Browsed by
Category: Psikologi

Dari Insecure Hingga Congkak, Begini Caraku Menemukan Arti Dari Self Love

Dari Insecure Hingga Congkak, Begini Caraku Menemukan Arti Dari Self Love

“Kamu tuh kalo bikin status musti deh terkesan meninggikan diri sendiri.. Kita yang baca jadi terkesan rendah dimata kamu..”

Masih ingat aku salah satu japri dari teman satu komunitasku. Sejak itu, aku mulai banyak mengoreksi diri. Dimulai dari memfilter ulang orang-orang pilihan yang bisa membaca status privasiku. Hingga, memfilter perasaan diri sendiri. 

Kenapa sekarang aku terkesan tinggi? Kenapa aku jadi congkak? Bukannya dulu aku pernah merasa insecure parah

Niatku hanya ingin mencari selflove. 

Selflove karena aku merasa direndahkan oleh lingkunganku. 

Aku hanya ingin menghargai diriku. Tapi, kenapa jatuhnya jadi congkak? 

Congkak, Sebuah Rasa yang Timbul karena Insecure yang Diobati Secara Berlebihan

Dalam episode kehidupanku, jujur saja bisa dibilang 60% kiranya dipenuhi oleh rasa insecure. 

Kenapa?

Apakah aku insecure dari lahir? 

Tentu tydack

Perasaan insecure pertama yang muncul dalam hidupku adalah ketika aku menyadari bahwa tubuhku berbeda dari perempuan kebanyakan. 

Ya, aku sudah pernah bercerita disini bukan? Bahwa tubuhku berbulu. Bukan bulu halus lazim seperti perempuan kebanyakan. Bulu tangan dan kakiku terbilang tumbuh melebihi kelebatan dan kepanjangan pada umumnya. Rasa insecure pertama aku peroleh dari TK. Teman-temanku bilang bahwa aku mirip laki-laki. Wajahku pun terbilang dominan mirip ayahku. 

Ketika adik kembar laki-lakiku lahir lengkaplah sudah 4 anak mama. Aku adalah anak perempuan satu-satunya dalam keluarga. Namun, karena keterbatasan ekonomi.. Mamaku sangat jarang membelikanku baju perempuan. Kebanyakan baju yang kupakai adalah baju laki-laki warisan kakakku. Rambutku pun pendek layaknya laki-laki. Aku sendiri tidak tau sebab kenapa mama jarang sekali mendandaniku layaknya anak perempuan sewaktu kecil. Dan itu mempengaruhi fase kecil hingga menjelang dewasa. Aku tumbuh tanpa mengerti arti perawatan dan fashion perempuan. Dan lingkunganku membullyku karena aku memang mirip dengan laki-laki. Padahal, aku sangat ingin dianggap anak perempuan yang cantik. 

Apakah aku pernah bercerita tentang cinta pertamaku? Hmm, aku lupa. Haha

Dulu, sewaktu SD aku suka sekali melihat salah satu guru laki-lakiku. Bagiku, beliau keren. Aku rasa sih perasaan itu lebih ke arah kagum dan simpatik. Tapi, rasa itu terhempas ketika beliau iseng bercanda padaku. 

“Wah, winda ini salah pake sabun kayaknya. Shampoo dipakai buat sabun ya? Jadi bulunya buanyak banget gini..”

Mungkin kalimatnya bercanda. But its really trully hurt me. 😭

Bayangkan, saat itu umurku masih 10 tahun. Dan aku nekat mengambil lakban di kantor ayahku lalu merekatkan lakban itu pada tangan dan kakiku. Melepasnya bersamaan dengan terangkatnya bulu-bulu kaki dan tanganku. Beberapa bagian berdarah. Tapi, bagiku itu kepuasan. Kepuasan untuk mengemis sebuah penerimaan esok harinya. 

Berharap ada yang memuji kulitku putih dan mulus. 

***

Kisah diatas hanyalah potongan kecil rasa insecure yang pernah aku dapatkan. Perasaan tidak cantik bagi seorang perempuan itu membekas. Membuat dirinya tidak berdaya hingga SMP dan SMA. Seberapapun banyak yang bilang kepadanya bahwa itu tidak apa-apa. Tapi, bagaimana ya? Kenapa aku selalu fokus pada orang yang mengejekku dibanding orang yang memujiku? 

Sebagai contoh saja, ketika SMP dan SMA ada saja kok laki-laki yang terkesan mengejarku. Memujiku cantik, ingin jadi pacar dll dsb. Tapi, kenapa ya rasanya hambar sekali. Tidak puas rasanya kalau belum dapat penerimaan dari orang yang mengejekku. Padahal, sewaktu SMA aku pernah memiliki sedikit rasa dengan orang yang naksir denganku. Tapi kenapa ya kok ada saja perasaan tidak pantas di dalam hati? Seperti takut kalau-kalau dia bisa menyakiti? Kenapa ya? 

Mama dan Ayahku sudah sering kali meninggikan hatiku. Bahwa aku tinggi dan cantik. Bahwa punya bulu itu adalah hal yang biasa. Mereka bahkan beberapa kali menyuruhku ikut kompetisi Nanang Galuh sewaktu SMA. Tapi aku tidak percaya diri. 

Sampai kemudian, kakakku masuk kuliah kedokteran. Dan aku? Huh, lulus PMDK dan SPMB saja tidak. Aku terdampar di Poliban, sebuah universitas negeri di banjarmasin namun tidak populer. Dengan jurusan yang tidak populer pula. Pernah mendengar D4 Akuntansi Lembaga Keuangan Syariah? Oh belum pernah. Ya, disanalah aku kuliah. 

Kedua adik kembarku yang manis memiliki pencapaian tak kalah dari kakakku. Keduanya sering mendapatkan piala dari berbagai lomba. Dan lulus di kedokteran pula. Keduanya. 

Disitulah perasaan insecure mulai bersemi menjadi-jadi. Perasaan yang membuatku terasa kalah dan tak memiliki kelebihan untuk dibanggakan. 

Aku mencoba move on dengan Insecure yang belum terobati. 

***

Time flies.. 

Aku menikah karena telah bertemu dengan seseorang yang mengobati insecure yang kumiliki dari luar. Bersamanya, aku merasa cantik. Merasa bisa melakukan sesuatu. Dan ingin berkembang. 

Ya, kalau kebanyakan orang memiliki tujuan punya anak saat sudah menikah.. Kalau aku? Tujuanku menikah hanya ingin membuat diriku yang kuncup menjadi berbunga. Aku hanya ingin mengembangkan diri. Tapi.. 

Tapi anak itu lahir. Farisha, anak ajaib yang lahir meski kami mencoba mencegahnya. Dan, sejak Farisha lahir.. Rasa insecure yang kumiliki dari awal hingga akhir.. Kembali tumbuh dengan rasa yang tak pernah kusangka sebelumnya.. 

Aku menjadi Ibu. Dan Aku Insecure. Insecure tersakit yang pernah aku alami. 

“Kok gak kerja? Kan sudah capek-capek kuliah?”

“Kakaknya dokter, adeknya kuliah dokter. Dia cuma IRT..”

“Jaga anak sendirian aja di rumah stress.. Aku dong sambil kerja di luar jauh lebih capek”

“Anaknya kok gak mirip Ibu sama Bapaknya.”

“Kok anaknya sudah 2 tahun tapi Ibunya gak mau kerja?”

“Kok anaknya kurus?”

“Suaminya lucu sekali potongan rambutnya.. Apa istrinya gak perhatiin..”

“Baju istrinya bagus-bagus ya. Coba liat suaminya”

“Padahal mamanya kerja dan aktif organisasi. Kok anaknya (aku) begitu saja?”

Dst.. Dst.. 

Ketika aku menjadi Ibu. Aku bertemu pada perasaan insecure yang maha dahsyat. Sungguh lebih dahsyat dibanding insecure yang aku alami saat remaja. 

Kenapa sih orang suka sekali berpendapat pada kehidupan orang lain? 

Dan kenapa pula aku harus peduli? Kenapa ada perasaan ingin melawan dalam diriku. Perasaan ingin membuktikan diri. 

Aku lawan segala rasa insecure tersebut dengan rasa-rasa congkak dan sombong

Bagaimana? Bukannya aku hanya di rumah saja? 

Aku punya sosial media. Status di BBM adalah media congkak pertama yang aku miliki. 

Aku selalu memposting masakanku setiap hari. Segala-gala yang aku buat serba homemade. Juga selalu memposting kegiatan anakku. Jujur saja, tidak ada rasa sharing is caring saat itu. Yang aku inginkan hanyalah haus akan rasa pengakuan. Karena dalam kehidupan nyata.. Pencapaianku tidak diakui. 

Tidak ada yang bilang aku ibu hebat. Tidak ada yang bilang aku bekerja. Sekelilingku hanya tau aku ibu yang tak berdaya karena tak bekerja. Kerjaannya hanya tidur siang mungkin.. Yah, begitulah. 

Rasa insecure itu kadang sembuh dan kadang kumat lagi. Insecure yang parah pada kehadiran anak pertama pernah membuatku depresi dan perlahan berhasil diobati. Namun, pada kehamilan anak kedua. Perasaan insecure parah itu kembali lagi. 

