Yakin Pengen Jadi Stay At Home Mom? Pertimbangkan Faktor ini Dulu ya!
“Win, kalo aku nikah nanti aku mau jadi kek kamu juga ah. Di rumah aja didik anak dengan bener.. “
“Jadi setelah nikah rencananya mau resign nih.. Kamu serius?” Ucapku memancing
“Iya, aku mau jadi kek kamu aja win. Kerja tuh capek. Gak kebayang kalo kerja sambil ngurus anak.”
“Sebaiknya pikirkan matang-matang say. Begini, keadaan kita tuh gak sama loh. Support system kita juga gak sama.”
“Maksud kamu gimana win?”
Yakin Pengen Jadi Stay At Home Mom? Pikirkan Matang-Matang Dulu
“Win, susah loh kalo perempuan itu gak kerja. Coba lihat mama. Gimana kira-kira nasib kamu kalo mama gak kerja?” Ucap Mamaku ketika aku memutuskan menjadi IRT tulen.
“Suamiku beda Ma.. Dia ngerti. Dia support aku.” Tekanku untuk meyakinkan Mama.
Realitanya, dalam up and down kehidupanku.. Kadang aku sering membenarkan kata-kata Mama. Lantas menyesal kemudian. Lalu aku akan berusaha menjadi seperti mama. Lantas merasa berbeda.
Ya, aku menatap Mamaku. Sosok wanita karir yang sukses menyeimbangkan hidupnya. Punya pekerjaan tetap, memiliki lingkup sosial disana sini, hingga anak-anak yang mayoritas masuk jurusan kedokteran (kecuali aku). Ingin rasanya hidupku seperti Mama. Sukses luar dalam. Tapi ketika aku menatap lingkunganku. Aku sadar, aku tidaklah sama.
Mama tidaklah bisa menolongku untuk mengurus anak selama kutinggal bekerja. Begitupun mertuaku. Jangan tanya soal ART, masa sekarang dan dulu jauh berbeda. Jujur, awalnya aku menjadi IRT tulen bukan karena aku yakin dengan support suami. Tapi.. Karena aku tidak punya pilihan.
Hingga aku harus memperkuat pilihanku dan berusaha agar hidup kami baik-baik saja.
Ya, hidup kami sekarang memang jauh berbeda dibanding kehidupan awal menikah. Banyak yang menilai bahwa itu mungkin sebagian disebabkan oleh pilihanku untuk fokus menjadi Ibu Rumah Tangga. Sehingga suamiku bisa seperti sekarang. Kehidupan ekonomi kami bisa melejit seperti sekarang. Tapi, bukankah keadaan semua orang tidaklah sama?
Tidak lantas dengan melihatku sukses maka jalan semua orang harus sepertiku bukan?
Maka aku hanya berpikir heran dengan keputusan temanku yang kupikir instan dan tidak matang. Hei, tidak semudah itu loh memilih menjadi Ibu Rumah Tangga..
Faktor-faktor yang Harus dipertimbangkan Sebelum Memutuskan Menjadi Stay At Home Mom
Setidaknya, ada 3 faktor penting yang harus dipikirkan sebelum memilih untuk menjadi Stay At Home Mom. Jangan cuma mikir nih faktor sedikit ya. Baca penjabarannya. Gak sesedikit itu gaes..
Faktor Psikologis
Percaya enggak percaya aja, jadi Full Time Mom itu rentan stress hingga depresi. Saat semua orang bilang “Duh, enaknya gak kerja.. Enaknya cuma ngurusin anak dsb..”
Realitanya jadi IRT enggak seenak itu. Penderita babyblues dan PPD kebanyakan adalah seorang Full Time Mom yang tidak bisa menyeimbangkan waktunya karena terdorong oleh keadaan.
Maksudnya?
Seorang manusia normal setidaknya memiliki 3 pembagian waktu yang baik dalam kehidupannya. Tiga waktu itu adalah Me Time, Family Time dan Social Time. Nah, saat sudah berumah tangga pembagian waktu itu berubah lagi. Seorang Ibu dituntut untuk memiliki waktu bersama bayinya. Dituntut untuk bisa mencukupkan ekonomi serta dituntut untuk bisa melayani suami hingga bisa diterima dilingkungannya.
Itu tuh enggak mudah ketika Ibu memilih menjadi Stay at Home Mom. Apalagi jika sedang memiliki anak yang masih bayi dan belum bisa ditinggalkan. Tidak ada lagi keseimbangan 3 waktu seperti masa single. Sebagian besar waktu tersita untuk Parent Time. Tidak ada me time hingga social time. Belum lagi lingkungan yang kadang mencibir, “Kan di rumah aja.. Kok gak bisa ngapa-ngapain..”
