Browsed by
Category: Psikologi

Kenapa Teori Konspirasi Covid 19 Bisa Tumbuh Subur di Indonesia?

Kenapa Teori Konspirasi Covid 19 Bisa Tumbuh Subur di Indonesia?

“Covid? Bull*hit lah.. Semua yang masuk rumah sakit dibilang covid semua..”

“Udah 3 bulan ini aku aktivitas normal. No masker. No jaga jarak. No cuci tangan. Liat deh, aku sehat-sehat aja.. “

“Masker adalah simbol berbudakan”

“F*ck WHO.. Jangan mau dibodohin Elite Global.. “

“Target utama covid 19 ini adalah melumpuhkan ekonomi negara-negara di dunia. Kita jangan terpengaruh. Harus dilawan!”

Ya ya.. Kalimat-kalimat diatas adalah hal yang paling sering aku dengar di media sosial akhir-akhir ini. 

Ada rasa gatal ingin ikut berkomentar dan adu argumentasi. Tapi kalau dipikir ulang dan membaca komentar-komentar yang kontra aku kembali menahan jempolku. Kemudian berpikir, “Percuma..”

Yah, setidaknya aku masih bisa menghindari pengaruh negatif dari media sosial dengan melakukan 4 hal: unfriend, unfollow, hide atau block sekalian. 

Tapi, jika teori konspirasi ini mulai berkembang kedunia nyata disekitarku.. Bahkan meracuni pemikiran orang-orang disekitarku hingga yang berkontak erat denganku.. Maka, aku tidak bisa diam saja. 

Yaaa.. Aku tidak bisa diam saja ketika melihat orang-orang dengan cueknya masuk ke rumahku tanpa memperdulikan protokol kesehatan. Aku juga tidak bisa diam saja ketika melihat salah seorang keluarga bersikeras berpendapat bahwa dokter dan tenaga medis lain menjadikan covid 19 sebagai lahan bisnis. Yah, semua orang punya bom waktu masing-masing bukan? 

Dan hari ini, aku akan belajar menuliskan covid 19 dari 2 sisi. Yaitu dari pandangan yang mempercayai teori konspirasi dan teori kesehatan. 

Benarkah Teori Konspirasi Covid 19? 

Pertama kali aku mengenal teori konspirasi adalah pada grup WAG. Pesan itu tersebar luas dibeberapa grup dan banyak yang mendukungnya. Sebagai ‘anak baik’, aku hanya bisa membaca sambil berdiam diri membaca komentar orang-orang di grup tersebut. Dan yaa.. Sekitar 30% teman-temanku sedikit mempercayai teori konspirasi. 

Jujur, akupun termasuk yang pernah mempertanyakan kebenaran teori ini. 

Tentang benarkah covid ini hanyalah penyakit flu yang diperparah dengan kecemasan berlebihan? 

Apakah benar tes PCR ini tidak akurat? 

Apakah benar ada sesuatu dibalik ini? Ada yang ditutup-tutupi? 

Dan bagaimana bisa Bill Gates hingga Om Mark ikut dikait-kaitkan sebagai ‘Elite Global’ yang menggunakan Covid 19 sebagai lahan bisnis? Bukankah mereka sudah cukup kaya? 

Apakah mereka punya tujuan “Controlling the World?”

Begitu? 

Aku juga pernah dengan seksama memperhatikan video viral dari youtube tentang teori konspirasi tersebut. Dan yaa.. Harus aku akui, narasinya tergolong HEBAT. Saking hebatnya, aku langsung sadar bahwa ini sangat mirip dengan narasi Teori Bumi Datar aka Flat Earth yang pernah booming dahulu. 

Dari situlah aku langsung melupakan racun konspirasi covid. Ayolah, ini konyol. Pikirku. Rakyat indonesia yang peka tidak mungkin langsung menelan mentah-mentah hal seperti ini. 

Dan ternyata, aku salah. 

Sudah sekitar 3 bulan ini aku mengikuti instagram Jrxsid. Hanya sekedar memantau ig storynya. Satu sisi, aku sedikit mengerti pola pikir drummer SID ini. Tapi sisi lainnya.. Ya ampun aku gemes sekali. Bahkan pernah rasanya aku ingin menyumpah-nyumpah. Tapi sudahlah, itu sosial media punya dia. Hak dia mau ngapain. Kalau tidak suka tinggal unfollow. Begitukan aturan bersosial media? 

Eh tapi kok ya enggak aku unfollow?

Simple. Aku pengen reframing lebih jauh tentang pikirannya. Kalau kata seorang Guru, baik jahatnya seseorang itu tergantung dari cara kita memandang. Dan sesungguhnya, kalau kita mau melihat dari berbagai sudut.. Tidak ada orang yang jahat banget atau baik banget. Tapi kalau ada orang yang tidak paham, bukannya harus diluruskan? 

Ya.. Harus diluruskan. 

Karena banyak sekali ternyata orang-orang yang sepemahanan dengan Jerinx ini. BANYAK BANGET. Setuju? 

Tapi semakin aku sering kepo dengan story jrx dsb ini.. Semakin aku sadar bahwa mereka memiliki alasan kenapa bersikeras berpendapat covid hanya konspirasi. Kenapa banyak follower yang mendukung mereka. Itu semua masuk akal jika dijabarkan alasannya. 

8 Hal Penyebab Teori Konspirasi Menyebar Luas Di Indonesia

Yup, setidaknya aku menyimpulkan ada 8 penyebab meluasnya teori konspirasi di indonesia, hal itu antara lain adalah:

1. Terdesaknya Situasi Ekonomi

“Lo sih enak ya bilang DI RUMAH AJA.. DI RUMAH AJA.. Lo kaya. Duit lo segudang. Pikirin nih masyarakat misquen yang duitnya sehari abis dan bingung besok masih bisa makan apa enggak!”

Jleb. Kata-kata itu langsung menusuk hatiku. 

Dan sejak itu, aku tidak pernah lagi mengkampanyekan #dirumahAja di sosial mediaku. Aku lebih sering berfokus pada menggaungkan protokol kesehatan. Terutama untuk mereka yang masih terpaksa bekerja di luar sana. Kupikir, tidak semua orang bernasib beruntung. Dan setidaknya dengan era new normal ini ekonomi akan sedikit memulihkan diri.

Kuharap, dengan menggaungkan protokol kesehatan yang ketat.. Setidaknya aspek kesehatan dan aspek ekonomi jadi seimbang.. 

Akan tetapi.. Tidak lama kemudian setelah New Normal diberlakukan..

“Masker simbol perbudakan.. “

“Maskerlah yang bikin sesak nafas. Bukan virus corona..”

Dan beberapa kafe dibuka. Masyarakatpun mulai tidak peduli lagi dengan social distancing dan memakai masker. Mereka mulai percaya teori konspirasi. Kemudian, muncullah kata-kata ini..

“Lo sih enak di rumah aja gak pake masker. Kami yang harus bekerja diluar.. Sesak kalau harus selalu memakai masker. Masker yang bikin corona. Virus corona cuma konspirasi..”

“Lo bayangin dah. Hampir tiap bulan kami para pedagang kena tes masal. Kalau hasilnya reaktif orang sekitar kami pada mengucilkan kami. Dagangan kami gak laku. Bagaimana kami bisa hidup?”

“Tes covid itu sengaja mempositifkan hasilnya. Supaya kami tidak bisa lagi mencari nafkah..”

“Kami lapar. Kami terpuruk. Bukan karena virus corona yang mematikan. Tapi kami dimatikan terlebih dahulu oleh stigma masyarakat. Kami tidak punya pilihan lain selain menganggap corona sebagai konspirasi untuk bisa bertahan hidup”

Masyarakat Kecil

Ekonomi down – Segala Teori Akhirnya Dibenarkan..

Ketika manusia kelaparan. Maka daging tikus yang sudah dimasakpun dianggap enak sekali. Bukankah begitu?

2. Aspek Psikologis Manusia

Well, bukan hanya faktor terpuruknya ekonomi yang menyebabkan teori konspirasi berkembang luas tapi juga faktor psikologis manusia. 

Iya, Banyak kok yang ekonominya menengah keatas tapi juga percaya teori konspirasi. Beberapa teman dan keluargaku mungkin bisa dijadikan contohnya. Mereka tidak dalam kondisi terhimpit ekonomi karena corona. Tapi, suka sekali bersikeras kalau corona hanya ‘mainan tenaga medis’

“Halah, semua yang masuk Rumah Sakit sekarang dibilang covid kok..”

“Konspirasi aja tuh. Alat tes nya memang bikin semuanya positif..”

“Yang meninggal kecelakaan aja dimakamkan gaya covid..”

“Kan tenaga medis dapet insentif lebih kalau ada pasien covid.. “

(Tahan tahan.. Yang punya keluarga tenaga medis pasti panas sekali mendengarnya bukan?) 

Yup, covid seakan dianggap remeh keberadaannya. Seiring meningkat tajam kasusnya, malah semakin sedikit yang takut dengan covid. Dan justru sudah dianggap hampir tidak ada. 

Seseorang pernah berkata kepadaku bahwa ada 2 tipe manusia ketika dihadapkan pada suatu masalah. Yang pertama, adalah ia yang menganggap masalah itu nyata. Kemudian memecahkan masalahnya dengan langkah yang realistis. 

Tipe yang kedua adalah ia yang mengubah bentuk masalah itu dalam perspektif yang berbeda. Kenapa begitu? Untuk mengurangi kadar kecemasan. Karena setiap manusia itu unik, ada yang memiliki tingkat kecemasan yang berlebihan dan berbahaya jika tidak dikurangi. Maka, ia lebih memilih untuk melupakan bahkan membenarkan teori yang lebih nyaman di pikirannya. 

Dan teori konspirasi membuat pikiran ‘beberapa’ manusia lebih rileks dalam menghadapi pandemi. 