“Perutnya kok kecil sekali”

“Kalau hamil tuh jangan begini, nanti begitu”

“Sudah USG? Apa? Perempuan lagi? Ya, kamu sih gak banyak makan daging..”

“Nanti makan daging banyak-banyak. Siapa tau lahirnya laki-laki..”

“Apa? Operasi lagi? Kamu sih gak mau melahirkan di bidan sini aja..”

“Padahal di rumah aja. Tapi mau nyari pembantu.”

Dst dst.. 

Dan perasaan congkak hingga ingin diakui pun kembali bersemi lagi. 

Aku selalu membuat pelampiasan melalui status-status WA yang aku atur secara privasi. Jika ada yang menyakitiku, aku akan menyakitinya kembali dengan menyumpahinya di status WA (yang tentunya tak terlihat olehnya, hanya aku dan tak sampai 10 orang yang tau). Lega rasanya. Disertai dengan sindiran-sindiran keras. Terutama sekali kalau ada yang menyakitiku dengan berkata aku tidak bisa mengatur uang. Aduh, 2,4 juta sebulan dalam keadaan hamil dan anak 1 dibilang boros. Ada saja yang bilang begitu. Saat itu, status-statusku dipenuhi oleh keinginan adanya pengakuan bahwa aku hemat. Diakui oleh siapa? Bukannya yang melihat privasi. 

Diakui oleh diriku yang sedang jatuh. Aku ingin melawan diriku yang sakit. Tapi lupa bahwa kalimat toxic tidak mengobati. Tidak menyembuhkan. Justru membuat hatiku menghitam. 

Aku suka posting foto masakan, nyinyir dengan para influencer yang suka belanja barang branded (ya kali, padahal mereka diendorse juga kan.. 🤣). Ya begitulah, namanya juga hatiku sedang tidak baik-baik saja. Sampai suatu ketika aku mencari gendongan untuk anakku kalau lahir. Lalu surprise dengan harganya yang mahal-mahal. Dan iya, dibikin status juga.. Benar-benar keadaan labil dan kurang iman.. 😂

Aku masih ingat menit-menit terakhir aku memutuskan hubungan dengan temanku tersebut. Yaitu, saat aku memutuskan bergabung dalam grup babywearing. Dan ingin kepo dengan harga gendongan yang reachable. Lucunya, menurutku yang saat itu masih newbie. Grup tersebut seperti bukan grup edukasi dan bagus untuk golongan ekonomi ke bawah. Karena isinya mostly dipenuhi oleh mamak-mamak pengoleksi gendongan mahal-mahal dan suka ganti-ganti motif. Hal yang tidak dipahami fungsinya oleh makhluk hemat sepertiku. 

Dan, diupdate status lagi pula.. Tanpa sadar bahwa salah seorang temanku penggila gendongan.. 🤣

Yah begitulah, keadaan sedang down. Insecure, tidak berdaya.. Mungkin juga kurang iman karena sholat tidak benar-benar khusyuk saat itu. Hati galau, merasa tidak ada yang membelai. *halahh..

Jari-jari setan membisikkan macam-macam dengan dalih ingin menyembuhkan diri. 

Dari winda yang insecure.. Menjadi winda yang congkak dan sombong. Pernah difase itu. Tak hanya sekali. Tapi berkali-kali. 

Mengobati Insecure dengan Menemukan Arti Selflove dan Menghapus Racun Congkak

Selalu ada hikmah dalam setiap kejadian. Seperti kasus temanku diatas dan diriku. Dari kritik tersebut aku langsung meminta maaf dan sungguh.. aku sih ingin menjelaskan panjang kali lebar kenapa aku sampai begitu. Tapi entah kenapa jariku enggan mengutarakan. Kalian liat sendiri kan? Begitu panjang diriku kalau sudah bercerita. Dan iya kalau dibaca pakai hati dan dihayati. Kalau cuma fokus di kalimat jelek aja gimana? Wkwk.. Suuzhon emang anaknya.. 

Jujurly, aku tak pernah sih merasa sebersalah itu dalam hidup. Ya karena emang salah makanya bersalah banget. Sakitnya, ketika minta maaf teman tersebut malah mengorek-ngorek curhatanku. Membawa nama Tuhan untuk menyakiti. Membawa nama suami untuk menghakimi bahwa aku maha salah atas segalanya. Aku tak ambil langkah panjang saat itu. Aku kembali menuliskan kata maaf dan memblokir. Cukup untuk mengobati hati. Berdoa semoga dia tidak merasakan apa yang aku rasakan saat itu. 

Aku pernah berada dititik curhat karena tak punya pendukung di dunia nyata. Dan jika dunia maya juga menghakimi.. Apalagi status itu privasi, ya bagaimana ya.. Mungkin kiranya aku sudah salah menganggapnya sebagai salah seorang closed friends. Aku saja yang kegeeran merasa dia baik. Karena sungguh, jika teman benar-benar baik. Ia tak akan membalas dengan senjata yang jauh lebih tajam. Ia sekedar menyadarkan. Jujur, tak juga aku minta dimaafkan. Setidaknya, jangan membalas dan menghakimi. Karena ketika orang balik menghakimi, aku kembali bertanya.. Lantas apa bedanya dia denganku yang sedang dalam kondisi down? ((Curhat kok segini lebar win)) 😂

Well, kejadian itu sih sudah 2 tahun berlalu. Dan sekian lama loh aku sering merenung dibuatnya. Tergoda ingin unblokir dan meminta maaf ulang. Tapi kok takut kalau saja dibalas dengan kata yang menyakitkan lagi. Ya, setidak enak itu rasanya dibenci orang.

Perlahan, aku mengumpulkan serpihan diriku yang masih putih. Merenung, melihat sebagian diriku yang menghitam karena rasa congkak. Lalu, aku memeluk rasa insecure itu. Aku akhirnya menemukan arti selflove yang pantas untukku.

https://www.instagram.com/p/CQFPk3JMl0H/?utm_source=ig_web_copy_link

Aku berbulu. Benar

Aku tidak terlalu pintar layaknya saudara-saudara kandungku. Benar

Aku tidak mandiri finansial. Benar

Punya anak perempuan melulu. Benar

Aku bukan ibu sempurna, makanya banyak yang bilang begini begitu.. Ya benar. 

Alunan lagu colbie caillat mengiringi tulisanku.. 

So they like you, do you like you?

You don’t have to try so hard

You don’t have to give it all away

You just have to get up, get up, get up, get up

You don’t have to change a single thing

Ya aku memang penuh kekurangan. Tapi segala kekuranganku tidak merugikan orang lain bukan? 

Apakah fisikku harus sempurna untuk menyenangkan semua orang? Kan tidak. Yang penting.. Ayah, Ibu dan Suamiku bilang aku punya tubuh tinggi dan cantik. Aku berbulu juga punya tahi lalat besar di wajah, tapi aku selalu punya alasan untuk mencintai fisikku yang beratnya tetap stabil hingga sekarang contohnya. Itu berharga. . 

Apakah aku harus pintar dan menjadi dokter? Kan tidak. Yang penting, setidaknya aku punya ruang untuk mengoptimalkan diriku sendiri. Status sosial hanyalah sebuah topeng. Semua manusia bisa berkembang jika ia memiliki value. 

Apakah aku harus mandiri finansial? Berusaha iya. Tapi.. Kan tidak harus. Setiap manusia punya jalannya sendiri. Apalagi jalan perempuan yang sungguh kompleks. Ingat perdebatan Imam Maliki vs Imam Syafii soal rejeki? Tidak ada yang paling benar dalam pendapat mereka. Kebenaran sesungguhnya adalah dunia perlu keseimbangan dan usaha menurut value yang diyakini. 

Apakah salah jika aku punya anak perempuan melulu? Kan tidak. Masa sih mau menyalahkan Tuhan. “Hai Tuhan, kenapa Kau kasih Winda anak perempuan melulu.. Padahal dia sudah makan daging.” Kan lucu. 

Apakah salah ketika sesekali rumah berantakan, sesekali rasa masakan aneh tak karuan, sesekali meringkuk dipojokan. Lelah dengan keadaan. Apa salah jadi Ibu yang tidak sempurna? Memangnya bagaimana definisi sempurna itu? 

Tidak ada yang salah dari unperfect. Selama kita masih memiliki impian n value. Dan yang terpenting, tidak merugikan orang lain. 

((Lagu itu kembali mendayu-dayu dengan liriknya)) 

You don’t have to try, try, try, try

You don’t have to try, try, try, try

You don’t have to try, try, try, try

You don’t have to try

Yooou don’t have to try.. 

Akhirnya, aku menemukan arti selflove dengan memeluk kekuranganku sendiri. Dan mensyukuri kelebihan yang ada. 

Aku akhirnya mengerti, bahwa jenis kekurangan yang harus diperbaiki adalah sifat menyakiti dan rasa congkak. Karena sungguh, itulah awal mula dari segalanya. 