Saranku, jika ingin menjadi Stay At Home Mom maka jangan bayangkan sisi ‘enak’nya saja. Bayangkan juga sisi enggak enaknya. Berubahnya faktor kebiasaan yang berubah hingga 180 derajat. Itu adalah adaptasi yang harus diterima. Kalau tidak, psikologis Anda bisa terganggu. Aku bercerita demikian karena pernah mengalami PPD saat memiliki anak pertama.
Dan yang paling penting.. Sebelum menjadi Full Time Mother ubahlah sebuah persepsi bahwa seorang Ibu harus 100% mengabdi pada anaknya.
Kenapa diubah win? Bukannya Ibu itu memang harus berkorban bla bla bla..
Hei, Anda gak akan ngerti sebelum merasakan mengalaminya. Dalam durasi 1 bulan hingga 6 bulan mungkin Anda akan merasa perfect dan baik-baik saja. Lama-kelamaan akan ada something missed dalam kehidupan Anda. Percaya deh.
Apa itu? Yaitu kehilangan dirimu yang dulu.
Maka, berdayakanlah diri selagi masih muda. Pelihara hal itu hingga memiliki anak. Hiduplah dengan keseimbangan dari passion dan cinta. Milikilah hobi yang bermanfaat untuk bisa menemukan diri sendiri dan menyalurkannya untuk lingkungan sosial.
Dengan kehidupan seimbang maka seorang ibu akan waras dan menemukan kebahagiaan. Ia menjadi seseorang yang berarti untuk dirinya hingga anaknya.
Ingin menjadi Ibu rumah tangga sejati? Yakinkan passionmu bisa berkembang di rumah. Kenali dirimu sendiri. Apakah kamu introvert atau ekstrovert. Bisakah kamu berkembang jika kamu di rumah? Itu adalah hal yang harus dijawab sendiri olehmu. Jangan remehkan faktor psikologis ini
Faktor Ekonomi
“Kamu enak win. Suamimu PNS. Setidaknya jadi punya pegangan hidup.”
Hmm.. Gak ada yang tau dengan keadaan ekonomi orang lain selain orang itu sendiri. Gak ada yang ngerti sama ujian pernikahan selain yang mengalaminya.
Jujur, meski suamiku adalah seorang PNS. Tapi, banyak faktor tambahan yang tidak diketahui orang lain. Seperti berapa banyak potongan dalam gaji? Apakah semua gajih 100% untukku sehabis dipotong? Apakah suami bukan seorang sandwich generation? Nah, kalian tidak tau kan? Dan tidak usah tau. Hihi.
Yang jelas, aku pernah berada diposisi hanya mendapatkan jatah 300rb sebulan. Seiring waktu naik menjadi 1,3 juta sebulan. Eh? Banyak kata kalian? Kami hidup mandiri dan memiliki satu orang anak kala itu. Aku bahkan sempat bakulan berjualan kue, tidak pernah memberikan anakku diapers hingga susu untuk menghemat pengeluaran. Hanya tidak semua orang tau bukan? Bagaimana dari gajih yang dipotong-potong tersebut kami sekarang sudah mendirikan perusahaan dengan 4 orang pegawai tetap. Hmm, kalian gak usah tau susahnya. Biar lihat enaknya saja. (Ini kenapa jadi curhat sarkas disini.. 🤣)
Intinya, dari jatuh bangun kehidupan ekonomi yang demikian merupakan salah satu faktor dominan kenapa dulu aku sering depresi dan aku enggak mau kalian asal pilih jadi full time mom tanpa mempertimbangkan faktor begini. Dalam keadaan ekonomi yang masih berjuang serta memiliki anak itu bukanlah hal yang mudah. Aku sendiri tidak mandiri secara finansial saat itu. Lingkungan banyak yang mencercaku kenapa tidak bekerja tanpa tahu apa yang aku alami.
Ada pula yang percaya begini..
“Suami bekerja, istri bekerja.. Rejeki 100%. Suami bekerja, istri tidak bekerja.. Rejeki 100%..”
Sungguh, statement itu tidak salah. Asalkan tidak gagal paham memahaminya. Karena begini, ada yang bahkan ‘maksa banget’ suaminya harus bisa mendapatkan rejeki yang sama meski ia tidak bekerja dan membanding-bandingkan dirinya dengan yang lain.