Hal ini baik jika tidak merugikan orang lain tentunya. Masalahhya, teori konspirasi sangat merugikan beberapa pihak. Bukankah begitu? 

3. Rumitnya Mengenali Tingkah Polah ‘Si Virus Baru’

Jujur, baru kali ini sepertinya dalam sejarah hidupku sekolah dibubarkan sedemikian lamanya. 

Dan baru kali ini dunia dibuat pusing dengan peraturan WHO yang berubah-ubah. 

Masih ingat ketika awal pandemi terjadi? Sekitar bulan Februari di negara tetangga dan resmi di indonesia ketika bulan Maret. Banyak peraturan dan prosedur baru yang berubah-ubah. 

Awalnya, Para Dokter dan Pakar Kesehatan serta tentunya juga WHO menganjurkan hanya yang sakit saja yang memakai masker. Beberapa waktu kemudian, semua orang diwajibkan memakai masker karena dikhawatirkan carrier tanpa gejala bisa menularkan dropletnya hanya dari bernafas dan berbicara. 

Peraturan kesembuhan untuk pasien covid pun berubah-ubah. Dari yang awalnya harus melalui 2x tes negatif hingga akhirnya pasien dinyatakan sembuh jika sudah tanpa gejala dalam waktu 14 hari. Karena virus Covid 19 diyakini tidak infeksius jika sudah 14 hari walaupun tesnya masih positif. 

Saat membaca peraturan baru tersebut, jujur saja pikiran luguku mulai bermain. 

Jadi, apakah OTG selama ini bukan carrier yang infeksius? Bukankah pasien dinyatakan sembuh walau masih terdiagnosa positif? Bagaimana kalau ternyata aku sendiri pernah terpapar dan virusnya masih ada namun tidak infeksius? Ah entahlah.. 

Yang jelas INI VIRUS BARU dan sebagai masyarakat awam, patuhi saja protokol kesehatan yang ada. 

Tapi tidak semua orang berpikir sama sepertiku. Ada yang sudah mulai melonggarkan kewaspadaan mereka, lalu berpikir apakah virus ini sejatinya memang tidak ada? 

Karena virus ini memiliki seribu wajah. Kan aneh sekali? Ada yang diare saja, ternyata positif covid. Ada pula yang tidak demam dan sesak nafas, hanya tidak selera makan.. Ternyata positif covid. 

Sifat virus baru yang sungguh rumit ini akhirnya membuat beberapa orang percaya dengan teori konspirasi. 

4. Prosedur Kewaspadaan Rumah Sakit yang Tidak Bisa Dipahami Semua Orang

“Ya ampun masa menolong orang kecelakaan aja tim medis pakai hazmat suit.. Pasti dianggap corona tuh.. “

“Pokoknya jangan berani-berani ke Rumah Sakit pas masa pandemi gini. Nanti kamu di diagnosa corona.. “

Well, padahal kenyataannya.. Prosedur pelayanan masyarakat saat pandemi ini memang harus demikian. 

Tenaga medis harus selalu waspada. Karena setiap pasien bergejala maupun tidak akan berpotensi menularkannya kepada tenaga medis. Bukankah mereka adalah pahlawan garda terdepan dalam pandemi ini?

Sudah tau bahwa korban Tenaga Medis yang meninggal karena Covid 19 di Indonesia termasuk salah satu yang tertinggi di dunia? Kenapa sampai terjadi hal ini? 

Karena pada awal pandemi, tenaga medis kekurangan APD.

Pada awal pandemi corona, tenaga medis juga tidak sewaspada sekarang. Sehingga banyak dari mereka yang terpapar hingga meninggal dunia. Karena itu, mereka belajar dari kejadian terdahulu bahwa dalam masa pandemi ini APD lengkap adalah hal yang wajib. 

Sayangnya banyak masyarakat yang takut dengan tenaga medis yang memberlakukan mereka seperti pasien covid. Takut mengeluh bergejala kalau saja langsung didiagnosa covid 19. Apalagi kalau tiba-tiba meninggal dan harus melalui prosedur pemakaman covid. Banyak masyarakat yang tidak terima kemudian membenarkan teori konspirasi. 

Sepertinya, aku sudah sangat sering membahas hal ini di ig story hingga status WA. Banyak sekali masyarakat yang gagal paham dengan prosedur kewaspadaan yang diterapkan di rumah sakit. Dimulai dengan segala prosedur harus melalui tes hingga kebijakan tes masal dimana-mana.

Hal ini juga menciptakan konflik serius antara masyarakat dan tenaga medis. Tidak jarang aku melihat berita tentang tenaga medis yang dipukul oleh orang yang anggota keluarganya berstatus PDP sehingga terpaksa dimakamkan secara covid, hal ini karena hasil tes yang belum keluar. 

Aku harap, banyak masyarakat yang mengedukasi dirinya sebelum menghakimi para tenaga medis. Belajar dan terus belajar dengan reframing. Jika tenaga medis sedemikian jahatnya.. Mengapa banyak dokter dan perawat yang berguguran ditengah pandemi ini?

5. Dorongan Bersosialisasi secara Normal

Manusia itu makhluk sosial. Seintrovert apapun manusia, mereka butuh berinteraksi secara nyata dengan orang lain. 

Yah, akhirnya aku menyadari hal ini selama di rumah saja. Seintrovert apapun diriku, aku butuh berkumpul dengan teman yang satu passion denganku. Berkumpul secara nyata. Bukan hanya lewat online. 

Tapi aku tetap sabar menahan semuanya. Walaupun sudah era new normal. Terkadang merasa sangat bersyukur karena sudah memiliki keluarga dimana masih bisa tertawa bersama. Terbayang kalau aku sendiri masih single, bekerja diperantauan dan ngekos atau ngontrak rumah sendirian? How lonely! 

*eh kok jadi curhat. 

Yah, serius. Faktor dorongan bersosialisasi secara normal ini juga sangat mempengaruhi seseorang untuk percaya pada teori konspirasi. Apalagi jika kita berada di lingkungan sosial yang cuek bebek pada protokol kesehatan. Cepat atau lambat akhirnya dorongan sosial itu mempengaruhi pola pikir kita. 

6. Kurangnya Literasi

Well, ini related banget sama nomor 4. 

Yup, masyarakat kita itu banyak yang malas baca. Hobi nonton youtube dengan tayangan yang oke sama nalarnya aja. Makanya teori konspirasi sukses besar dalam penyebarannya di grup WA keluarga. Masyarakat indonesia lebih suka scroll sosial media dibanding baca. Lebih suka melihat aktivitas artis panutannya dibanding berguru yang benar. Laaah.. Yang diliat cuma sekelas jerinx doang.. 😅

Padahal kunci untuk melawan teori konspirasi itu simple loh. Banyakin baca. Berguru pada YANG AHLI. 

Covid 19 ini nyata, bukan halusinasi. Nyata secara penelitian, sudah jelas banyak yang tertular. Yang mati random. Gak cuma yang punya penyakit bawaan tapi juga yang sehat bugar. Tapi selalu saja ditolak kenyataannya hanya berdasarkan teori yang tidak jelas kebenarannya. 

Banyaklah belajar. Percayailah teori dari orang-orang yang valid keilmuannya. 

Dari Covid 19 aku banyak belajar, bahwa yang kita lawan bukan hanya virus.. Tapi kebodohan. 

7. Aturan Pemerintah yang Labil

Boleh gak ya nulis beginian? 

Boleh aja deh ya. Ini kan blog aku. Opini aku. Suka-suka. Haha

Jujur ya aku sedikit kecewa dengan lambatnya penanganan covid 19 di indonesia. Bahkan, pemerintah sempat menganggap remeh virus ini dengan membiarkan semua negara memiliki akses masuk ke Indonesia ditengah pandemi corona. Alasannya, covid 19 tidak mengerikan dan cuaca indonesia yang tropis bisa menangkalnya. Apalagi penduduk indonesia rajin minum jamu.. *eh.

Akibatnya, banyak sekali yang masih menggaris bawahi pernyataan pemerintah ini sampai sekarang. Menganggap bahwa covid 19 ini penyakit biasa saja. Bahkan, aku sepertinya sudah hampir 5x menonton video menkes di igs jrx tentang memakai masker untuk yang sakit saja. Padahal, video itu masa ketika awal covid melanda. Dan masih banyak pernyataan petinggi lainnya yang dijadikan acuan bagi masyarakat untuk menggampangkan virus ini. 

Belum lagi cerita tentang mudik vs pulang kampung. 😅

PSBB dilonggarkan, era new normal. Kupikir akan membuat masyarakat sedikit semangat untuk memperbaiki ekonomi dengan tingkat kewaspadaan yang tinggi. Ternyata? Aku salah. Himbauan pemerintah seakan diabaikan. Sebagian dari mereka masih saja percaya dengan statement awal pemerintah.

8. Berita Media yang Terlalu Banyak Menebar Ketakutan

Apakah dengan banyaknya berita ketakutan masyarakat akan lebih mentaati protokol kesehatan? 

Ternyata tidak, menurutku yang selama ini selalu kepo dengan ig story Jrx.. Media yang menebar ketakutan ini justru menjadi senjata bagi kaum pemercaya konspirasi untuk menggaungkan betapa hoax nya WHO dsb. 

Bahkan, akhir-akhir ini aku kembali kepo dengan akun @duniamanji atau anji yang sedang ramai diperbincangkan karena sempat mengunggah foto pasien covid meninggal yang dibungkus plastik lengkap dengan captionnya. 

Pada caption akhir Anji mengungkapkan

 “Saya percaya cvd (Covid-19) itu ada. Tapi saya tidak percaya bahwa cvd semengerikan itu. Yang mengerikan adalah hancurnya hajat hidup masyarakat kecil.”

Sontak Anji langsung diserang oleh para netizen karena dianggap menyepelekan covid dan mempercayai teori konspirasi. 