Congkak adalah awal dari racun ingin menyakiti. Karena merasa bahwa diri sendiri lebih wah dibanding yang lain adalah sumber dari pembenaran tindakan menyakiti. Congkak adalah sifat yang ingin mencari pengakuan lalu menyingkirkan impian dan value. Aku pernah menulis disini bukan? Tentang pesan dari mertua? Bahwa ketika hidup kita dipenuhi dengan rasa ingin diakui dan ambisi tanpa rasa legowo. Maka, hilangkah sudah anak baik-baik yang pernah tumbuh dalam diri kita itu. 

Ya disadari atau tidak, awal dari bencana selalu diawali dengan rasa congkak. Cerita sederhana saja misal. Masih ingat kan bahwa Iblis begitu congkak saat Tuhan menciptakan manusia? Merasa bahwa dirinya yang paling pantas. Dari merasa pantas, lalu menyakiti. Begitulah rumusnya. 

Kita tidak perlu congkak demi pembuktian bahwa kita makhluk sempurna. Karena sebenarnya, bukankah tidak ada manusia yang sempurna? 

Manusia, memang diciptakan penuh dengan kekurangan. 

Kenapa? Karena manusia membutuhkan manusia yang lain. Manusia diciptakan sebagai makhluk sosial. Makanya, manusia itu memang tidak ada yang memiliki kemampuan sempurna. 

Jika ada Ibu pekerja yang seharian diluar rumah. Ia pulang dengan membawa rasa lelah. Dan sekotak makanan hangat yang dibelinya diluar rumah. Tidak 24 jam bersama anak? Tidak memasak? Ya tidak apa-apa. Kan banyak rumah makan yang harus dibantu untuk dikembangkan. Ada rasa rindu yang membuat quality time lebih bermakna. 

Jika ada Ibu Rumah Tangga yang seharian di rumah. Lalu ia keluar rumah dan dengan noraknya berfoto narsis kesana kemari. Mengabaikan anaknya bersama Ayahnya saja. Terkesan egois dan suami takut istri. Ya kenapa sih? Kan tidak apa-apa. Ada keseimbangan psikologis yang menuntut tangki waras dan bahagia. 

Jika ada Ibu yang punya anak perempuan melulu. Ya apa sih masalahnya? Toh juga banyak yang punya anak laki-laki melulu bukan? Kan juga kalian tau sama poligami? Tau sama childfree? Pernah jenguk panti asuhan yang anaknya makin hari makin banyak. Salahnya dimana dengan dominansi jenis kelamin di dunia? Kiamat sudah dekat ketika perempuan yang banyak ini mulutnya sudah tidak beres lagi. Hatinya sudah kotor. Maka, aduh.. Jadilah anak baik-baik dari sekarang. 

Temukanlah self love dalam diri. 

Menerima kekurangan. Tidak mengubah kekurangan dengan berusaha mendapatkan pengakuan orang lain. Serta tak congkak dengan kelebihan. Karena kelebihan tercipta bukan untuk menyakiti yang lain. 

Tapi untuk membantu yang lain. Bukankah begitu? 

Wait a second,

Why should you care, what they think of you

When you’re all alone, by yourself

Do you like you? Do you like you?

You don’t have to try so hard

You don’t have to give it all away

You just have to get up, get up, get up, get up

You don’t have to change a single thing

Waw, lirik-lirik lagu Colbie benar-benar mewakili tulisanku kali ini. Kalian perlu mendengarnya. Judulnya.. “Try” 

**untukmu yang pernah menegurku. Sungguh aku berterima kasih
*untukmu yang tak pernah memaafkan. Tidak apa. Kau tau? Kadang Tuhan membolak balik posisi ketika hati kita tak paham. Tapi, kuharap hal itu tak terjadi. Kuharap kamu paham dengan membaca tulisan receh ini. 
Sebuah Pembelajaran dari Ramainya Isu Childfree

Sebuah Pembelajaran dari Ramainya Isu Childfree

Pagi itu, aku membuka instagramku. Sekedar kepo ada kabar baru apa yang mungkin terjadi. Dan aku memutuskan untuk membuka DM yang masuk. 

Betapa terkejutnya aku. Aku mendapat sebuah kritik tentang konten yang aku publish di instagram. 

“Jangan ikut-ikutan mendukung childfree dong mba. Mba winda tuh brandingnya Ibu dengan 2 anak.”

Aku termangu sebentar. Kubuka ulang cuitan twitter yang aku publish di instagram tersebut. Kemudian, aku bertanya-tanya pada diri sendiri. 

https://www.instagram.com/p/CS0h51RprRk/?utm_source=ig_web_copy_link

“Memangnya, di cuitan aku ini terasa seperti mendukung childfree?”

Lalu, aku bertanya lagi di dalam hati..

“Adakah batasan nyata antara rasa toleransi, menghargai hingga mendukung?”

Kenapa kita tidak boleh terkesan menghargai? Kenapa menghargai kental dengan rasa mendukung? Bukankah keduanya hal yang berbeda? 

Padahal, di cuitan tersebut jelas-jelas aku mengarahkan ending soal pilihan dan takdir. 

Ah netizen, ada aja kelakuannya.. 😅

Childfree memang sebuah pilihan tapi tetap memiliki batasan

Ramai isue childfree karena statement Gitasav akhir-akhir ini. Jujur, aku bukanlah follower gitasav. Bisa dibilang tidak tau apa-apa tentang hidupnya. Aku hanya mengenalnya baru-baru saja dalam kontennya di youtube. So far, aku berkesimpulan bahwa Gitasav adalah sosok perempuan yang open minded, pintar dan berbeda dengan kebanyakan. Apalagi jika dibandingkan denganku saat seumur dengannya. Ah, benar-benar tidak ada apa-apanya. 

Oke itu tentang Gitasav dimataku. 

Sekarang, kenapa aku ikut-ikutan terbawa dengan keramaian opini tentang childfree? 

FYI, aku bukan jenis makhluk yang suka berkicau dengan hal yang sedang trending. Hanya saja, hatiku tergerak untuk ikut ‘join curcol’ ketika sosmedku mulai dipenuhi dengan ‘war’. Ada yang pro childfree, ada yang kontra. Lalu saling sindir. Hatiku seperti mengganjal. Kok orang sebegininya? 

Iya, kok sebegitunya. Dan aku menonton ulang statement Gitasav. Entah kenapa, di mataku.. Dia biasa aja tuh. Gak ada mengajak begini begitu. Gak juga menjelek-jelekkan yang lain. Kenapa di sosmed begitu ramai berkelahi? 

Aku jadi merasa ‘gimana’. Karena aku pun pernah share di sosmed aku konten dear aline yang berjudul ‘I don’t want kids’. Aku share konten tersebut hanya sebagai pengingatku bahwa setiap wanita punya pilihan. Dan video Aline tersebut bagus menurutku. Bukan tentang childfree yang digemborkan. Takut juga sih gegara share video begitu dikira penganut childfree. Atau yang buruk lagi, dikira termasuk kaum yang menyesal karena punya anak. 😅

Lalu, aku membaca tulisan AFI. Tau kan ya? Gak perlu aku share sepertinya. 

Wah, semakin ramailah sosmed penuh dengan kemarahan demi kemarahan. Padahal, menurutku sendiri pernyataan Afi ada sisi benarnya. Walau iya, memang ada sisi nganu. Tapi ya.. Aduh, dia kan umurnya masih segitu. Wajar sangat lah menurutku dia mengemukakan pendapat dengan bahasa sedemikian. 

Kenapa sih, pernyataan Afi perlu dibela? 

Gak, aku gak ngebela. Cuma aku bilang sedikit banyak memang benar. 

Kenapa? 

Kalian pernah nonton film Mind Hunter? Film yang diangkat dari kisah ini punya banyak pembelajaran loh. Bahwa para psikopat-psikopat yang lahir di dunia ini.. Muncul dari keluarga yang tidak beres. Dari seorang Ibu yang depresi, Ayah yang punya kelainan. Lingkungan yang toxic dll dsb. Film berbau hal yang sama pun banyak yang terinspirasi dari kisah nyata demikian. Sebutlah mungkin Joker, walau fiksi.

Dunia itu, gak sebulat yang kalian kira. Gak selurus dan senyaman yang dipahami. Dunia itu, ruwet. Kayak benang kusut. 

Sepemahamanku, sebagian dunia ini dihuni oleh orang-orang yang mentalnya bermasalah. Dari masalah kecil, hingga besar atau besar banget. 

Orang-orang yang sadar akan ‘ketidakberesan’ ini. Memutuskan untuk memutus rantai masalah dari hal yang menurut mereka basic. Yaitu childfree. Nah, dalam perkembangannya childfree ini sendiri menjadi sebuah lifestyle. Gak hanya orang-orang yang memiliki masalah mental yang menganutnya. Banyak yang ikut-ikutan childfree karena merasa tak mapan secara ekonomi. Banyak pula yang menjadikannya sebagai upaya untuk mengenal diri sendiri hingga mewujudkan kebahagiaan pasangan yang ideal. 

Bagiku, memilih childfree itu boleh. Tapi, tetap HARUS memiliki batasan. 