Jika memiliki suami dengan gajih pas-pasan hingga kurang maka mau tidak mau kita sebagai istri harus bisa support dia. Bukan mengeluh. Itu bukan yang benar? Tapi bagaimana bisa support jika keadaan ekonomi menghantam psikis istri? Bagaimana bisa mencapai kata Qona’ah? Maka, tidak ada pilihan selain memberdayakan diri di rumah. Dan hal ini, tidak dipahami oleh sebagian yang percaya statement kenapa rejeki bisa tetap 100% walau istri tidak bekerja.
Rejeki itu luas by the way.. Maksud dari memberdayakan diri tidak melulu tentang bisa mencari uang. Tapi, tentang mencari peluang untuk bisa mencintai diri sendiri hingga membantu orang lain. Disinilah akan terjadi yang namanya keajaiban. Rejeki yang tidak disangka-sangka. Dan menemukan hingga ke titik ini perlu didasari oleh adanya rasa ikhlas.
Nah, bisakah Anda ikhlas dengan rejeki apa adanya hingga memberdayakan diri di rumah? Atau, Anda lebih nyaman berkembang di luar dan merasa seimbang jika bekerja di luar? Merasa senang ketika dapat membantu keluarga ketika bekerja diluar?
Itu, adalah pilihan yang harus Anda buat sendiri. Bukan dengan meniru hidup orang lain. 🙂
Faktor Sosial
Memutuskan menjadi stay at home mom itu gak bisa diputuskan oleh diri sendiri saja. Carilah kesepakatan bersama keluarga besar dan bicarakan terus dengan suami. Dan yang paling penting, tanyakan pada diri sendiri.. Apakah benar hal ini adalah hal yang kamu inginkan?
Aku memiliki teman yang punya passion mengajar. Menjadi guru adalah hidupnya. Tidak masuk sehari saja dia sudah kangen luar biasa dengan muridnya. Kalian tau apa yang dia suka? Ikut upacara bendera. Coba telaah, makhluk sedemikian apakah akan merasa nyaman jika di rumah saja?
Aku sendiri dari SD hingga SMA lebih menyukai guru perempuan. Karena entah kenapa, guru-guru favoritku semuanya perempuan. Mereka lebih friendly dan nyaman dalam menjelaskan. Bahkan ada yang masih berteman di sosial media denganku hingga sekarang. Aku tidak bisa membayangkan jika mereka tidak ada di sekolah. Pekerjaan sedemikian memiliki keterikatan sosial yang tinggi.
Aku juga memiliki seorang teman yang bekerja pada sebuah perusahaan besar. Diantara 4 saudaranya, hanya ia yang terbilang sukses. Ya, ia adalah seorang ibu pekerja dan juga seorang sandwich generation. Orang tuanya tidak memiliki pekerjaan tetap untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Ia juga masih memiliki seorang adik kecil yang masih sekolah. Ia bisa saja memilih untuk tidak bekerja. Karena toh suaminya juga seorang PNS seperti suamiku. Tapi bagaimana dengan kehidupan keluarganya? Pilihan yang sulit bukan?
Jika keterikatan sosial ini dapat dituntaskan solusinya dengan di rumah saja maka bisa saja seseorang memilih menjadi stay at home mom. Tapi sekali lagi.. Keadaan kita tidak sama bukan?
Hidup Kita Gak Sama, Pilihanku adalah yang terbaik untukku
Seperti yang sudah aku ceritakan diawal, bahwa sesungguhnya pilihanku untuk menjadi stay at home mom bukanlah pilihanku sendiri. Tapi, aku tidak punya pilihan.
But.. Time flies..
Aku mulai menyukai profesiku. Aku mulai menemukan passion yang bisa aku optimalkan di rumah saja. Aku mulai menemukan sebuah keseimbangan. Dan rasa ikhlas serta syukur mulai menggiringi kehidupanku.
Aku mungkin terlihat seperti stay at home mom yang sukses mengelola ekonomi. Tapi aku sadar, bahwa tidak semua orang harus memilih pilihan yang sama sepertiku. Pun jika kamu, kalian, dsb melihatku.. Bukan berarti harus mencontoh apa yang aku lakukan.
Karena diri kita tidak sama.. Lingkungan kita tidak sama..
Jadi, pilihlah sebuah pilihan yang terbaik untukmu..
NB: Kalian tau? Segala yang dilakukan karena cinta tidak akan ada penyesalan.. Pilihlah dengan cinta. Tapi tidak bergantung pada cinta. Kalian mengerti maksudku? Cinta itu dimulai dari dirimu sendiri.