Well, aku lalu memperhatikan feed ig duniamanji. Menurutku sendiri, Anji ini bukan orang yang percaya teori konspirasi layaknya Jrx. Anji bahkan masih taat pada protokol kesehatan.

Adapun soal kata-kata Anji yang berkata bahwa Covid tidak semengerikan itu.. Kurasa kata-kata ini masih bisa ditoleransi. Apalagi Anji bukanlah tenaga ahli dalam hal ini. I mean.. Masih ingatkah kalian bahwa pada awal pandemi covid 19 ini.. Banyak para dokter yang juga mengatakan hal serupa dengan Anji. Itu Dokter loh. Dan tentu saja sekarang hampir tidak ada lagi dokter yang berkata demikian saat melihat kenyataannya.

Kepo dengan akun ig @duniamanji dan membandingkannya dengan akun @jrxsid.. Aku merasa si Anji ini tidak ada apa-apanya dibanding jerinx. Anji hanya menekankan pada media yang selalu membawa berita ketakutan. Aku tidak menemukan Anji yang bilang, “Jangan pakai masker, masker simbol perbudakan, covid konspirasi dsb.. ”

Apakah ada? Cmiiw ya.. Soalnya akupun baru-baru saja kepo dengan akun ig Anji ini. 

Kulihat Anji hanya tidak memakai masker dalam keadaan sunyi. Ia tidak menganjurkan memakai masker ketika berolah raga. Well, apa sih salahnya? Aku sendiri juga tidak pakai masker ketika berolah raga di depan rumah. Asal dalam keadaan sunyi. 

Dalam inti caption pada feed @duniamanji, Anji hanya menegaskan bahwa media terlalu ekstrem dalam menghujani masyarakat dengan berita ketakutan (cmiiw yaa). Dan terus terang, aku setuju. Berita ketakutan hanya akan membuat sebagian masyarakat melawan, bukan semakin takut dan taat pada protokol kesehatan. 

Oke, covid ini penyakit mengerikan. Aku setuju. Tapi please jangan terus menghujani masyarakat dengan berita negatif saja wahai media. Aku sangat setuju hal ini. Sejak melihat video dari Project Nighfall dan Prince Ea, aku sudah meredam sedikit ketakutanku dan menyisakannya untuk kewaspadaan. Tidak lagi bersikap paranoid berlebihan. 

Well, masyarakat pun perlu KESEIMBANGAN. 

Please tolong juga sampaikan bahwa banyak pasien covid 19 yang sembuh. 

Please tolong juga sampaikan tentang perkembangan vaksin dunia. Tentang inovasi obat untuk covid 19 yang telah dicoba dan berhasil. 

Please tolong juga beritakan tentang banyaknya pasien dengan penyakit bawaan yang sembuh. 

Masyarakat butuh itu untuk menyeimbangkan diri dengan berita negatif. Agar jiwanya tidak merasa takut berlebihan lalu mencari pelarian dengan membenarkan teori konspirasi. 

Dan please, untuk teman-teman yang memiliki pengaruh di sosial media. Yang memiliki ratusan like hingga engagement yang tinggi.. Mari mulai seimbangkan berita positif dan negatif. Tunjukkan fakta pahit dan manis. Agar covid 19 tak lagi dianggap main-main. Agar masyarakat waspada dan tetap menerapkan protokol kesehatan. Tidak cemas dan stress lalu berhalu-halu ria dengan teori konspirasi.

Yuk, Tidak Pernah Ada Salahnya Waspada dengan Memakai Masker dan Terus Mentaati Protokol Kesehatan

Kepo dengan ig jrx hingga duniamanji mengajarkanku untuk bisa reframing dengan sudut pola pikir manusia lainnya. Mereka membuatku sadar untuk bisa mengerti keadaan sudut dunia yang lain. Untuk itu, walau sedikit merasa gemes.. Tentu aku berterima kasih. Paling tidak aku bisa menulis dari tuangan ekspresi mereka. 

Dan yaa.. Bagaimanapun juga kita tidak bisa memaksakan pendapat semua orang untuk sesuai denganku. Tulisanku ini hanya sekedar sebuah insight berbeda dari diriku yang awalnya selalu berkata #dirumahsaja.

Didunia ini, setidaknya ada 4 golongan berbeda dalam memahami covid 19.

Dan penganut teori konspirasi adalah mereka yang berada pada golongan 3 dan 4. Entah tekanan psikologis, kurangnya literasi atau ekonomi yang membuat mereka membenarkan teori itu. Tapi bagaimanapun juga.. Please, tidak ada salahnya kok waspada dengan memakai masker. 

Aku tahu daya tahan tubuh kalian yang menganut teori konspirasi mungkin diatas rata-rata. Mungkin juga beberapa dari kalian adalah manusia super saiya. Sehingga para dokter pun tak berani menerima tantangan Jrx. 

Tapi, virus ini nyatanya bukanlah sebuah konspirasi. Korbannya sudah banyak. Bahkan orang sehat sekalipun bisa meninggal dibuatnya. Tolong, berempatikah sedikit. Aku tau kalian tidak punya rasa takut. Kalian kuat. Bersinar. Tapi tolong.. Berempatilah. 

Aku tau kalian sudah banyak menyumbang untuk masyarakat miskin. Kalian menciptakan semangat dan produktivitas dengan cara yang lain. Tapi tolong, berempatilah pada sudut yang lain. 

Terakhir, izin memuat kuotenya ya Bang Tere Liye. 

Tentang Belajar Memaafkan Tragedi Mom Shaming

Tentang Belajar Memaafkan Tragedi Mom Shaming

“Bukan emak-emak namanya kalau belum pernah berhadapan dengan tragedi mom shaming.. “

Kalimat itu sontak langsung aku tertawakan sendiri. Lucu. Dan memang benar sih sesungguhnya. Obrolan renyah dengan teman masa kecilku itu membuka sudut pandang baru tentang tragedi mom shaming yang selama ini tentu saja sering terjadi di kalangan ’emak-emak’

Yaaa… Aku sendiri sebenarnya sudah sering mengalaminya. Bahkan aku juga pernah menulis solusi menghadapi mom shaming. Disisi lain, aku juga pernah menulis tentang mengapa ada ibu-ibu yang gampang sekali baper?

Dan hari ini, aku ingin fokus menulis tentang hal yang lebih sulit. Yaitu.. Memaafkan.

Memaafkan itu Sungguh Sulit

Sulit banget. Memaafkan itu sulit banget genks.

Bahkan ada yang bilang begini, “Aku mungkin memaafkan, tapi aku tidak akan pernah melupakannya.. “

Duh, kalau sudah nemu kalimat begini itu artinya lukanya dalem banget. Bahkan besar kemungkinan kalau ini hanya fase ‘pura-pura memaafkan’. Sesungguhnya, akupun pernah berada dalam fase itu. Berpikir, “Ih kok jahat banget sih ya bilang begitu? Kok memojokkan aku ya? Padahal kita kan sama-sama Ibu?”

Penyebabnya sepele sih sebenarnya. Biasalah, basa basi curhat kehidupan emak-emak malah ujung-ujungnya jadi mom war. Yang satu curhat di sosial medianya, yang satu malah merasa curhatan temannya receh dan menyerang begitu saja. Something like mak emak yang ngeluh kerjaan di rumah gak ada apresiasi.. Lalu di judge sama emak pekerja, “Kamu harusnya bersyukur.. Di rumah aja..bla bla.. Coba aku nih, cape tau seharian bla bla.. “

Ini cuma contoh ya. Banyak sih penyebab mom war dan mom shaming itu. Tapi penyebab paling utama ya karena Emak-emak ini merasa paling benar dan emak yang satunya.. Merasa tidak dihargai ketika berbicara keluhan.

Dan banyak hal lain penyebabnya sebenarnya. Berhadapan dengan mom shaming berkali-kali membuatku belajar untuk selalu bisa berempati dengan kehidupan ibu lainnya. Tapi untuk hal memaafkan mom shaming.. Sungguh itu sangat sulit. Haha..

Memaafkan orang yang melakukan mom shaming pada diri kita, bahkan dia merasa tidak bersalah dan malah melabeli kita ‘mamak baperan’ itu sangat sulit. Apalagi, doi mah.. menyesal pun tidak. Tapi, bukan aku namanya kalau membiarkan perasaan hitam bersemi dalam diri. Aku harus belajar memaafkan, sekalipun orang tersebut tidak menyesal dan tidak pernah meminta maaf bahkan terus saja mengulangi hal yang sama.

Karena aku yakin, hal ini tuh receh. Dan ini akan terus terjadi. Akan selalu ada orang-orang yang ‘judge’ sama kehidupan kita. Maka, sebelum orang tersebut menyesal dan minta maaf. Maafkan saja terlebih dahulu.

Lingkaran Setan Terus Berlanjut Jika Aku Tidak Memaafkan

Hal yang membuatku bertekad untuk memaafkan segala tragedi mom shaming adalah karena mom shaming itu menular. Ini serius.

Hati yang gelap itu, membuatku terus berpikir negatif.

Aku bukan tipikal penyerang balik jika direndahkan oleh orang lain. Aku adalah tipikal yang ‘pura-pura baik-baik saja’. Tapi dibelakang orang tersebut aku meredakan rasa kesal dengan melampiaskannya kepada yang lain.

Aku pernah melampiaskan rasa kesal tersebut pada anakku. Aku juga pernah melampiaskan rasa kesal tersebut dengan memecahkan piring. Puncaknya, aku juga pernah melampiaskan rasa kesal tersebut dengan ‘menghargai dan meninggikan’ diriku sendiri di status sosial media. Semua itu aku lakukan demi menutup lubang menganga yang pernah diserang oleh sosok yang bernama ibu sempurna.

Ini tidak benar. Lingkaran setan ini harus berakhir. Jika tidak…

Yaa.. Aku Merasakan Menjadi Pelaku Mom Shaming

Akhirnya aku merasakan berada diposisi ini juga. Tanpa disadari, aku menjadi pelaku mom shaming.