Karena childfree itu pilihan manusia. Bukanlah takdir mutlak. 

Aku dulu adalah orang yang sepemahaman dengan Gitasav. Bahwa, memiliki anak harus didahului oleh kesiapan mental dan fisik. Anak bukan investasi. Anak adalah buah cinta. Tempat kita mewariskan hal-hal baik. Bukan tong sampah emosi. Bukan pula aksesoris hidup. Memiliki anak harus didahului oleh hati yang bahagia, didahului oleh ekonomi yang menunjang. Anak.. Bukanlah barang undian yang bisa membawa rejeki ketika kita dalam kesusahan. 

Aku menikah. Bertemu dengan cinta hidupku. Sekaligus menemui titik balik hidupku. Tinggal di tempat mertua, sumber ekonomi terbatas. Mental sedang diuji. Lantas langsung hamil. 

Shock. 

Akupun berpikir. Jika aku bersikeras dengan pilihan childfree, maka sungguh berdosalah aku. 

Oke, katakanlah aku anak liberal karena memang memiliki pemikiran menunda anak adalah yang terbaik. Memahami penganut childfree dll. Tapi, aku tetaplah orang yang memiliki setitik Iman di hati. 

Jika Allah berkata ‘Jadilah’.. Maka Jadilah.. 

Itulah yang kami pahami sebagai pasangan muda yang tak siap dengan status Ibu atau Ayah. Kami boleh jadi berencana untuk menunda anak hingga tak punya anak. Tapi, Allah berkata hal yang berbeda. 

9 bulan kemudian anak itu lahir.

Seperti para penganut childfree yakini, bahwa ibu yang belum selesai dengan dirinya sendiri akan mengidap depresi saat memiliki anak. Ya, aku mengalaminya. Aku terkena babyblues. Lantas tak ditanggulangi dengan baik. Lalu berlanjut hingga PPD. 

Tapi mau bagaimana? Allah berkata itulah misi hidup yang harus dijalani pertama kali. Bukan mimpiku, bukan pula membangun citraku. 

Setahun dilalui dengan susah payah. Tumbuh bersama anak dalam mental yang tidak baik. Tapi anak itu sungguh ajaib. Ia benar-benar membuka pintu rejeki. Ia juga menyembuhkanku. Membersamai proses hidupku untuk bertumbuh. 

Aku tak mau menganggapnya tong sampah emosi, ataupun undian hidup pembawa rejeki. Tapi ia menyembuhkanku dan membawa rejeki. Mungkin, karena kami memutuskan hal yang benar. Percaya pada takdir. 

Tanpa Anak, mungkin aku tak bisa menjadi Winda yang sekarang. 

Ya, childfree itu pilihan yang harus dihargai. Karena hidup kita tak sama. Tapi, manusia hanya bisa memilih. Takdirlah yang membawa hidupnya. Pemahamanku tentang pandangan ‘kebolehan’ childfree hanya sampai disitu. Berbatas pada takdir dan menjauhi hal-hal yang tidak diperbolehkan oleh agama. 

Antara Feminisme dan Kodrat Perempuan

Isu childfree berbuntut panjang. Dari women war lantas berujung pada kentalnya bau paham feminis. Lalu, apakah childfree telah melakukan penolakan terhadap kodrat perempuan? 

Ya, menurutku sendiri.. jika sudah mencapai ranah ideologi hingga kodrat. Sungguh pembahasannya mulai berat dan sensitif. 

Aku sendiri, mengaku bukanlah wanita yang menjunjung paham feminisme. Hanya saja, aku memiliki batasan antara hal yang bisa diterima dan hal yang ditolak. Jika, pada headline awal aku bercerita bahwa wanita memiliki pilihan tapi tak bisa denial dengan takdir. Maka, mungkin kali ini aku akan bercerita tentang pandanganku tentang feminisme. 

Jadi, apa itu feminisme

Feminisme adalah serangkaian gerakan sosial, gerakan politik, dan ideologi yang memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendefinisikan, membangun, dan mencapai kesetaraan gender di lingkup politik, ekonomi, pribadi, dan sosial. Feminisme menggabungkan posisi bahwa masyarakat memprioritaskan sudut pandang laki-laki, dan bahwa perempuan diperlakukan secara tidak adil di dalam masyarakat tersebut. Upaya untuk mengubahnya termasuk dalam memerangi stereotip gender serta berusaha membangun peluang pendidikan dan profesional yang setara dengan laki-laki.

-Wikipedia

Well, secara sadar aku membenarkan bahwa derajat laki-laki memang lebih tinggi dibanding wanita. Aku lahir pada lingkungan yang ‘menghormati’ laki-laki. Sadar bahwa dalam keluarga, sosial hingga organisasi.. Laki-laki selalu memimpin. Dan aku menghormati hal demikian. Karena memang secara genetik hingga psikis, laki-laki lebih pantas untuk itu. 

Kebetulan, lingkunganku dipenuhi oleh laki-laki yang berkomitmen dan memiliki tanggung jawab. Sehingga, secara sadar aku membenarkan paham patriarki menjalar dalam pola pikirku. Dan aku tidak apa-apa oleh hal itu. Karena aku dikelilingi oleh laki-laki yang hebat. Laki-laki yang bisa memberikan kasih sayang hingga apresiasi pada wanita yang melayaninya. Demikianlah. 

Time flies.. Aku mulai berkenalan dengan berbagai sudut pandang kehidupan yang berbeda. Aku berteman dengan berbagai perempuan dengan latar belakang berbeda. 

Perempuan yang keluarganya broken home. Perempuan yang tak bisa melanjutkan cita-citanya. Hingga perempuan-perempuan yang depresi karena kehidupannya yang carut marut. 

Perempuan-perempuan diatas. Tak bisa berkembang dengan baik. Ada yang stuck di tempat. Ada pula yang berkembang namun memiliki ego yang tinggi dan labil. Dan ada pula yang bolak balik ke psikolog karena masalah dengan masa lalunya. Juga ada pula yang dijajah ekonominya, dituntut serba bisa. Tak pernah menjadi perempuan utuh. Yang bisa berjalan dengan bahagia. Bahagia dengan pilihan yang ia pilih sendiri. 

Banyaknya problematika demikian. Menyebabkan gerakan feminisme bangkit. Perempuan harus berdaya. Begitulah semboyan mereka. Cobalah pikirkan, kenapa perempuan-perempuan begini bisa muncul ‘taring’nya? 

Ya, karena dalam circle hidupnya.. Mereka dikelilingi oleh orang-orang toxic. Tidak dilengkapi dengan restocknya tangki cinta. Karena laki-laki dalam hidupnya sama-sama toxic. 

Sesungguhnya, aku sangat yakin bahwa perempuan ‘mungkin’ kebanyakan terlahir dengan hati yang lembut dan penurut. Ia memang makhluk yang diciptakan untuk mendampingi laki-laki. Tapi, jika laki-lakinya tidak baik. Maka, perempuan akan mulai kehilangan daya yang benar. Aku sangat yakin, awal gerakan feminis dipicu oleh hal demikian. 

So, kembali ke persoalan mengenai childfree.. 

Bisakah kita ‘menyalahkan’ perempuan yang memilih tidak punya anak. Ketika mentalnya tidak baik-baik saja. Ketika laki-laki dalam hidupnya tak bisa diandalkan untuk support. Hingga adanya trauma masa lalu yang merupakan buah dari nenek moyangnya. Trauma ketika anak dijadikan beban untuk masa tua. Sumpah serapah anak durhaka yang tak pada tempatnya. 

Child free adalah buah pemikiran solusi instan atas kesalahan yang telah dilakukan oleh generasi sebelumnya. 

Pemikiran instan seperti, “Aku gak mau hal demikian terulang. Stop di aku. Cukup!”

Awalnya, mungkin itulah akar dari childfree. Lantas kemudian dijadikan gaya hidup oleh beberapa negara. Dibenarkan opininya oleh beberapa orang. Dan diadopsi pemikirannya. Menjadi hal wajar dan biasa saja. 

Hal wajar yang biasa saja. 

Ketika hal sedemikian dijadikan wajar dan biasa saja maka kemungkinan bisa saja hal buruk terjadi di masa depan. 

Pembenaran tindakan aborsi, hingga peningkatan gaya feminis yang mulai melenceng. 

Hari ini kita memandang aneh penganut childfree. Dan besok besok, bisa saja.. Kita punya anak satu saja. Repot satu kampung membully. Dunia mungkin bisa saja seterbalik itu. 

Bukan tidak mungkin kan hal itu bisa terjadi? Apalagi ketika kita tak punya batasan dalam mengadopsi suatu pemahaman. 

So, menghargai childfree boleh. Tapi, turut mendukung hingga mengkampanyekan. Itu Nay dilakukan… menurutku. 

Dibanding ramai saling judge, yuk.. Ambil pembelajarannya saja

Well, pembahasannya jadi sedemikian panjang ya. 

Semoga sudah mengerti dengan inti cerita yang ingin aku sampaikan. 

