereka mengkhayal bahwa apapun yang terjadi Ibu Peri selalu melindunginya dan mendukungnya. 

Bentuk teman imajinasi jenis ini muncul ‘saat terdesak’ karena anak membutuhkan sosok pembela agar membenarkan hatinya

3. Menciptakan Figur Jahat sebagai tantangan

Anak dengan kehidupan sempurna yang tidak kesepian dan banyak teman pun tak luput dari kebutuhan akan teman imajinasi. Hal ini dikarenakan kebutuhan emosi anak tergolong kompleks. Ia butuh tantangan.. 

Karena itu ia mengkhayal ada tokoh jahat yang sedang mengincarnya. Dan pahlawannya? Adalah dia sendiri. 

Bentuk imajinasi jenis ini biasanya tidak bertahan lama. Kemunculannya hanya sesekali saja. Kadang kala, saat anak melakukan kesalahan ia dapat menciptakan figur jahat ini sebagai pelaku sebenarnya dari kesalahannya. 

Dari beberapa alasan dan jenis Teman Imajinasi di atas maka dapat disimpulkan bahwa Teman Imajinasi adalah bentuk adaptasi psikologis dari rasa tidak menyenangkan yang ditimbulkan oleh Anak agar dapat diubah menjadi situasi yang menyenangkan.

Lalu anehkah jika anak memiliki Teman Imajinasi? 

Tentu saja Tidak! Teman Imajinasi adalah hal yang wajar. Kita harus mengakuinya. Aku_sudah mengakuinya bahwa pernah memiliki teman imajinasi dahulu. Lalu apakah aku gila karena saat kecil pernah berbicara dan tertawa dengan pohon? Haha.. Mari kita lihat faktanya.. 

Penelitian baru-baru ini memberikan jawaban bahwa teman khayalan adalah bagian yang umum terjadi dalam perkembangan pada masa anak-anak. Di Amerika Serikat pada tahun 2004 anak-anak usia pra sekolah dan orang tua mereka mengikuti sebuah penelitian yang meneliti aspek-aspek perkembangan anak, termasuk teman khayalan.

Anak-anak yang mengikuti penelitian itu dipantau kembali setelah mereka bersekolah yaitu ketika usia mereka tujuh tahun. Para peneliti terkejut mengatahui bahwa 65% anak-anak hingga usia tujuh memiliki atau pernah memiliki teman khayalan.

Seperti pada penelitian lain di Inggris dimana teman khayalan berupa mainan khusus diikut sertakan, 1800 anak mengisi kuesioner mengenai teman khayalan. 46% dari mereka mengungkapkan teman khayalan yang mereka miliki sekarang atau pernah mereka miliki, termasuk 9% yang berusia 12 tahun. 

Aku jadi ingat ketika aku membahas tentang teman khayalan ini dengan salah satu temanku. Dia berkata bahwa aku aneh karena pernah memilikinya. Dan kemudian dia berkata ‘Jangan’ ketika aku bercerita bahwa ingin mengajarkan Farisha untuk memiliki Teman Khayalan. Katanya itu akan menghambat fasenya dalam berteman. 

Kenyataannya aku merasa tidak aneh. Bagiku memiliki daya imajinasi berlebih bahkan bisa menciptakan teman khayalan semasa kecil juga bermanfaat. 

Dr. Karen Majors mewawancara anak-anak usia lima hingga sebelas tahun dan orang tua dari anak-anak yang lebih kecil. Semua anak-anak itu mengatakan bahwa teman khayalan penting bagi mereka dan mengapa mereka bergaul dengan teman khayalan.

Kesimpulan yang diambil adalah teman khayalan umumnya merupakan bagian yang sangat positif dalam kehidupan anak. Teman khayalan memberikan rasa senang, menghibur dan menemani bermain. Mereka juga baik hati dan senang menolong, pendengar yang baik dan selalu ada bila dibutuhkan. 

Perlukah anda khawatir jika anak anda memiliki teman khayalan? Jawabanku, Tidak, No Problem. 

Sebaliknya orang tua perlu tau seperti apa wujud teman khayalan si kecil. Jika berbentuk teman bermain mungkin karena dia kesepian. Jika berbentuk sang pembela berjenis Ibu Peri mungkin dia perlu dibela. Jika berbentuk musuh mungkin dia perlu tantangan. Anda harus mencoba untuk menjadi seperti teman imajinasinya sesekali. Mungkin, yang dia butuhkan sebenarnya adalah anda yang pintar berakting. 

Farisha anakku tak memiliki teman imajinasi sepertiku karena kupikir hidupnya sudah terlalu sempurna secara psikologis. Farisha memiliki teman bermain baik dilingkungan maupun disekolah. Dia anak tunggal yang tidak memiliki saingan dan memiliki Ayah yang bisa berakting sebagai musuhnya dirumah. 

Aku sewaktu kecil? Jujur saja aku memiliki semua jenis teman imajinasi diatas. 😂

Kapan kita harus khawatir? 

Keberadaan teman imajinasi adalah sesuatu yang tidak mengkhawatirkan. Namun, akan patut dikhawatirkan jika anak tetap asik dengan imajinasinya sendiri ketika berada dilingkungan sosial. Berarti teman imajinasinya berperan terlalu kuat dalam pikirannya sehingga dia tidak tertarik berteman dengan teman nyata. Kehidupan sosial anak bisa jadi bermasalah karena anak selalu menggunakan imajinasinya untuk melindungi dirinya. 

Kapan teman imajinasi hilang? 

Biasanya teman imajinasi akan hilang dengan sendirinya dalam waktu paling cepat selama enam bulan, teman imajinasi akan hilang jika anak sudah berhasil mengatasi masalah yang menjadi pemicu hadirnya teman imajinasinya ini. 

Seiring berkembang waktu anak akan mengenal sosial emosi dengan berteman secara nyata. Ia juga akan belajar kemampuan bahasa hingga kognitif sehingga secara perlahan akan menghapus kehadiran teman imajinasi karena menyadarinya bahwa itu hanya sebatas khayalannya saja.  

Bagaimana jika teman Imajinasi terus dan selalu ada? 

Jika teman imajinasi anak selalu ada bahkan hingga berumur 7 tahun maka orang tua perlu mengkhawatirkan hal ini dan mungkin perlu berkonsultasi dengan psikolog anak.

Sumber kutipan:

resourceful-parenting

meetdoctordotcom

Sumber Gambar

IBX598B146B8E64A