Ketika aku meninggikan diriku sendiri untuk terlihat ‘sempurna juga’, tanpa aku sadari.. Mulutku mulai melakukan hal yang sama..

.. Aku tidak sengaja telah merendahkan Ibu yang lain.

Dan Ibu tersebut sontak memarahiku. Melabeliku dengan berkata bahwa aku selalu merasa diriku yang paling baik.

Ah, beruntunglah aku karena berhadapan dengan tipe penyerang balik yang kemudian mencaci segala kekuranganku. Akupun otomatis segera meminta maaf, berusaha menjelaskan bahwa ‘bukan itu maksudku’ dan berusaha menjelaskan penyesalanku. Tapi apa daya, nasi sudah menjadi bubur. Ternyata, aku berhadapan dengan Ibu yang keras sekali hatinya. Bahkan sudah meminta maaf berkali-kali pun dia malah mengorek-ngorek seluruh keburukanku.

Tapi tidak apa-apa. Semua salahku. Aku yang awalnya sulit memaafkan orang lain. Aku yang kemudian melepaskannya dengan membuat diriku terlihat sempurna. Aku yang kemudian merasa bahwa kesempurnaanku telah menyakiti orang lain.

Its okay. Thats life.

Semua orang pernah berbuat salah bukan?

Memaafkan, Karena Apa yang Mereka Lakukan Adalah Bentuk Pertahanan Diri

Karena pernah tidak sengaja menjadi pelaku mom shaming.. Kini aku sedikit mengerti dengan para pelaku mom shaming. Dan bergumam dalam hati, “Oh beginikah rasanya?”

Beginikah rasanya ingin menunjukkan kesempurnaan karena merasa ‘diserang’?

Beginikah rasanya ‘geregetan’ ketika melihat orang yang bersedih karena hal sepele?

Beginikah rasanya mempertahankan diri dengan melakukan hal yang salah?

Dan aku kemudian belajar berdamai dengannya, kemudian berkata.. “I feel u now.. “

Yah, ada hikmahnya pernah menjadi pelaku mom shaming ternyata. Aku jadi dapat reframing perasaan mereka yang suka merendahkan Ibu lainnya. Mereka itu ternyata lebih menderita. Mereka ingin berekspresi tapi tidak keluar dengan baik. Mereka punya banyak sampah tapi membuang sampah tersebut di tempat yang tidak benar.

Maka, sebenarnya pelaku mom shaming pun perlu pelukan. Mereka terkurung dalam perfeksionis sindrom dan lingkungan yang memaksa mereka untuk sempurna. Mereka tertular oleh para pelaku mom shaming lainnya. Mereka ini.. Sangat kasihan sebenarnya.

Jadilah Orang Baik yang Selalu Menjaga Mulut dan Jarinya

Ah, sungguh rasa bersalah ini membuatku banyak belajar.

“Hei diriku sendiri.. Jadilah orang baik yang selalu bisa menjaga mulut dan jari.. “

Jika merasa diri lebih baik, hanya buktikan dengan tindakan. Jangan merendahkan orang yang masih tidak baik. Tidak ada gunanya.

Jika merasa ingin mengeluh, mengeluhlah di tempat yang benar. Jangan terlihat oleh orang yang keadaannya bertolak belakang denganmu. Bukan empati yang akan kau dapatkan nanti. Jaga hati orang lain dari rasa ingin merendahkan.

Jika ingin menasehati orang lain, pergunakanlah kata-kata yang sesuai dengan karakter orang tersebut. Jika tidak mengenal orang tersebut secara dekat, lebih baik diam saja.

Jika ingin menulis di sosial media, tetaplah menjadi dirimu sendiri. Menulis itu terapi. Dan toh masih banyak yang bilang tulisanmu bagus. Jika ada yang sepertinya tidak suka dengan gaya tulisanmu.. Maka, blok saja mereka. Demi menjaga hati.

Hidup itu simple.

Jangan gengsi meminta tolong.

Jangan gengsi bilang terima kasih.

Jangan gengsi meminta maaf.

Jangan memberi makan ego dengan sesuatu yang tidak benar.

Dan.. Berusahalah reframing dan memaafkan.

Berdamai dan memaafkan adalah kunci dari penerimaan. Agar dapat menjadi pribadi yang lebih baik esok harinya.

Bukankah begitu?

Pembelajaran Berharga dari Film Kim Ji Young dan Joker

Pembelajaran Berharga dari Film Kim Ji Young dan Joker

Please jangan bilang basi..

Emang ya film ini udah basi sih buat dibahas. Tapi gimana ya.. Mamak baru nonton karena baru aja dapet download’annya. Jadi, jangan bilang basi dulu ya. Karena banyak yang bersileweran di otak emak ketika baru nonton film ini.

Konon, film ini banyak kontroversinya. Apalagi Joker, banyak para psikolog kondang yang bilang, “Jangan nonton Joker.. Nanti tambah sakitnya.. Bla bla.. “

Lah.. Aku ketika denger begitu.. Bukannya tambah takut nonton film joker.. Malah tambah penasaran.. Hahaha

Atau film Kim Ji Young yang konon banyak emak-emak pada baper nonton filmnya. Dan disisi lain banyak juga yang bilang, “Jangan nonton Kim Ji Young.. Nanti ikutan gak merasa bersyukur bla bla.. “

Kan kan.. Aku malah makin penasaran. Gimana bapernya sih kehidupan Kim Ji Young.. Haha

Terus, kenapa aku bikin satu blog post untuk membahas dua film sekaligus? Karena eh karena.. Tulisan ini bukan untuk ngereview film, tapi untuk pengingat diri aja. Bahwa banyak pembelajaran berharga setelah nonton film nyesek begini dua hari berturut-turut.

Jadi buat yang pada protes karena nyari review filmnya disini.. Silahkan back halaman ini dan scrool lagi kebawah plus jangan salahin om google. (Gaya si emak, kek tulisan dia bakal page 1 aja.. Biasanya juga jaoooh.. Hahaha)

Nah, ada beberapa hal yang aku pelajari setelah nonton 2 film ini. Dan hal itu diantaranya adalah..

1. Kim Ji Young: Post Partum Depresion dapat terjadi pada Siapa saja..

Sebagai mantan penderita PPD, yang dulu sempat ngamuk-ngamuk plus nangis-nangis sendiri saat membesarkan anak sendirian dibawah ekonomi rumah tangga yang dalam fase pembangunan plus di bawah mamak-mamak perfeksionis yang suka nyinyir sama kehidupan aku.. aku penasaran dengan penyebab PPD yang diderita oleh Kim Ji Young.

Apakah kehidupan ekonominya separah aku?

Apakah komunikasinya dengan suami separah aku? Cobaan pernikahannya separah aku?

Apakah innerchildnya separah aku?

Apakah Lingkungannya separah aku?

Ternyataaaa… Zonk semua. Hahaha..

Bahkan, aku jujur saja bahwa diawal-awal aku nonton Kim Ji Young ini.. Aku sempat julid dengannya. Julid banget malah. Tapi kutahan-tahan sambil berusaha berempati.

Bagaimana tidak? Jujur kehidupan rumput hijau Kim Ji Young itu sempat membuatku merasa iri.

Pertama, dia punya suami yang super pengertian. Kedua, dia bisa menitipkan anaknya di day care. Ketiga, please.. Dia punya sosial life yang berempati sama kondisinya. Keempat, mamaknya buk.. Subhanallah.. Menolong banget sama dia. Kelima, kehidupan ekonominya baik-baik saja.. Sudah punya rumah sendiri dan bahkan mobil sendiri. Sungguh, ingin ku julid dan iri hati saat melihat itu semua. Tapi kutahan-tahan.. Saat melihat orang seperti ini, hati kotorku kadang ingin berteriak, “Hei.. Kamu kurang bersyukur Kim Ji Young..”

Tapi, aku masih berusaha berempati. Bahkan saat mamak-mamak lain pada nangis nonton film ini.. Aku masih berusaha reframing dengan keadaan Kim Ji Young. Dan aku berhasil reframing saat adegan Kim Ji Young  ingin bekerja dan ditelpon marah-marah sama mertuanya. Sungguh, saat adegan itu.. Luka lamaku terasa terbuka lagi. Aku teringat dengan kisah lamaku dengan mertua dahulu. Bagaimana sulit ketika lingkungan patriarki bertentangan dengan ideologiku dan bagaimana aku berdamai dengan semua itu.

Baca juga: “Kenapa aku harus membenci mertuaku?”

Baca juga: “Tentang Penerimaan menjadi Ibu Rumah Tangga”

Pada adegan itu.. Disitulah mamak akhirnya ikutan nangis gaes.. 

Bedanya, mamak gak ada yang melukin waktu itu gaes.. Malah kiri kanan pada menghakimi. Ya ya ya.. Mamak sudah terbiasa dengan kata-kata “kamu kurang bersyukur.. ” Sehingga.. Saat mamak ingin mengatakan itu kepada rumput hijau tetangga.. Mamak selalu menahannya karena berpikir ulang, “Siapalah aku yang hanya tahu sepersekian persen dari kehidupan seseorang.. “

Dan saat melihat Kim Ji Young plus Support System yang dia miliki.. Aku akhirnya bisa berdamai melihat Rumput Hijau itu. Kemudian berkata, “Ternyata, Post Partum Depresion bisa terjadi pada siapa saja..”

Enggak peduli seberapa banyak support system yang seseorang miliki..

Enggak peduli seberapa sayangnya suami plus Ibu Kim Ji Young..

Kalau orang sudah terkena Post Partum Depresion. Maka yang harus kita lakukan adalah menerima bahwa PPD is Real.

Bukan masalah kurang bersyukur atau tidak. Ini lebih daripada itu saja.

Bahwa, kondisi psikologis orang itu tidak sama. Begitu pula biologisnya.

Ibaratnya, orang berkulit tebal yang terjatuh.. Akan berbeda dengan orang berkulit tipis yang terjatuh. Dalamnya luka mereka sangat berbeda.