Bahwa mungkin beberapa penganut childfree punya alasan yang bisa diterima. Maka, kenapa sih kita sebagai emak-emak yang sudah beranak tak melihat sisi positifnya saja? Alih-alih sibuk war di sosmed? 

Apa sisi positif yang bisa kita pelajari? 

Kalau kita tak ingin paham childfree ini meluas dan menyebabkan depolulasi hingga terputusnya generasi baik maka.. 

Buatlah kenangan baik antara orang tua dan anak

Dan jika anak sudah ‘terlanjur’ terpapar dengan rasa depresi dari ibu.. Maka perbaiki hubungan kita.

Jangan sampai dalam kehidupan anak merasa masa lalunya suram. Lalu merasa bahwa dirinya hanyalah alat investasi yang dimanfaatkan di masa depan. Hal demikian, bukan tidak mungkin menyebabkan anak kita takut memiliki anak di masa depan. 

Yuk, jadikan anak-anak kita #anakbaik mulai sekarang. Ciptakan kenangan indah yang membuatnya selalu terkenang. Membuatnya semangat dalam menjalani hari-harinya. Penuhi cinta di hatinya. 

Agar suatu hari ia bisa bertemu pasangan yang baik tanpa terburu-buru karena kekurangan rasa cinta. 

Agar suatu hari ia bisa menyayangi anaknya. Memberikan nilai-nilai kehidupan yang baik dalam merawat dan membesarkannya. 

Ya, hidup bahagia itu.. Tangki cintanya harus selalu ada. Maka, jika dalam hidup selalu memendam benci karena beda opini.. Alangkah meruginya bukan? 

Dear Perempuan: Manakah Karakter yang sesuai dengan Jalan Ninjamu?

Dear Perempuan: Manakah Karakter yang sesuai dengan Jalan Ninjamu?

Stigma perempuan yang sering beredar di circle aku:

“Percuma perempuan kalo sekolah tinggi-tinggi. Toh bakal ke dapur juga..”

“Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalo ujung-ujungnya di rumah aja?”

“Umur segini kok belum nikah? Keasikan kerja sih!”

“Kok anaknya baru 2? Kok perempuan semua? Tambahin dong laki satu..”

“Perasaan paket dateng terus tuh ke rumah dia. Heran juga padahal suaminya kan cuma PNS. Dasar istri boros.”

“Suaminya kok ngerjain kerjaan rumah. Jangan-jangan pake kajian kuyang nih.”

Dsb dsb.. Eh, panjang juga ya? Kalian mau nambahin lagi stigma perempuan yang kadang suka aneh-aneh dimulut-mulut tetangga? Aku yakin dah pada banyak banget. 

Perempuan Itu Gak Melulu Punya Karakter plus Jalan Hidup yang Sama

Bisa dimaklumi sih stigma perempuan yang sering kali ‘sedemikian’ di masyarakat. Sungguh bisa dimaklumi andai saja memang yang berkata kalangan generasi babyboomer yang memiliki pola pikir belum meluas ditambah dengan budaya patriarki yang turun temurun. Sungguh, tidak apa-apa. Aku toh maklum. 

Tapi, akan menjadi masalah jika generasi di atasnya tak kunjung move on oleh stigma itu. Merasa bahwa jalan hidup perempuan harus begitu. Harus menuruti apa kata mereka. Padahal, perempuan sekarang sudah terpapar oleh literasi dan tanggung jawab sosial. Pola pikirnya tak lagi sempit. Tanggung jawabnya pun berbeda. 

Jalan hidup seorang perempuan sesungguhnya tak melulu soal mengabdikan diri, mengorbankan apa yang ia punya. Tapi, jalan hidup perempuan sudah meluas. Ia bisa memilih dan berkembang sesuai dengan karakter yang cocok untuk dirinya. 

4 Karakter Perempuan, Manakah Karaktermu? 

Aku terhenyak ketika melihat salah satu feed instagram @cerita_parapuan. Betapa benar bahwa disekelilingku sendiri perempuan itu punya karakter beragam. Setidaknya ada 4 karakter perempuan yang aku simak di ig cerita parapuan, yaitu:

  1. Pengembara

Karakter ini sangat mirip dengan vlogger kesukaanku. Kalian tau Dear Alyne? Nah, menurutku karakter ini benar-benar mewakili dirinya. Ia adalah seorang travel vlogger yang terbilang sukses. Bersama dengan pacarnya Nas dalam Nas Daily ia mengelilingi dunia. Ia bahkan punya prinsip yang unik. Ia berkata bahwa ia tidak ingin memiliki seorang anak_seumur hidup. 

Well, aku sendiri saat menonton persepsinya tentang itu sedikit bingung. Tapi, seketika aku langsung paham jalan pikirannya. Bahwa ia tidak ingin ya karena memang itulah jalan yang ia inginkan. Ia adalah karakter pengembara yang bersemangat dan bebas menentukan pilihannya. 

2. Pengampu

Karakter ini mirip dengan salah satu keluargaku. Ia memiliki mimpi dan keinginan sendiri. Namun memiliki empati yang tinggi pada lingkungannya. Ia lebih memprioritaskan keinginan orang yang ia cintai dibanding keinginannya sendiri. Meski itu mengorbankan mimpinya untuk melangkah ke satu tangga lebih tinggi ia bahagia. Karena prioritasnya adalah ingin merasa dihargai. 

3. Pengelola

Karakter ini sangat cocok pada salah seorang temanku. Ia cenderung perfeksionis dan ulet dalam mewujudkan mimpinya sendiri. Ia mengaku tidak siap menikah jika mimpinya belum tercapai. Ia juga seseorang yang realistis, tipe yang tidak percaya bahwa setelah menikah rejeki akan mengalir. Baginya itu tidak realistis. 

Well, aku tidak menyalahkan pola pikirnya. Memang ada beberapa perempuan yang seperti ini. Sangat sempurna dan cenderung sering mengoreksi dirinya sendiri. Dan yang paling penting, ia bersemangat dengan jalan hidupnya. Itulah karakter pengelola yang mandiri dan hebat. 

4. Pengabdi

Diantara keempat karakter, karakter pengabdi adalah karakter yang 70% sedang aku jalankan. Well, 8 tahun berumah tangga aku baru menyadari bahwa karakterku dominan ke pengabdi. 

Aku senang ketika semua mengatakan masakanku enak. Aku juga senang ketika keluargaku berpreatasi. Sangat senang ketika usaha suami berkembang karena aku turut mensupport dari belakang. Walau yah.. Aku akui aku cenderung overthingking dan mudah sedih jika menghadapi kegagalan. Tapi sungguh, dulu aku tidak begitu kok. Kalian tau? Sesungguhnya dulu aku tipe pengembara ketika awal menikah. Lantas, bagaimana aku bisa sedemikian berubah? 

Bagaimana jika Jalan Hidup Bertolak Belakang dengan Karakter? 

Melihat video Dear Alyne di beranda facebook milikku, kadang aku merasa dia sedikit mirip denganku. Alyne adalah winda masa depan yang pernah aku impikan. Yah, aku punya mimpi bisa melihat seluruh dunia. 

Tapi disinilah aku. Aku menikah muda dan langsung hamil. Sebuah rencana yang benar-benar diluar dari ekspektasi. Hingga aku sulit menerima kenyataan dan terkena ppd. Lalu aku sembuh dan karakterku berubah seketika menjadi seorang pengampu. Aku masih ingat dengan impianku, tapi aku lebih sayang dengan keluargaku. 

Sampai kemudian aku lari melalui media blog. Menumpahkan segala perasaanku. Mulai menerima kenyataan bahwa hidupku memang demikian maka aku harus move on dengan caraku. Tapi sebuah keikhlasan yang aku jalani selama beberapa tahun telah membawa prestasi untuk suami dan anakku. Ekonomi kami melejit dari down hingga bisa membantu orang lain. Itu membuatku senang. 

Aku baru menyadari bahwa jalan hidupku sekarang seperti air. Lebih legowo dengan takdir. Tidak menolak ketika turun kebawah. Mengalir melewati bebatuan. Tidak merasa sakit dan aku hanya berpikir bagaimana caranya agar orang disekelilingku bisa terus hidup dengan baik. Barulah aku sadar kini aku sudah 70% berubah menjadi karakter pengabdi. Aku sudah lupa dengan cita-citaku untuk bisa mengelilingi dunia. Aku hanya ingin kelak kami bisa berangkat kebelahan dunia yang lain bersama-sama. 

Baca juga: Haruskah seorang ibu mengejar mimpinya?

Ketika jalan hidup bertentangan dengan karaktermu maka hadapilah dengan dirimu sendiri. Jangan lupa untuk membawa cinta bersamamu. Itu adalah kekuatan yang efeknya tidak bisa diremehkan. 

Perempuan Harus Memiliki Jalan Ninjanya Sendiri

Satu hal yang aku yakini tentang hidup seorang perempuan. Yaitu perempuan harus memiliki jalan ninjanya sendiri. Bukan terpengaruh dengan omongan orang lain lantas menjalani apa yang tidak ia inginkan. 

Belakangan, ramai siuran angin mulut-mulut itu berkata padaku, “Tambah lagi dong anaknya. Yang laki satu.”

