Tentang Belajar Memaafkan Tragedi Mom Shaming
“Bukan emak-emak namanya kalau belum pernah berhadapan dengan tragedi mom shaming.. “
Kalimat itu sontak langsung aku tertawakan sendiri. Lucu. Dan memang benar sih sesungguhnya. Obrolan renyah dengan teman masa kecilku itu membuka sudut pandang baru tentang tragedi mom shaming yang selama ini tentu saja sering terjadi di kalangan ’emak-emak’
Yaaa… Aku sendiri sebenarnya sudah sering mengalaminya. Bahkan aku juga pernah menulis solusi menghadapi mom shaming. Disisi lain, aku juga pernah menulis tentang mengapa ada ibu-ibu yang gampang sekali baper?
Dan hari ini, aku ingin fokus menulis tentang hal yang lebih sulit. Yaitu.. Memaafkan.
Memaafkan itu Sungguh Sulit
Sulit banget. Memaafkan itu sulit banget genks.
Bahkan ada yang bilang begini, “Aku mungkin memaafkan, tapi aku tidak akan pernah melupakannya.. “
Duh, kalau sudah nemu kalimat begini itu artinya lukanya dalem banget. Bahkan besar kemungkinan kalau ini hanya fase ‘pura-pura memaafkan’. Sesungguhnya, akupun pernah berada dalam fase itu. Berpikir, “Ih kok jahat banget sih ya bilang begitu? Kok memojokkan aku ya? Padahal kita kan sama-sama Ibu?”
Penyebabnya sepele sih sebenarnya. Biasalah, basa basi curhat kehidupan emak-emak malah ujung-ujungnya jadi mom war. Yang satu curhat di sosial medianya, yang satu malah merasa curhatan temannya receh dan menyerang begitu saja. Something like mak emak yang ngeluh kerjaan di rumah gak ada apresiasi.. Lalu di judge sama emak pekerja, “Kamu harusnya bersyukur.. Di rumah aja..bla bla.. Coba aku nih, cape tau seharian bla bla.. “
Ini cuma contoh ya. Banyak sih penyebab mom war dan mom shaming itu. Tapi penyebab paling utama ya karena Emak-emak ini merasa paling benar dan emak yang satunya.. Merasa tidak dihargai ketika berbicara keluhan.
Dan banyak hal lain penyebabnya sebenarnya. Berhadapan dengan mom shaming berkali-kali membuatku belajar untuk selalu bisa berempati dengan kehidupan ibu lainnya. Tapi untuk hal memaafkan mom shaming.. Sungguh itu sangat sulit. Haha..
Memaafkan orang yang melakukan mom shaming pada diri kita, bahkan dia merasa tidak bersalah dan malah melabeli kita ‘mamak baperan’ itu sangat sulit. Apalagi, doi mah.. menyesal pun tidak. Tapi, bukan aku namanya kalau membiarkan perasaan hitam bersemi dalam diri. Aku harus belajar memaafkan, sekalipun orang tersebut tidak menyesal dan tidak pernah meminta maaf bahkan terus saja mengulangi hal yang sama.
Karena aku yakin, hal ini tuh receh. Dan ini akan terus terjadi. Akan selalu ada orang-orang yang ‘judge’ sama kehidupan kita. Maka, sebelum orang tersebut menyesal dan minta maaf. Maafkan saja terlebih dahulu.
Lingkaran Setan Terus Berlanjut Jika Aku Tidak Memaafkan
Hal yang membuatku bertekad untuk memaafkan segala tragedi mom shaming adalah karena mom shaming itu menular. Ini serius.
Hati yang gelap itu, membuatku terus berpikir negatif.
Aku bukan tipikal penyerang balik jika direndahkan oleh orang lain. Aku adalah tipikal yang ‘pura-pura baik-baik saja’. Tapi dibelakang orang tersebut aku meredakan rasa kesal dengan melampiaskannya kepada yang lain.
Aku pernah melampiaskan rasa kesal tersebut pada anakku. Aku juga pernah melampiaskan rasa kesal tersebut dengan memecahkan piring. Puncaknya, aku juga pernah melampiaskan rasa kesal tersebut dengan ‘menghargai dan meninggikan’ diriku sendiri di status sosial media. Semua itu aku lakukan demi menutup lubang menganga yang pernah diserang oleh sosok yang bernama ibu sempurna.