Post Partum Depression, dapat diderita oleh siapa saja. Bahkan, oleh Ibu yang terlihat baik-baik saja di sekitar kita. Ibu yang tersenyum saat melihat anaknya di luar sana. Ibu yang terlihat cantik dan biasa-biasa saja. Kita tidak tahu apa yang mereka lalui didalam kehidupannya. So.. Stop bilang bahwa Post Partum Depresion itu diawali oleh “kurang bersyukur” Apalagi “kurang beriman”

2. Joker: Don’t Judge People.. Just Emphaty

Sulit memang untuk tidak men-judge orang-orang spesial ini.

Joker yang selalu tertawa..

Kim Ji Young yang selalu menangis..

Mereka dengan kondisi spesialnya. Yang bukanlah cacat secara biologis. Tapi cacat secara psikologis. Dan itu sulit.. Karena semua sakit itu tidak terlihat secara fisik.

Beda cerita ketika kita melihat orang yang tidak punya tangan, orang yang tidak bisa melihat.. Orang yang tidak bisa berjalan. Maka, Emphaty kita akan tumbuh tanpa bertanya.

Bahkan, saat ramai-ramainya film joker.. Ramai pula sebuah meme bahwa ‘Nabi Muhammad disakiti berkali-kali tapi tetap berbuat baik..’ seolah-olah meme itu diciptakan untuk menyangkal perbuatan joker. But.. Menurutku Itu adalah Toxic Positively. Terutama, untuk penderita mental Illness.

Sesungguhnya, aku pernah bertanya didalam hati. Siapakah tokoh yang diciptakan oleh penulis Batman terlebih dahulu? Apakah Batman? Atau Joker? Apakah penulis membuat pahlawan terlebih dahulu? Atau ‘masalah’ terlebih dahulu? Ah, entahlah..

Dari film joker, aku sungguh banyak belajar tentang Mental Illness. Bahwa penyebab dari mental illness ada 3, yaitu secara Biologis, Psikologis dan Lingkungan. Joker? Dia menerima 3 faktor itu dengan sempurna. Jika aku sulit reframing dengan keadaan Kim Ji Young.. Maka, saat menonton film joker.. Aku tidaklah menangis lagi.. Tapi nyesek, sambil mikir.. Kok ada orang yang hidupnya sebegitu ngenes? Oh, syukurlah ini hanya fiksi.

Tapi, serius..

Dari nonton film joker ini aku belajar untuk memahami kondisi para mental illness.

Tentang Narsistic Disorder yang diderita Penny.

Tentang Skizofrenia.. Dsb..

Para penderita Mental illness membutuhkan obat spesial untuk mengobati penyakitnya. Dan ia membutuhkan lingkungan yang support dengan keadaannya.

Terus, apa yang harus kita lakukan saat bertemu dengan para penderita mental illness? Yang suka ketawa-ketawa melulu.. Yang dikit-dikit nangis melulu.. Yang kalau mereka curhat.. Malah bikin toxic.

Jawabannya.. PURA-PURA SAJA BEREMPATI.

Jujur ya, andai makhluk kayak Kim Ji Young ini berada di lingkunganku.. Pasti dia akan terkena penghakiman demi penghakiman yang tiada habisnya.

Something like, “Eh please deh.. Suami lo tuh udah mapan.. Lo kerjaan nangis-nangis gak jelas. Mau kerja apa? Gajih lo juga gak bakal cukup.. Bla bla.. “

Or something like, “Lo tuh kurang apa sih? Tuh anak juga bisa dititipin. Lo juga bisa ketemu sama temen-temen.. Coba nih guweeh.. Gue jadi upik abu aja di rumah sepanjang hari sama 5 anak gue yang kecil-kecil.. “

Please.. Jangan teruskan penghakiman demi penghakiman diatas. Itu menular. Serius. Aku pernah mengalaminya. Aku bahkan juga pernah tidak sengaja menjadi pelaku mom shaming gara-gara rantai ‘judge’ yang tidak ada habisnya ini.

DENGARKAN SAJA keluhan demi keluhan yang disampaikan oleh orang yang jiwanya tersakiti ini. Jika tidak bisa mendengarkan dengan baik maka PURA-PURA MENDENGARKAN SAJA. Sungguh, itu sangatlah cukup.

Syukur-syukur kalau emphati kita yang berawal dari pura-pura saja itu dapat berbuah senyuman dari mereka. Bagi penderita mental illness.. Lingkungan yang tidak Toxic Positively itu menentramkan jiwa mereka. Mereka membutuhkan Emphaty dan obat.

3. Berekspresilah secara baik, karena ekspresi yang ditahan dan meledak itu sangat tidak baik

Jujur, aku telah menghadapi orang dengan Mental illness berkali-kali.

Aku punya salah seorang keluarga yang terkena skizofrenia. Dan aku sendiri adalah mantan penderita PPD. So, i know Mental illness so well.

Ada satu hal yang aku garis bawahi sebagai penyebab mental illness yang utama. Dan hal itu adalah selalu menahan ekspresi.

Sedih.. Ditahan..

Marah.. Ditahan..

Sabar katanya.. Sabar katanya..

Kenyataannya, sabar itu tidak bisa restok begitu saja. Ada proses cinta dalam menciptakan kesabaran. Apabila proses cinta itu zonk.. Maka sabar itu mencapai batasnya. Dan akan keluar ekspresi yang berbeda untuk pertahanan psikologis seseorang.. Something like.. Sedih.. Marah.. Bahkan benci.

Ekspresi itu.. Tidak bisa selalu ditahan jika tidak diimbangi dengan cinta. Jika selalu ditahan plus ditambah dengan lingkungan yang negatif maka ia akan menjadi bom yang dapat meledak kapan saja. Maka, jika stok cinta sedang sekarat.. Sangat perlu untuk menyalurkan ekspresi negatif itu.

Sebagian orang ‘normal’ akan menyalurkannya dengan elegan. Salah satu hal yang paling efektif adalah dengan melakukan hal yang paling disenangi. Itu sih ya.. Orang normal yang punya penyaluran  yang tepat.

Bagi orang dengan kondisi ‘spesial’ maka sangat penting untuk menuangkan ekspresi ini dengan cara yang spesial pula.

Aku punya beberapa teman yang menuangkan ekspresi negatifnya dengan berolah raga. Berlari, meninju, hingga yoga. Dan itu memang efektif. Aku juga punya teman yang suka berteriak-teriak dilapangan lepas dan sunyi jika emosi, ada pula yang berkaraoke ria. Tapi, tidak semua orang punya waktu spesial untuk itu. Terutama, untuk emak-emak rempong yang tidak punya support system.

(Eh, jangan ditanya kenapa aku punya banyak teman yang aneh-aneh. Itu karena aku punya kepribadian melankolis plegmatis yang dapat berempati plus baper berlebihan sehingga memang kadang virus negatif suka hinggap dari teman.. )

Dalam kasus Kim Ji Young, ia menemukan solusi dalam berekspresi dengan menulis. Aku rasa, inilah hal paling simple dan elegan yang bisa dilakukan oleh para Ibu Rumah Tangga ketika dalam keadaan stress. So.. Jangan judge Para Ibu-ibu yang hobi update status dan menulis. Walau tulisannya jelek sekalipun. Bisa saja.. Itu adalah healing version miliknya.

Dalam kasus Joker, ia mencoba mencari kesenangan dengan menjadi pelawak. Ya.. Semua orang perlu berekspresi. Termasuk penderita Mental Illness. Biarkan saja mereka. Jangan ganggu kehidupan mereka. Karena, ekspresi yang ditahan dan meledak itu justru berbahaya. Seperti halnya yang dilakukan joker dengan membunuh.. Kim Ji Young yang tidak diobati segera pun mungkin saja berakhir demikian jika ia tidak menemukan solusi dengan menulis.

So.. Mak emak narsis dengan selfie-selfie..

Mak emak nulis status sesuka hati..

Mak emak tetiba pakai lipstik gonjreng..

Biarin aja mah.. Hidup ya hidup diaa..

Bukan cuma mak emak.. Semua orang juga.. Single juga.. Just enjoy your life dan berekspresilah secara baik. Selama itu tidak menyakiti hati orang lain.. Kenapa tidak?

Ekspresi itu menyembuhkan hati yang terluka. Kita tidak tau, dengan ekspresi itu.. Orang-orang ini akan berbuat kebaikan untuk orang yang disayanginya.

Biarkan saja ekspresi itu, sampai ekspresi itu membuahkan empati dari orang yang disayanginya. Kemudian akan muncul cinta. Saat cinta itu muncul.. Maka ekspresi akan berubah menjadi positif. Dan itu semua perlu proses.

Orang-orang dengan Mental Illness ini memang toxic sekali ekspresinya. Dikit-dikit ngeluh.. Dikit-dikit nangis. Kita? Kalau tidak suka dengan semua itu gampang sekali solusinya. Tinggal unfollow, mute, hide. Toh, kita juga bukan psikolog yang bisa selalu menjadi tempat sampah bukan?

Biarkan saja orang berekspresi. Karena ekspresi yang ditahan itu tidak baik. Trust me.. Selama ekspresi itu tidak berbahaya.. Maka biarkan saja.. Biarkan hingga orang yang ia sayangi menyadarkan dan memeluknya.

4. Pertahanan Spiritual itu Penting Banget

Well, jika ada yang bertanya.. Apa yang menyembuhkanku dari PPD dahulu? Maka pertahanan spiritual adalah salah satunya.

Selain dengan membebaskan ekspresi, pertahanan spiritual dengan berdoa dan menangis sesuka hatiku adalah hal terbaik yang bisa aku lakukan.

Aku memang bukan orang verbal. Yang bisa merangkai kata dalam berdoa. Suaraku bahkan punya 5 versi berbeda. Karena itu aku lebih suka menangis dan menulis.