Tapi toh aku tak peduli. Dua anak perempuan sudah cukup membuatku bahagia. Jika aku ingin hamil lagi, maka itu adalah keinginanku. Bukan karena orang lain. Aku punya ceklist sendiri. Dan aku punya target sendiri. Bukan sekedar memajang anak-anak berjalan seakan mereka adalah aksesoris hidup untuk dinikmati mata orang lain. 

Hidupku adalah hidupku. 

Pun dengan pekerjaanku. Ramai netizen berkata begitu sayangnya sudah sarjana tetap di rumah saja. Tapi, sangat jarang yang kepo tentang hal positif yang aku lakukan. Dan begitulah adanya mulut orang. Kita tidak pernah bisa mengontrol hal tersebut. 

Aku adalah emak-emak ninja rumahan. Elemen yang aku miliki adalah psikologis elemen air. Ninjutsu yang aku miliki adalah healing water, water resisten, shark attack. Taijutsu yang aku miliki adalah skill melobangi kalsiboard memakai tangan kosong. Dan kalian jangan bertanya tentang jurus genjutsu milikku. Aku tidak punya jurus seribu bayangan tapi 5-6 pekerjaan bisa aku kerjakan dalam satu waktu. Dan genjutsu itu berhasil, karena tidak ada yang tau. 

Itulah jalan ninjaku.

Yakin Pengen Jadi Stay At Home Mom? Pertimbangkan Faktor ini Dulu ya!

Yakin Pengen Jadi Stay At Home Mom? Pertimbangkan Faktor ini Dulu ya!

“Win, kalo aku nikah nanti aku mau jadi kek kamu juga ah. Di rumah aja didik anak dengan bener.. “

“Jadi setelah nikah rencananya mau resign nih.. Kamu serius?” Ucapku memancing

“Iya, aku mau jadi kek kamu aja win. Kerja tuh capek. Gak kebayang kalo kerja sambil ngurus anak.”

“Sebaiknya pikirkan matang-matang say. Begini, keadaan kita tuh gak sama loh. Support system kita juga gak sama.”

“Maksud kamu gimana win?”

Yakin Pengen Jadi Stay At Home Mom? Pikirkan Matang-Matang Dulu

“Win, susah loh kalo perempuan itu gak kerja. Coba lihat mama. Gimana kira-kira nasib kamu kalo mama gak kerja?” Ucap Mamaku ketika aku memutuskan menjadi IRT tulen. 

“Suamiku beda Ma.. Dia ngerti. Dia support aku.” Tekanku untuk meyakinkan Mama. 

Realitanya, dalam up and down kehidupanku.. Kadang aku sering membenarkan kata-kata Mama. Lantas menyesal kemudian. Lalu aku akan berusaha menjadi seperti mama. Lantas merasa berbeda. 

Ya, aku menatap Mamaku. Sosok wanita karir yang sukses menyeimbangkan hidupnya. Punya pekerjaan tetap, memiliki lingkup sosial disana sini, hingga anak-anak yang mayoritas masuk jurusan kedokteran (kecuali aku). Ingin rasanya hidupku seperti Mama. Sukses luar dalam. Tapi ketika aku menatap lingkunganku. Aku sadar, aku tidaklah sama. 

Mama tidaklah bisa menolongku untuk mengurus anak selama kutinggal bekerja. Begitupun mertuaku. Jangan tanya soal ART, masa sekarang dan dulu jauh berbeda. Jujur, awalnya aku menjadi IRT tulen bukan karena aku yakin dengan support suami. Tapi.. Karena aku tidak punya pilihan. 

Hingga aku harus memperkuat pilihanku dan berusaha agar hidup kami baik-baik saja. 

Ya, hidup kami sekarang memang jauh berbeda dibanding kehidupan awal menikah. Banyak yang menilai bahwa itu mungkin sebagian disebabkan oleh pilihanku untuk fokus menjadi Ibu Rumah Tangga. Sehingga suamiku bisa seperti sekarang. Kehidupan ekonomi kami bisa melejit seperti sekarang. Tapi, bukankah keadaan semua orang tidaklah sama? 

Tidak lantas dengan melihatku sukses maka jalan semua orang harus sepertiku bukan? 

Maka aku hanya berpikir heran dengan keputusan temanku yang kupikir instan dan tidak matang. Hei, tidak semudah itu loh memilih menjadi Ibu Rumah Tangga.. 

Faktor-faktor yang Harus dipertimbangkan Sebelum Memutuskan Menjadi Stay At Home Mom

Setidaknya, ada 3 faktor penting yang harus dipikirkan sebelum memilih untuk menjadi Stay At Home Mom. Jangan cuma mikir nih faktor sedikit ya. Baca penjabarannya. Gak sesedikit itu gaes.. 

Faktor Psikologis

Percaya enggak percaya aja, jadi Full Time Mom itu rentan stress hingga depresi. Saat semua orang bilang “Duh, enaknya gak kerja.. Enaknya cuma ngurusin anak dsb..” 

Realitanya jadi IRT enggak seenak itu. Penderita babyblues dan PPD kebanyakan adalah seorang Full Time Mom yang tidak bisa menyeimbangkan waktunya karena terdorong oleh keadaan. 

Maksudnya? 

Seorang manusia normal setidaknya memiliki 3 pembagian waktu yang baik dalam kehidupannya. Tiga waktu itu adalah Me Time, Family Time dan Social Time. Nah, saat sudah berumah tangga pembagian waktu itu berubah lagi. Seorang Ibu dituntut untuk memiliki waktu bersama bayinya. Dituntut untuk bisa mencukupkan ekonomi serta dituntut untuk bisa melayani suami hingga bisa diterima dilingkungannya. 

Itu tuh enggak mudah ketika Ibu memilih menjadi Stay at Home Mom. Apalagi jika sedang memiliki anak yang masih bayi dan belum bisa ditinggalkan. Tidak ada lagi keseimbangan 3 waktu seperti masa single. Sebagian besar waktu tersita untuk Parent Time. Tidak ada me time hingga social time. Belum lagi lingkungan yang kadang mencibir, “Kan di rumah aja.. Kok gak bisa ngapa-ngapain..”

Saranku, jika ingin menjadi Stay At Home Mom maka jangan bayangkan sisi ‘enak’nya saja. Bayangkan juga sisi enggak enaknya. Berubahnya faktor kebiasaan yang berubah hingga 180 derajat. Itu adalah adaptasi yang harus diterima. Kalau tidak, psikologis Anda bisa terganggu. Aku bercerita demikian karena pernah mengalami PPD saat memiliki anak pertama. 

Dan yang paling penting.. Sebelum menjadi Full Time Mother ubahlah sebuah persepsi bahwa seorang Ibu harus 100% mengabdi pada anaknya. 

Kenapa diubah win? Bukannya Ibu itu memang harus berkorban bla bla bla.. 

Hei, Anda gak akan ngerti sebelum merasakan mengalaminya. Dalam durasi 1 bulan hingga 6 bulan mungkin Anda akan merasa perfect dan baik-baik saja. Lama-kelamaan akan ada something missed dalam kehidupan Anda. Percaya deh. 

Apa itu? Yaitu kehilangan dirimu yang dulu. 

Maka, berdayakanlah diri selagi masih muda. Pelihara hal itu hingga memiliki anak. Hiduplah dengan keseimbangan dari passion dan cinta. Milikilah hobi yang bermanfaat untuk bisa menemukan diri sendiri dan menyalurkannya untuk lingkungan sosial. 

Dengan kehidupan seimbang maka seorang ibu akan waras dan menemukan kebahagiaan. Ia menjadi seseorang yang berarti untuk dirinya hingga anaknya. 

Ingin menjadi Ibu rumah tangga sejati? Yakinkan passionmu bisa berkembang di rumah. Kenali dirimu sendiri. Apakah kamu introvert atau ekstrovert. Bisakah kamu berkembang jika kamu di rumah? Itu adalah hal yang harus dijawab sendiri olehmu. Jangan remehkan faktor psikologis ini 

Faktor Ekonomi

“Kamu enak win. Suamimu PNS. Setidaknya jadi punya pegangan hidup.”

Hmm.. Gak ada yang tau dengan keadaan ekonomi orang lain selain orang itu sendiri. Gak ada yang ngerti sama ujian pernikahan selain yang mengalaminya.

Jujur, meski suamiku adalah seorang PNS. Tapi, banyak faktor tambahan yang tidak diketahui orang lain. Seperti berapa banyak potongan dalam gaji? Apakah semua gajih 100% untukku sehabis dipotong? Apakah suami bukan seorang sandwich generation? Nah, kalian tidak tau kan? Dan tidak usah tau. Hihi. 