Ini tidak benar. Lingkaran setan ini harus berakhir. Jika tidak…
Yaa.. Aku Merasakan Menjadi Pelaku Mom Shaming
Akhirnya aku merasakan berada diposisi ini juga. Tanpa disadari, aku menjadi pelaku mom shaming.
Ketika aku meninggikan diriku sendiri untuk terlihat ‘sempurna juga’, tanpa aku sadari.. Mulutku mulai melakukan hal yang sama..
.. Aku tidak sengaja telah merendahkan Ibu yang lain.
Dan Ibu tersebut sontak memarahiku. Melabeliku dengan berkata bahwa aku selalu merasa diriku yang paling baik.
Ah, beruntunglah aku karena berhadapan dengan tipe penyerang balik yang kemudian mencaci segala kekuranganku. Akupun otomatis segera meminta maaf, berusaha menjelaskan bahwa ‘bukan itu maksudku’ dan berusaha menjelaskan penyesalanku. Tapi apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Ternyata, aku berhadapan dengan Ibu yang keras sekali hatinya. Bahkan sudah meminta maaf berkali-kali pun dia malah mengorek-ngorek seluruh keburukanku.
Tapi tidak apa-apa. Semua salahku. Aku yang awalnya sulit memaafkan orang lain. Aku yang kemudian melepaskannya dengan membuat diriku terlihat sempurna. Aku yang kemudian merasa bahwa kesempurnaanku telah menyakiti orang lain.
Its okay. Thats life.
Semua orang pernah berbuat salah bukan?
Memaafkan, Karena Apa yang Mereka Lakukan Adalah Bentuk Pertahanan Diri
Karena pernah tidak sengaja menjadi pelaku mom shaming.. Kini aku sedikit mengerti dengan para pelaku mom shaming. Dan bergumam dalam hati, “Oh beginikah rasanya?”
Beginikah rasanya ingin menunjukkan kesempurnaan karena merasa ‘diserang’?
Beginikah rasanya ‘geregetan’ ketika melihat orang yang bersedih karena hal sepele?
Beginikah rasanya mempertahankan diri dengan melakukan hal yang salah?
Dan aku kemudian belajar berdamai dengannya, kemudian berkata.. “I feel u now.. “
Yah, ada hikmahnya pernah menjadi pelaku mom shaming ternyata. Aku jadi dapat reframing perasaan mereka yang suka merendahkan Ibu lainnya. Mereka itu ternyata lebih menderita. Mereka ingin berekspresi tapi tidak keluar dengan baik. Mereka punya banyak sampah tapi membuang sampah tersebut di tempat yang tidak benar.
Maka, sebenarnya pelaku mom shaming pun perlu pelukan. Mereka terkurung dalam perfeksionis sindrom dan lingkungan yang memaksa mereka untuk sempurna. Mereka tertular oleh para pelaku mom shaming lainnya. Mereka ini.. Sangat kasihan sebenarnya.
Jadilah Orang Baik yang Selalu Menjaga Mulut dan Jarinya
Ah, sungguh rasa bersalah ini membuatku banyak belajar.
“Hei diriku sendiri.. Jadilah orang baik yang selalu bisa menjaga mulut dan jari.. “
Jika merasa diri lebih baik, hanya buktikan dengan tindakan. Jangan merendahkan orang yang masih tidak baik. Tidak ada gunanya.
Jika merasa ingin mengeluh, mengeluhlah di tempat yang benar. Jangan terlihat oleh orang yang keadaannya bertolak belakang denganmu. Bukan empati yang akan kau dapatkan nanti. Jaga hati orang lain dari rasa ingin merendahkan.
Jika ingin menasehati orang lain, pergunakanlah kata-kata yang sesuai dengan karakter orang tersebut. Jika tidak mengenal orang tersebut secara dekat, lebih baik diam saja.
Jika ingin menulis di sosial media, tetaplah menjadi dirimu sendiri. Menulis itu terapi. Dan toh masih banyak yang bilang tulisanmu bagus. Jika ada yang sepertinya tidak suka dengan gaya tulisanmu.. Maka, blok saja mereka. Demi menjaga hati.
Hidup itu simple.
Jangan gengsi meminta tolong.
Jangan gengsi bilang terima kasih.
Jangan gengsi meminta maaf.
Jangan memberi makan ego dengan sesuatu yang tidak benar.
Dan.. Berusahalah reframing dan memaafkan.
Berdamai dan memaafkan adalah kunci dari penerimaan. Agar dapat menjadi pribadi yang lebih baik esok harinya.
Bukankah begitu?