Curhat dengan Sang Pencipta adalah solusi terbaik.

Jangan ditanya kapan waktunya. Kadang aku bahkan tidak meluangkan waktu khusus. Ada panggilan di malam hari tapi malah aku abaikan karena kelelahan mengasuh bayi. Tapi, percaya saja.. Allah ada di mana-mana.

Saat memeluk bayi dan meminta maaf padanya maka ucapkanlah kata itu.

Astaghfirullah hal aziiim.. Menangislah sejadi-jadinya. Sesungguhnya, itu adalah doa.

Allah memahami bahwa itu adalah rintihan untuknya. Maka, ucapkanlah doa itu di dalam hati. Tulislah di selembar kertas barang sejenak.

Itu tidak instan mengobati memang. Tidak seampuh obat. Tapi itu.. Cukup menenangkan..

Dan pertahanan tipe ini.. Tidak dimiliki oleh Kim Ji Young maupun Joker.. Juga oleh April dalam Film Revolutionary Road.

Kita punya modal dalam menciptakan kesembuhan Mental Illness. Dan salah satunya adalah Iman. Konon, iman memang tidak dapat menggantikan cinta.

Tapi, iman dapat memanggil cinta.

Begitulah pergerakan syukur yang benar. Penderita mental illness bukanlah orang yang kurang bersyukur. Mereka hanya orang biasa yang butuh ruang untuk mengeluh.. Dan mereka sedang belajar untuk mengeluarkannya dengan cara yang benar. Bukankah mengeluh adalah tahap awal cara kita belajar arti syukur?

Yah, demikian curcol emak tentang 2 film ini. Banyak bukan pelajaran yang bisa diambil? Setiap film punya pesan positif tersendiri, tergantung dari mana sudut pandang kita memahaminya.

Tapi, memang betul kata psikolog kondang itu. Jika sedang terkena mental illness atau baru sembuh dari mental illness atau yaaa.. Kondisi spesial lainnya.. Lebih baik untuk tidak menonton film ini. Karena luka lama akan teriris pada bagian yang tidak kita sadari. So, berani nonton 2 film ini? Yakinkan dulu bahwa Anda benar-benar dalam kondisi positif dan nyaman. 🙂





Curhat Mantan Emak Penderita PPD: Begini Caranya agar Ibu Tidak Stress Pasca Melahirkan

Curhat Mantan Emak Penderita PPD: Begini Caranya agar Ibu Tidak Stress Pasca Melahirkan

source image: parentsmagazine.com

Tidak terasa umur kandunganku kini sudah 5 bulan saja. Perasaanku mulai girang jika mengingat awal bulan februari nanti akan lahir bayi baru sebagai pengisi kelengkapan kebahagiaan bagiku, suamiku, dan tentunya anak pertamaku Farisha. Kini, Bayi mungil didalam rahimku mulai bergerak, menendang-nendang bahkan sesekali berdenyut-denyut.. Menumbuhkan seribu rasa cinta di hatiku sebagai Ibunya.

“Tak sabar rasanya ingin melihat kehadiranmu didunia..”

Tapi..

Tapi aku mengakui, mimpi buruk itu kadang selalu datang. Mimpi dimana aku menangis di tempat tidur sambil menyusui anakku. Mimpi dimana aku meneriaki Farisha kecil dulu. Mimpi dimana aku menjadi monster, membuat seluruh keluargaku ketakutan. Mimpi dimana aku membuat Farisha menangis, menjadi gagap, dan gemetar.

Mimpi dimana aku benar-benar berada dalam posisi tersudut. Merasa tidak pantas menjadi ibu. Merasa berdosa menikah muda. Merasa berdosa langsung hamil.

Akankah aku menjadi seperti dahulu lagi jika memiliki bayi kecil_lagi?

Sungguh, aku berharap itu tidak lagi terjadi padaku.

Aku Berharap Baby Blues dan PPD Tak Pernah Singgah Pada Diriku Lagi

Memiliki bayi pernah membuatku tidak bahagia.

Saat itu Aku adalah Ibu Muda yang baru berumur 22 tahun. Aku menikah saat kuliah semester akhir dan langsung hamil. Kuakui, dulu aku tidak menginginkan bayi ini begitu dini singgah dikehidupanku. Cita-citaku masih panjang. Aku ingin bekerja, ingin mengoptimalkan passion, ingin membahagiakan orang tua.. Seperti remaja fresh graduate pada umumnya.

Tinggal di rumah Mama dengan status LDR dengan suami, merasakan betapa tidak nyamannya hidup dengan bantuan orang tua padahal dengan status menikah. Ditambah beberapa bulan kemudian membesarkan anak di pondok mertua indah dengan berbagai hal yang berkebalikan dari kehidupan remaja.. Mumbuatku stress, shock, dan ingin kembali memutar waktu. Saat itu, hal yang kuharapkan adalah ‘Menunda Waktu untuk Menjadi Ibu’

Suami yang merasa bahwa tinggal di rumah mertua tidak membuatku bahagia akhirnya memutuskan untuk membeli rumah secara kredit. Kupikir itu bagus. Namun, aku harus berhadapan dengan rintisan ekonomi yang terbilang tidak mudah. Suamiku hanyalah PNS biasa dengan gajih yang terbagi untuk Ibunya dan Saudaranya. Ditambah dengan kreditan rumah? Bisa dibayangkan berapa uang sakuku tiap bulan.

Awalnya aku berusaha sabar. Sebisa mungkin mengatur keuangan rumah tangga dengan pemasukan seadanya. Bahkan seingatku dulu, dalam sebulan aku hanya satu kali membeli pospak. Selebihnya aku memakaikan clodi untuk anakku. Aku juga tak pernah jajan diluar, aku selalu memasak. Aku tak pernah membeli perawatan berlebihan kecuali bedak mars dan pelembab serta 1 batang lipstik untuk 1 tahun. Aku mencoba bertahan. Sampai suatu hari aku mendengar ‘ceramah’ dari salah seorang anggota keluarga. Ceramah yang intinya mengklaim bahwa aku termasuk boros. Ya, hanya karena ia melihat penampilanku ‘mungkin’ terlihat bagus dibanding ’emak sudah punya anak pada umumnya’.

Mungkin sejak itu aku suka meledak-ledak. Mulai suka membentak keluargaku. Mulai suka menangis sendiri. Mulai merasa bukan Ibu yang sempurna. Ditambah menu masakanku selalu kalah dibanding masakan cicipan klasik di lidah suamiku dulu. Aku tak tahan dengan ‘nyinyiran’. Ditambah sikapku yang tak bisa membela diri dan selalu diam. Ditambah sosial mediaku yang selalu diadukan.. Membuatku tak bisa membuka diri dan mengadu dengan benar.

Semuanya meledak-ledak begitu saja.

Baca juga: Mom War dan Perfectionis Sindrom adalah Penyebab Stress pada Ibu

Suamiku kemana?

Ingat, ekonomi kami sedang merintis. Artinya, suamiku sibuk berkerja siang-malam. Ketika datang kerumah ia kelelahan dan tertidur. Tak ada lagi ruang yang benar untukku mengadu. Hanya satu ruang itu. Yaitu memarahi anakku.

Its Okay, Itu Hanya Masa Lalu

Alhamdulillah sekarang kondisi keluarga kami sudah jauh lebih baik. Farisha sudah besar dan pintar. Suamiku telah diangkat menjadi Dosen Tetap, pekerjaan sampingannya tetap berjalan, dan aku telah menyalurkan passion gado-gado yang kumiliki ke dalam blog ini. Segalanya terasa lengkap.

Aku juga telah memperbaiki kesalahan masa laluku kepada Farisha. Sejatinya, aku tau bahwa lubang itu tak akan benar-benar sembuh. Tapi aku telah membuatnya tertawa lagi dan menjadi anak ceria pada umumnya. Ia berkembang jauh lebih baik dibanding harapanku. Ia memiliki bakat spesial dan ocehan yang sangat lucu.

Baca juga: Tentang Dampak Post Partum Depression pada Si Kecil dan Caraku memperbaikinya

Masa lalu telah mengajariku segalanya, bahwa untuk mencegah terjadinya Baby Blues dan Post Partum Depression maka sangat diperlukan pemahaman dari keluarga dan lingkungan sekitar. Berikut ini adalah cara-cara agar Ibu tidak stress pasca melahirkan:

1. Ajak Suami untuk Berperan dalam Membantu Kegiatan Rumah Tangga

Suami adalah Raja.

“Layani laki bujur-bujur mun handak parajakian..”

Artinya: Layani suami dengan sebenar-benarnya agar hidup penuh rejeki.

Banyak para emak yang masih tidak mengerti dalam arti pelayanan yang benar dan menguras dirinya terlalu dalam untuk serba bisa dan sempurna dalam rumah tangga. Termasuk mengerjakan segalanya serba sendiri dan meng’haram’kan suami ikut campur. Walau memiliki bayi kecil yang selalu menangis.

Aku bahkan pernah disindir saat memiliki anak pertama dulu, “jangan sampai laki membasuhi anak *ah*ra kena bini harat lawan laki.”

Artinya: Jangan sampai suami ikut membersihkan ‘pup’ anak, nanti jadi istri durhaka.

Ya, aku tinggal dilingkungan dengan omongan ketus seperti itu. Hingga anakku berumur 2 tahun, tak pernah sekalipun aku menyuruh suamiku untuk berperan dalam hal ini. Termasuk saat aku kepasar, tidak ada yg mau menggantikan popok si kecil yang basah dan bau.

Aku terlalu takut untuk terlihat minta tolong.

Hingga suatu hari aku pun tak tahan dan menumpahkan segala kekesalanku. Bagaimana tidak sukanya aku dengan pola pikir ’emak zaman old’ yang kaku. Tentang bagaimana seharusnya suami ikut membantuku, bagaimana seharusnya ia maklum dengan hasil masakanku dan bagaimana seharusnya kami membagi tugas bersama. Cukup satu malam untuk membuatnya mengerti dengan hal itu. Dan aku berpikir, “Andai sejak dulu aku curhat dan terbuka mungkin tidak akan seperti ini..”