Yang jelas, aku pernah berada diposisi hanya mendapatkan jatah 300rb sebulan. Seiring waktu naik menjadi 1,3 juta sebulan. Eh? Banyak kata kalian? Kami hidup mandiri dan memiliki satu orang anak kala itu. Aku bahkan sempat bakulan berjualan kue, tidak pernah memberikan anakku diapers hingga susu untuk menghemat pengeluaran. Hanya tidak semua orang tau bukan? Bagaimana dari gajih yang dipotong-potong tersebut kami sekarang sudah mendirikan perusahaan dengan 4 orang pegawai tetap. Hmm, kalian gak usah tau susahnya. Biar lihat enaknya saja. (Ini kenapa jadi curhat sarkas disini.. 🤣) 

Intinya, dari jatuh bangun kehidupan ekonomi yang demikian merupakan salah satu faktor dominan kenapa dulu aku sering depresi dan aku enggak mau kalian asal pilih jadi full time mom tanpa mempertimbangkan faktor begini.  Dalam keadaan ekonomi yang masih berjuang serta memiliki anak itu bukanlah hal yang mudah. Aku sendiri tidak mandiri secara finansial saat itu. Lingkungan banyak yang mencercaku kenapa tidak bekerja tanpa tahu apa yang aku alami. 

Ada pula yang percaya begini.. 

“Suami bekerja, istri bekerja.. Rejeki 100%. Suami bekerja, istri tidak bekerja.. Rejeki 100%..”

Sungguh, statement itu tidak salah. Asalkan tidak gagal paham memahaminya. Karena begini, ada yang bahkan ‘maksa banget’ suaminya harus bisa mendapatkan rejeki yang sama meski ia tidak bekerja dan membanding-bandingkan dirinya dengan yang lain. 

Jika memiliki suami dengan gajih pas-pasan hingga kurang maka mau tidak mau kita sebagai istri harus bisa support dia. Bukan mengeluh. Itu bukan yang benar? Tapi bagaimana bisa support jika keadaan ekonomi menghantam psikis istri? Bagaimana bisa mencapai kata Qona’ah? Maka, tidak ada pilihan selain memberdayakan diri di rumah. Dan hal ini, tidak dipahami oleh sebagian yang percaya statement kenapa rejeki bisa tetap 100% walau istri tidak bekerja. 

Rejeki itu luas by the way.. Maksud dari memberdayakan diri tidak melulu tentang bisa mencari uang. Tapi, tentang mencari peluang untuk bisa mencintai diri sendiri hingga membantu orang lain. Disinilah akan terjadi yang namanya keajaiban. Rejeki yang tidak disangka-sangka. Dan menemukan hingga ke titik ini perlu didasari oleh adanya rasa ikhlas. 

Nah, bisakah Anda ikhlas dengan rejeki apa adanya hingga memberdayakan diri di rumah? Atau, Anda lebih nyaman berkembang di luar dan merasa seimbang jika bekerja di luar? Merasa senang ketika dapat membantu keluarga ketika bekerja diluar? 

Itu, adalah pilihan yang harus Anda buat sendiri. Bukan dengan meniru hidup orang lain. 🙂

Faktor Sosial

Memutuskan menjadi stay at home mom itu gak bisa diputuskan oleh diri sendiri saja. Carilah kesepakatan bersama keluarga besar dan bicarakan terus dengan suami. Dan yang paling penting, tanyakan pada diri sendiri.. Apakah benar hal ini adalah hal yang kamu inginkan? 

Aku memiliki teman yang punya passion mengajar. Menjadi guru adalah hidupnya. Tidak masuk sehari saja dia sudah kangen luar biasa dengan muridnya. Kalian tau apa yang dia suka? Ikut upacara bendera. Coba telaah, makhluk sedemikian apakah akan merasa nyaman jika di rumah saja? 

Aku sendiri dari SD hingga SMA lebih menyukai guru perempuan. Karena entah kenapa, guru-guru favoritku semuanya perempuan. Mereka lebih friendly dan nyaman dalam menjelaskan. Bahkan ada yang masih berteman di sosial media denganku hingga sekarang. Aku tidak bisa membayangkan jika mereka tidak ada di sekolah. Pekerjaan sedemikian memiliki keterikatan sosial yang tinggi. 

Aku juga memiliki seorang teman yang bekerja pada sebuah perusahaan besar. Diantara 4 saudaranya, hanya ia yang terbilang sukses. Ya, ia adalah seorang ibu pekerja dan juga seorang sandwich generation. Orang tuanya tidak memiliki pekerjaan tetap untuk mencukupi kehidupan sehari-hari. Ia juga masih memiliki seorang adik kecil yang masih sekolah. Ia bisa saja memilih untuk tidak bekerja. Karena toh suaminya juga seorang PNS seperti suamiku. Tapi bagaimana dengan kehidupan keluarganya? Pilihan yang sulit bukan? 

Jika keterikatan sosial ini dapat dituntaskan solusinya dengan di rumah saja maka bisa saja seseorang memilih menjadi stay at home mom. Tapi sekali lagi.. Keadaan kita tidak sama bukan?

Hidup Kita Gak Sama, Pilihanku adalah yang terbaik untukku

Seperti yang sudah aku ceritakan diawal, bahwa sesungguhnya pilihanku untuk menjadi stay at home mom bukanlah pilihanku sendiri. Tapi, aku tidak punya pilihan.

But.. Time flies.. 

Aku mulai menyukai profesiku. Aku mulai menemukan passion yang bisa aku optimalkan di rumah saja. Aku mulai menemukan sebuah keseimbangan. Dan rasa ikhlas serta syukur mulai menggiringi kehidupanku. 

Aku mungkin terlihat seperti stay at home mom yang sukses mengelola ekonomi. Tapi aku sadar, bahwa tidak semua orang harus memilih pilihan yang sama sepertiku. Pun jika kamu, kalian, dsb melihatku.. Bukan berarti harus mencontoh apa yang aku lakukan. 

Karena diri kita tidak sama.. Lingkungan kita tidak sama.. 

Jadi, pilihlah sebuah pilihan yang terbaik untukmu.. 

NB: Kalian tau? Segala yang dilakukan karena cinta tidak akan ada penyesalan.. Pilihlah dengan cinta. Tapi tidak bergantung pada cinta. Kalian mengerti maksudku? Cinta itu dimulai dari dirimu sendiri. 

Pengalaman Seru Menjadi Nara Sumber Webinar CIMSA Mercy

Pengalaman Seru Menjadi Nara Sumber Webinar CIMSA Mercy

“Kamu tau hal paling menakutkan dalam hidup itu apa?”

“Apa? Hantu? Kiamat?”

“Mengetahui bahwa kita hidup di dunia hanyalah melaluinya begitu saja. Tanpa menggali potensi. Tanpa apa-apa. Meaningless..”

“Ah, kan kita hidup didunia memang hanya layaknya kapal. Asalkan kita beribadah… .. “

“Omonganmu terdengar familiar sekali.”

“Iya, kan memang sering kita mendengar bla bla..”

“.. Seperti pikiran lainnya yg memandang hidup hanya perlu iman dan islam. Lantas pergi dan memandang yang kurang bersyukur seperti tidak paham dengan arti iman dan islam. Padahal.. Bukankan arti syukur dan ikhlas perlu sebuah perjalanan yang luas?”

***

Obrolan itu kembali terngiang ditelingaku. Obrolan lama, mungkin waktu itu aku masih sekolah SMA dan sedang memasuki salah satu kegiatan ekstra di sekolah. Jangan tanya apakah aku menjadi si A atau si B dalam obrolan tersebut. 

Aku, pernah menjadi keduanya.. 🙂

Pembicaraan yang terasa biasa. Namun artinya baru aku pahami ketika sudah memiliki anak. Bahwa hidupku ternyata begitu sederhana. Begitu banyak hal yang belum sempat aku gali sendiri. Aku belum memaksimalkan diriku sendiri namun kehadiran buah hatiku yang pertama telah mengubahku menjadi orang lain. 

Ya, pernahkah kamu merasa dirimu berangsur menghilang? Seperti digantikan sosoknya oleh sebuah topeng cantik. Layaknya seekor siput. Memiliki rumah dengan corak indah dan pola yang unik. Namun ternyata, makhluk mungil yang ada di dalamnya sudah hilang. 

Aku pernah menjadi cangkang kosong. Kehilangan diriku. Kehilangan arti hidupku. Jangankan menanyakan semangat yang dulu. Diriku yang dulu saja sudah hampir hilang. 

Saat itu, aku tidak menyadari bahwa diriku terkena Post Partum Depression. 

Ceritanya sudah sering aku tulis di blog. Dan tidak ku sangka, karena cerita-cerita receh itu aku mendapat sebuah undangan. 

Aku? Menjadi seorang nara sumber untuk acara webinar? Dengan tema sedemikian? Apakah ini tidak salah? 

Jantungku berdegup kencang. Kubaca ulang undangan tersebut. Rasa minderku masih tersisa rupanya. Dan aku meninggalkan pesan itu begitu saja. Berusaha untuk tidur siang dan mendamaikan diri. Berbicara kepada diri sendiri, “Hei, kamu siapa? Tau diri dong. Sudah, masuk keong saja sana!”