Jangan pernah sungkan meminta bantuan kepada suami. Please, bikin anak berdua. Masa yang membesarkan cuma sendiri?

2. Jika memiliki Anak Pertama, Sedini Mungkin Ajari Ia untuk Menyayangi dan Memperhatikan Adiknya untuk menghindari Sibling Rivalry

source image: drgailgross.com

Konon, jika kita memiliki anak kedua maka anak pertama akan senang awalnya namun pada suatu moment ia akan merasakan perasaan iri dan tidak diperhatikan. Pada saat inilah anak pertama akan mulai mencari sensasi pada Ibunya agar diperhatikan kembali. Moment ini bernama Sibling Rivalry.

Sibling Rivalry akan membuat emak stress jika anak pertama tidak bisa diajak bekerja sama dalam ikut menyayangi adiknya. Biasanya pemicu utamanya adalah lingkungan sekitar juga yang membanding-bandingkan anak pertama dan kedua di depan anak pertama sendiri. Contoh:
“Wah, adek kamu putih cakep.. Kok kamu item?”
“Kayaknya adeknya mirip mamanya nih, kalo kamu mirip bapak ya.. Cantik deh adeknya..”
“Nanti kamu gak disayangi lagi deh.. Hahahaha..”

Memang, sekilas kalimat diatas mungkin maksudnya adalah ‘bercanda’. Tapi bagi anak kecil, kalimat itu cukup menyakiti hatinya dan sudah sangat cukup untuk menumbuhkan bunga-bunga rasa iri. Ah, entahlah bagaimana cara mencegah orang-orang untuk bercanda seperti ini. Ini sering terjadi dan yang repot pada akhirnya adalah emaknya sendiri. 😑

Bayangkan bagaimana repotnya kalau anak kedua menangis tapi anak pertama malah ikut menangis meminta perhatian juga? Jujur saja, ini lebih horor dari pada baby blues dengan satu anak. Untuk menghindari fase horror ini pula aku memberi jarak 5 tahun dalam kehamilan kedua. Dengan begitu aku dapat memberi pemahaman kepada anak pertama karena ia sudah sedikit besar dan bisa mengerti.

3. Hindari berteman dengan orang-orang yang ‘suka nyinyir’

Mommy War saat punya anak masih bayi? Bisa saja.

Walau disini masih terikat dengan adat kental bahwa Ibu dan bayi tidak boleh keluar rumah sebelum 40 hari, namun adaaa saja emak-emak yang hoby menengok dan nyinyir. Haha. Bener gak?

Contoh:

“Ih, payudaranya kok kecil. Ada gak susunya tuh?”

“Kok anaknya gak diayun? Kamu kerjanya gimana? Masa disamping bayi aja?”

“Loh, gak masak kah?”

“Rumah kok berantakan, cucian aja masih berendam kamu malah tidur..”

Dst.. Dst..

Punya tetangga kepo begini? Gak usah dibukain pintu.. 😂

Punya mertua begini? Tinggal ditempat mertua? Kaburr.. 😂

Yah kok solusinya gitu amat?

Ya bagaimana lagi? Perasaan wanita itu sudah terlahir sensitif dari zaman megantropuspaleojavanikus (nama macam apa ini.. 😂) Ditambah baru melahirkan, ditambah kecapean, ditambah kelaparan.. Perasaannya itu sedang dalam mood krisis sensitif.

Pas ditengok orang sih maunya tuh orang muji-muji si bayi kek.. Malah nyinyirin emaknya.. Noh.. Kelaut aja sono kalo mau nyinyir.. 😂

Sumvah, blog macam apa ini.. Haha

4. Penuhi ‘Hak Me Time’ milik Ibu

Semua Ibu berhak bahagiaa..
Semua Ibu berhak punya pilihan. Termasuk itu menggeluti passion yang disenanginya. Betul?

Tidak sedikit para Ibu yang terkuras passionnya karena kegiatan rumah tangga, merelakan cita-citanya begitu saja demi lengkapnya kebutuhan jasmani dan rohani anggota keluarga. Hal ini sudah seharusnya? Begitulah pekerjaan wanita? Iyes, itu emak zaman old.

Emak zaman old enggak punya passion warna warni seperti emak zaman now yang terawat dengan status pendidikan tinggi. Emak zaman now akan sangat merasa berdosa jika ilmu yang telah ia miliki tidak tersalur dengan baik. Ilmu tersebut telah menjadi bagian dari hidupnya dan penyaluran passion dari ilmu tersebut adalah hal yang sangat penting.

Jadi, biarpun kita sebagai ibu sudah memiliki anak bayi dan mengorbankan 90% hidupnya untuk itu.. Paling tidak, sisakan 10% hidup untuk diri kita sendiri. Sisakan kebebasan untuk memilih dan berekspresi. Itulah sederhananya makna me time produktif ala Emak Zaman Now.

Baca juga: “The Power Of Emak-emak zaman now itu BEDA”

5. Isi Sebagian Me Time dengan Menguatkan Spiritual Ibu

Jangan pernah lupa untuk menguatkan hubungan kita dengan Sang Pencipta. Sempatkan berdoa dan bersujud sedikit saja. Karena sudah fitrah manusia untuk menyerahkan diri dan bersujud kepada-Nya dalam bersyukur dan meminta pertolongan.

Berwudhu, beribadah dan melantunkan ayat suci adalah cara manjur untuk mengisi kesejukan dalam hati kita. Isilah sebagian me time yang kita miliki dengan hubungan kepada Sang Pencipta. Karena itu adalah kebutuhan rohani kita yang tidak bisa ditinggalkan.

6. Hindari Menjadi Ibu yang Serba Sempurna

source: the average mommy

Menjadi sempurna memang suatu kebanggaan. Rumah bersih dan rapi, makanan selalu homemade, anak tidak rewel, baju sistem setrika semua, rajin membuat bahan DIY untuk kecantikan. Tapi, saat kita memutuskan untuk menjadi serba sempurna.. Tanyakan kembali pada diri kita, sudah benarkah hal yang kita lakukan?

Ya, sudah menjadi sifat alami seorang Ibu dan Istri, jika ia sudah mencintai maka ia terbiasa untuk kebablasan melayani dan mengabaikan kewarasannya sendiri. Ditambah dengan lingkungan yang menuntut segalanya serba sempurna maka stress pada Ibu sangat rentan terjadi. Solusinya, lepas salah satu standar kesempurnaan dan lakukan ‘me time’ dengan waktu luang yang jarang ada tersebut.

Bagiku, melepas standar kesempurnaan ini sangat manjur untuk meredakan stress. Dulu, aku penganut homemade garis keras. Disamping karena faktor ekonomi, hal ini juga faktor kebiasaan dari lidah suami. Apalagi, jika berkunjung ke tempay mertua aku selalu ditanya, “Makan apa hari ini?” atau “Masak apa di rumah?”

Rasanya itu… Eeeeng…

Baca juga : Tentang Pengalaman Jatuh Bangun Belajar Memasak

Tapi sekarang? Aku masih homemade memang. Tapi aku sudah termasuk cuek saat ditanya hal-hal seperti itu. Kalau sedang malas atau tidak sempat masak karena jadwal yang tiba-tiba padat, jawab saja sejujurnya. Haha.

Karena memberi standar kesempurnaan pada setiap pekerjaan Ibu itu menyakitkan.

7. Jangan Biarkan Perut dalam Keadaan Kosong saat Menyusui

Siapa yang gampang marah saat dalam keadaan lapar?

Kurasa semua juga gampang marah ya, kecuali sedang berpuasa.. Hihi.. Tapi, jangan pernah biarkan Ibu Menyusui dalam keadaan kelaparan dan harus mengerjakan setumpuk pekerjaan tanpa adanya pasokan makanan yang ‘ready’ di rumah. Apalagi, saat sedang kelaparan begitu anggota keluarga malah meminta request makanan homemade yang susah di buat. Yaaa.. Something like.. Ikan Panggang yang dipanggang memakai kayu bakar maupun ayam geprek krispi dalam durasi setengah jam.

Rasanya itu…. Eeeeeggggh…!!!

Mengertilah Ibu Menyusui itu sangat kelaparan, ia tidak berpikir lagi untuk menyempatkan diri memasak dalam waktu yang lama. Ia bahkan senang jika mie instan saja sudah dapat hadir walau tanpa telur di kamarnya. Ya, tidak perlu yang mahal-mahal. Hanya meminta perhatian, Yes?

Syukur-syukur kalau dibawakan pizza sepulang kerja…

Rasanya itu.. Meleleh… Klepek klepek dan langsung jatuh cinta lagi..

Hahaha

8. Jangan Menutup Diri dari Komunitas

Setiap Ibu butuh ruang sosial untuk dapat tetap eksis dan merasa ‘tidak menghilang’. Karena itu, adanya komunitas sangat diperlukan buat Ibu.

Tidak perlu komunitas ngumpul-ngumpuk secara nyata. Zaman now, apalagi buat Ibu-ibu yang tinggal di komplek perkotaan sangat sulit untuk menemukan teman nyata yang ‘sreg’, betul? Ya, zaman sekarang menjadi salah satu member di Grup WA saja sudah menyenangkan loh. Apalagi jika member dari grup tersebut menyenangkan dan saling mendukung. Komunitas seperti ini sangat diperlukan untuk mengisi ruang sosial.

Kadang, saking sibuknya Ibu. Ia sampai lupa dengan kebutuhan sosialnya. Tau-tau rasanya menghilang saja. Aku pernah merasakan hal ini, rasanya sangat sulit untuk dapat bergabung kembali. Maka, sebisa mungkin sesekali bertegur sapalah walau sebatas like dan say ‘Hi’.

9. Mengeluhlah Jika itu Membuat Ibu Merasa Lega

Well, point ini masih menjadi pro dan kontra.

Konon, katanya seorang Ibu harus dapat menjaga aib keluarga. Tidak boleh mengeluh dan mengadu. Apalagi di sosial media.

Terus, kalau si Ibu ini kerjaannya di rumah saja tanpa teman curhat gimana dong? Suaminya gak ada gimana dong? Orang tuanya bukan pendengar yang baik gimana? Mertuanya suka nyinyir gimana? Lari kemana tuh Ibu? Curhat sama kucing? Gak suka kucing gimana dong?

Banyak loh, Ibu-ibu stress yang terancam bunuh diri bahkan membunuh anaknya karena menumpuk-numpuk beban kesedihan tanpa pernah curhat sekalipun.

Baca juga: Kasus-kasus Pembunuhan Anak Oleh Ibunya Sendiri karena Post Partum Depression

Curhat itu perlu. Berekspresi itu perlu. Jika kita tidak dapat menjadi pemberi solusi terbaik, setidaknya.. Jadilah pendengar yang baik. Karena pada titik jenuh dan stress seorang ibu, ia hanya butuh pelampiasan untuk mendengarkan ‘sampah’ yang wajib ia buang.

***

Aku pernah amat sangat menyesal telah membuat anakku menjadi pelampiasan ketidak-warasanku dahulu. Karena itu, semoga cara-cara yang telah kutulis ini mengingatkanku bahwa, “Jadilah seorang Ibu yang bahagia. Karena Ibu yang bahagia akan menularkan kebahagiaannya untuk orang-orang yang ia sayangi..”

Tidak Sabar menunggumu, Anakku yang Kedua. Mama tidak menjanjikan apa-apa untuk membuatmu lebih baik nantinya.

Tapi mama berjanji akan menjadi Bahagia karena Kelahiranmu.

Hal-Hal yang Biasa dilakukan Emak Introvert ditengah-tengah Komunitas Emak Ekstrovert

Hal-Hal yang Biasa dilakukan Emak Introvert ditengah-tengah Komunitas Emak Ekstrovert

source image: www.romper.com

Pernah enggak sih mak, merasa sunyi ditengah-tengah keramaian? Padahal, banyak para emak lain yang sedang asyik bercanda-ria disekitar kita. Tapi, kita malah merasa sendirian saja.

Tenang, jika emak pernah merasakan hal tersebut maka sebenarnya Anda tidak sendirian. Bisa jadi, Anda adalah salah satu emak berkepribadian introvert yang berbeda dari kebanyakan emak yang lain.

Aneh enggak sih hal tersebut?

Hmm.. Aku sih bilang hal itu bukanlah hal yang aneh. Ya, kita kan tidak bisa mengubah kepribadian kita yang sebenarnya merasa nyaman dengan hal itu. Memang, mungkin sebagian emak yang lain akan menganggap kita sedikit antisosial dan pilih-pilih teman. Tapi, ya.. Memang begitukan para emak intovert itu sejatinya? Hihi

Baca juga: Susahnya jadi Cewek Melankolis Akut

Sedikit curhat, sebenarnya aku termasuk golongan emak introvert. Yah, walau di dunia maya sebenarnya kadang tulisanku terbilang sedikit konyol (yang udah pernah baca sebagian pasti tau 😂✌). Tapi, sebenarnya di luar aku sedikit jaim (jaga image) apalagi kalau berkumpul dikomunitas yang tidak terlalu aku senangi (baca: mak-mak hoby ngerumpi).

Aku sih emaknya hoby pakai topeng. Maksudnya, walau aku enggak terlalu senang dengan komunitas tersebut tapi aku tetap berusaha bisa bergabung. Apalagi nih kalau salah satu emak tersebut anaknya akrab dengan anakku. Tapi.. Tetap ya.. sampai kapan kita bisa terus bertahan dengan alur pembicaraan yang tak sesuai dengan kita. Puncaknya, akan ada yang bernama awkward moment. Betul?

source: introvert doodles by maureen ‘marzi’ wilson

Nah, jika sudah mengalami awkward moment ditengah-tengah komunitas emak ekstrovert. Ada beberapa hal yang biasanya aku lakukan supaya tidak BT (bosen terus), hal itu antara lain adalah…

1. Sok Pinter atau Pura-pura Serius Baca Buku

Emak-emak lain pada asyik ngegosip dan pamer ala sosialita? Sementara kita berada ditengah-tengah ledakan tawa yang bagi kita sih enggak lucu-lucu amat (hahahaha). Terus ngapain? Ambil kaca mata.. Cusss.. Baca buku..

Jika pada moment kalangan abegeh. Biasanya cewek cantik lagi baca buku sendirian terlihat lebih berkelas. Nah, kira-kira apa yang terjadi kalau yang membaca buku emak-emak yang sebenarnya enggak cantik-cantik amat plus dasteran plus IRT tulen ini? Image apakah gerangan yang terpancar.. 😅

Ah, apapun image yang terpancar dimata emak-emak ekstrovert biasanya sih emak introvert cuek ajah. Bahkan, aku pernah beberapa kali bertemu dengan emak introvert parah yang dengan juteknya berkata, “Berisik..” 😅

2. Sok Pencet-pencet HP

Siapa begini?

Ngakunya introvert tapi alergi obrolan dunia nyata, lebih suka hidup di dunia maya khususnya sosmed. Di dunia nyata jutek minta ampun tapi di dunia maya kerjaannya ‘haha’ ‘hihi’ dan tidak lupa selalu menampilkan icon tanda ekspresi.. 😀😁😄😆😂

Padahal di dunia nyata mukanya (begini 😑) sambil main hp. Hahahaha

Tapi, solusi ini menjadi musibah mati gaya kalau kuota atau pulsa habis. Ada sih memang emak introvert yang bisa bertahan dengan pura-pura pencet hp, tapi aku tidak bisa begitu. Pokoknya kalau pulsa habis harus beli disini supaya tidak mati gaya.

3. Sok Foto-foto

Siapa yang pernah travelling bareng emak-emak ekstrovert yang satu pun tak ada yang cocok dengan kita?

source:lingvistov.com

Pernah ya, suatu hari aku mati gaya saat travelling bersama dengan emak-emak ekstrovert dalam rangka wisata alam membawa anak di TK. Solusinya? Ambil HP dan mari bernarsis ria foto-foto dan bikin video di alam terbuka. Maksimalkan ekspresi dan gaya untuk di-upload di dunia maya agar emak tetap eksis walaupun aslinya kurang eksis. 😅

Tapi, hiburan dokumentasi foto dan video ala emak introvert ini jadi kendala kalau baterai habis. Ya, traveling memang memakan waktu yang lama bahkan mungkin seharian kita berada diluar. Aku pernah mengalami baterai habis begini dan itu bikin aku super mati gaya dan rencana dokumentasi travellingku hancur berantakan.

Alhamdulillah, akhirnya suami mengerti. Setelah cek harga power bank yang ternyata lumayan bersahabat, akhirnya tercapai juga keinginan punya power bank sendiri. Baterai habis saat travelling bareng emak ekstrovert yang ga asik banget? Tetep menyenangkan.. 😂

4. Sok Nyuekin Anak-Anak padahaaal…

Aku pernah loh denger emak ekstrovert bilang begini, “Ah, Mama Farisha itu kerjaannya kalau di sini pencet HP mulu. Mana pernah merhatikan anaknya.”

Padahal…

Ngapain juga kita memperhatikan anak secara berlebihan? Dia temenan diikutin, dia makan serba disuapin, dia begini-begitu ditegur. Halo? Kapan anak jadi mandiri bu?

Aku tipikal yang suka membiarkan anak memang. Apalagi kalau dia asik berteman, malu dong dia kalau diperhatikan terus. Tapi, bukan berarti cuek bebek banget. Siapa sih yang tau kalau dari kejauhan aku juga sering memperhatikannya? Sesekali memoto momentnya bermain bersama dan menulisnya di sosial media maupun blog. Dan mulai tegas mengajarinya di dalam rumah. Gitu gaya emak introvert didik anak di luar wilayahnya.

Baca juga: Gini gaya emak introvert ngasuh anak, Masalah?

5. Kadang Suka (nguping) Gosip yang Menarik Perhatian

Ssst… Ini cuma aku atau ada yang sama? 😂

Emak Ekstrovert kadang kalau ngerumpi suka menarik perhatian. Bukan hanya karena gelak tawa yang memecahkan gendang telinga tapi bahan bercandanya kadang memang lucu sih. Hmm.. Bukan cuma topik bercanda, topik yang sering menarik perhatian bagiku adalah saat sudah memasuki topik rumah tangga, keuangan, cara mendidik anak di rumah.

Dalam dunia nyata, aku terkesan tidak peduli dengan hal itu. Padahal diam-diam topik perbincangan hangat ibu-ibu itu bisa menjadi bahan inspirasi dalam beberapa tulisan blogku. Ya, cukup banyak sebenarnya segi positif dari mendengarkan rumpi emak-emak.

Contoh tulisan itu antara lain:

Tips Membuat Anak Merasa Senang di sekolah

Anak Jajan itu Boleh Ga Sih?

Ajari Anak 5 Hal yang Tidak Menyenangkan

Bahkan, aku pernah ternganga diam saat menyaksikan beberapa emak sempat perang dingin karena topik-topik tertentu. Yah, karena aku sudah cukup berpengalaman merasakan hal yang sama di dunia maya maka aku juga menuliskan tentang ‘9 Topik Obrolan Sensitif yang Dapat Menyebabkan Mommy War

Jadi, tidak selamanya mendengarkan ngerumpi itu buruk kok. Asalkan kita tidak menyebarkan aib orang lain dan dapat mengambil sari kebaikan. Hehe.

Nah, emak introvert juga? Apa saja yang dilakukan saat berada dikomunitas ekstrovert? Sharing Yuk!

IBX598B146B8E64A