Kali Pertama Aku ‘Curhat’ dengan CIMSA

Undangan tersebut hadir bukan tidak ada sebab. Sebelumnya aku pernah mengisi narasi cerita untuk microblog instagram CIMSA dengan tema cerita Post Partum Depression. Aku dengan senang hati membagikan pengalamanku untuk barangkali bisa bermanfaat bagi para pembaca atau yang sedang mengalami gejala hingga memperjuangkan diri untuk sembuh dari PPD

https://www.instagram.com/p/CA-hHZzAQE5/

FYI, CIMSA sendiri adalah kepanjangan dari Center for Indonesian Medical Students Activities. CIMSA merupakan organisasi non profit, non politik, dan non pemerintah yang mewadahi mahasiswa kedokteran di indonesia dalam memberikan dampak bagi kesehatan Indonesia melalui berbagai aktivitas.  CIMSA dibuat sebagai wadah untuk memberdayakan dan meningkatkan kapasitas mahasiswa kedokteran indonesia yang siap ikut andil dalam meningkatkan kesehatan indonesia. 

Sebagai saudara perempuan dari kakak yang kebetulan merupakan seorang dokter dan adikku sendiri yang keduanya merupakan mahasiswa kedokteran tentu ada sedikit rasa minder mengingat ilmu yang aku miliki sangat tidak sebanding untuk memberikan cerita pada mereka. Ya, aku pernah bercerita bukan bahwa aku mungkin merupakan satu-satunya anak mama yang memiliki kapasitas keenceran otak paling sedikit. Tapi, aku tak menyangka curhatan receh itu sedikit berdampak. 

Memutuskan untuk ‘Berani’ Menampilkan Diri

Tidak kusangka, curhat kecil berujung seperti ini. Aku toh sudah terbiasa untuk menulis. Tapi, jujur aku merasa skill verbalku tidak sebagus skill ku dalam menulis. Temanku sewaktu SMA pernah berkata padaku bahwa aku ini sangat pendiam layaknya seekor siput yang sedang dipepes. Bayangkan, siput saja sudah sebegitu unpotential. Dipepes pula. Seakan mengejek bahwa skill verbalku sama sekali tidak bisa diandalkan. 

But, Time flies.. 

Siapa sangka aku yang dulu begitu pendiam berubah menjadi sedikit periang ketika kuliah. Persentasi di depan kelas adalah moment favoritku. Bahkan, aku ingat sekali suatu hari ketika ada pelajaran Komunikasi Bisnis.. Aku diberikan penghargaan karena telah menjadi MC terbaik di kelas. Aku berubah total dalam jangka waktu 2 tahun setelah SMA. Aku sangat ingat moment itu. 

Meski sudah hampir 10 tahun berlalu, aku masih ingat penghargaan itu. Dan itulah yang memberanikanku untuk menjawab ‘bersedia’ pasca 3 jam undangan itu datang. Meski mungkin skill itu sudah hampir terkubur tapi bukankah itu hal yang menarik dalam kehidupan? 

Ketika kita berani menjawab sebuah tantangan dan kita merasa berdebar akan semangat yang baru. Itulah rasa nikmat syukur kehidupan. 

Andai hormon adrenalinku bisa bicara, mungkin selama 8 tahun ini ia akan protes memukulku karena tak pernah berani mengeluarkan skill verbalku lagi. PPD yang pernah aku alami memang sedikit memberikan rasa trauma. Takut ini, takut itu. Padahal toh, bukannya aku sudah mendapatkan pelajarannya? Bahwa segalanya akan sembuh dengan ‘keberanian berekspresi’. 

Serunya Webinar Bersama CIMSA

Aku tidak menyangka hari itu banyak peserta yang hadir. Aku mengira peserta webinar hanya berkisar pada angka 50an. Ternyata ada lebih dari 100 orang. Dan kebanyakan adalah para mahasiswa kedokteran. Sekilas, rasa minder itu datang apalagi ketika melihat CV dari narasumber pematerinya. Hmm? Siapa aku kok berani sekali nyemplung disini? 😌

Jujur, ada sebuah perasaan lucu hari itu. 

Bagaimana kalau aku closed saja semuanya. Matikan wifinya. Biarkan selama 5 jam. Nanti kalau mereka menghubungi, bilang saja mendadak ada gangguan. Bla bla.. 

Syukurlah aku tak melakukan hal itu, karena sungguh jika aku melakukannya. Aku sudah kalah oleh diriku sendiri. Dan, kalian tau? Ada satu hal yang membuatku tertegun menyimak materi dari awal sampai waktuku tampil. Karena aku, seperti merasa kembali ke masa lalu. 

Ya, masa dimana aku tidak mengerti apa itu depresi dan menolak pernah mengalaminya. Materi yang dipaparkan oleh dr Natalia begitu mengunggah diriku. Sampai ingin rasanya aku mengeluarkan air mata. Merasa beruntung bahwa diriku sudah melalui masa-masa suram itu. Begitu banyak kasus menyeramkan terkait ppd dan pembunuhan anak hingga dampak lainnya adalah mengakibatkan luka disana sini. Innerchild yang memutar dan tak kunjung berakhir.

Baca juga: Dampak Negatif dari Post Partum Depresion Pada Anak dan Caraku Memperbaikinya

Menariknya, saat sesi pertanyaan dibuka aku baru menyadari bahwa mungkin sekitar 30% peserta adalah ibu-ibu. Ada pula yang merupakan masyarakat umum yang ingin tau tentang babyblues. Antusias mereka luar biasa. Dan dr Natalia menjawab dengan sangat lengkap tanpa jeda sama sekali. Aku sampai tercengang dibuatnya. 

Pikiran itu kembali datang, 

“15 menit lagi win, sebelum terlambat dan malu-maluin. Closed semua tab dan matikan wifi. Masuk ke dalam selimut”

Humaira pun menangis masuk ke dalam kamarku. Disusul oleh kakaknya si Pica yang kesal karena bingung menerjemahkan apa kemauan adiknya. Makin mantap bisikan itu menemukan eksistensinya. 

Tapi, tepat 5 menit sebelum aku tampil. Suamiku sudah dengan sigap mengambil Humaira dan membawanya ke kamar. Dia tersenyum licik padaku dan berkata, “Anggap saja ujian skripsi.”

😂

Dan 5 menit pun berlalu.. 

Ternyata, Bercerita Verbal Itu Melegakan

Aku tidak tau persis apa yang harus aku ungkapkan. Awalnya, aku bahkan membuat slide tayangan untuk memperjelas sebuah cerita. Tapi kemudian aku sadar bahwa aku hanya mengisi talkshow. Bukan pemberi materi atau nara sumber ahli. Tugasku hanya bercerita dan memberikan solusi nyata dari apa yang sudah aku alami. 

Jujur, moment itu adalah kali pertama aku bercerita secara verbal tentang PPD yang sempat aku alami. Sebelumnya, aku hanya menulis rintihan receh di blog maupun instagram. Itupun sebagian kecil telah aku hapus karena aku sendiri merasa tulisanku tidak menginspirasi dan sedikit toxic. Maklum saja, saat itu aku menulis untuk menyembuhkan diriku  bukan untuk menginspirasi dengan pengalaman. 

Ternyata, bercerita itu melegakan. Aku tidak menyangka ceritaku akan lancar mengalir begitu saja. Seakan aku menemukan seorang teman curhat sambil meminum kopi di sebuah cafe. Kurasa, dr Salma sang moderator memiliki aura friendly untuk berbagi cerita. Maklum, jika ingat fase dimana aku mencari teman cerita saat terkena PPD dulu maka aku akan ingat dengan sebuah grup di facebook dimana saat aku menanyakan tentang pumping ASI yang tak mau keluar.. Anggotanya begitu fanatik ketika aku menceritakan depresinya aku ketika terpaksa meminumkan anakku susu formula. Judge demi judge aku terima di kolom komentar. Itu adalah kali pertama aku takut bersosial media dengan grup yang kebanyakan memiliki member emak-emak perfect. *loh kok jadi curhat lagi?🤣

Yah, begitulah. Intinya aku tidak akan menceritakan ulang bagaimana proses sembuhnya aku dari PPD. Bagaimana efek yang sempat aku alami karena meremehkan gejala babyblues. Microblog singkat yang aku tulis di CIMSA dan tulisan receh di blog sudah pernah mewakilinya. Hanya saja, ternyata bercerita verbal menjadi sensasi baru yang nyaman untukku mengerti apa arti kata berarti dan berada. Dalam durasi satu jam aku merasa menemukan diriku di kampus yang dulu. Berpegangan pada microphone dan menatap seisi kelas dengan penuh makna. 

Aku, kangen dengan cita-citaku dahulu. Mungkinkah aku bisa menjadi seorang guru atau dosen? Aku rindu suasana kelas. Aku rindu menjadi Winda yang seimbang dalam dunia nyata dan maya. Winda yang dahulu. 

Tapi kemudian, aku kembali menatap Pica dan Humaira. Mereka memelukku dan ingin berbaring denganku untuk tidur siang. Ku usap kedua kepala mereka berdua. Lantas tersenyum. 

Aku lebih menyukai diriku yang sekarang. Semenjak jadi Ibu dan menemukan arti ikhlas serta syukur..

Aku merasa bisa meraih semuanya.. 

Namun sabar memang harus menggiringinya.. 

IBX598B146B8E64A